Katolikana.com—Tanggal 3 Oktober 2020 Paus Fransiskus menandatangani Ensiklik Fratelli Tutti yang bertujuan mendorong keinginan akan persaudaraan dan persahabatan sosial.
Pandemi Covid-19 menjadi latar belakang ensiklik ini. Kedaruratan kesehatan global telah membantu menunjukkan bahwa ‘tak seorang pun bisa menghadapi hidup sendirian’ dan bahwa waktunya sungguh-sungguh telah tiba akan ‘mimpi sebagai satu keluarga umat manusia’ di mana kita adalah ‘saudara dan saudari semua’.
Bagaimana Gereja Katolik merespon persoalan kemanusiaan, ekonomi dan lingkungan? Apa peran perguruan tinggi Katolik di tengah dunia yang dilanda pandemi dan ketimpangan sosial?
Untuk mendiskusikan hal tersebut, Pengurus Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK) menggelar webinar dalam rangka Hari Studi APTIK yang dipandu oleh Dr. Phil. Juliana Murniati, pada Kamis (16/9/2021). Talkshow ini menghadirkan narasumber Direktur Pusat Spiritualitas Girisonta Romo Dr. Krispurwana Cahyadi, SJ.

Awan Gelap Menurut Fratelli Tutti
Romo Krispurwana Cahyadi mengatakan, menurut dokumen Gereja Fratelli Tutti ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada masa kini.
Pertama, tentang pandemi, di mana banyak orang mulai bersifat individualis, tak peduli dan mau selamat sendiri.
Kedua, bencana, teror dan juga korupsi yang disebut sebagai mimpi yang remuk. Situasi ini meremukkan dan menghancurkan mimpi kita akan kehidupan yang lebih baik.
Ketiga, globalisasi meminggirkan yang lokal dan setempat. Manusia makin terhubung antara satu sama lain namun makin meminggirkan, memisahkan, ketergantungan, meniru di mana dunia semakin maju tetapi kualitas hidup semakin menurun.
Keempat, tidak ada rencana bagi semua. Rencana-rencana yang dibuat, kebijakan-kebijakan yang terjadi itu kebijakan yang parsial, lebih sementara, lebih jangka pendek, maka tidak ada grand poining untuk semuanya. Budaya membuang, sesama dikurbankan, HAM diabaikan.
Kelima, kesadaran sejarah mulai pudar, tradisi ditinggalkan, nilai rohani tergerus ini karena konsumtif dan individualis itu yang lebih berkembang. Hal inilah yang menyebabkan tersebarnya rasa putus asa, patah hati, pesimisme, ketakutan, dan agresivitas untuk menang kalah.
Mengutip kata-kata dari Laudato Si, 204, “Orang yang konsumtif itu adalah pribadi yang hatinya kosong, terbuai dengan iklan ini dan itu,” ujar Romo Krispurwana.
Pendidikan
Dalam ranah pendidikan Romo Krispurwana mengatakan, arah pendidikan adalah mengintegrasikan kehidupan dan pembangunan masyarakat. Selain itu hargai dan rayakan perbedaan. Pusatnya adalah pribadi (imago Dei) yaitu bahwa kita diciptakan serupa dan segambar dengan Allah.
Menurut Romo Krispurwana, pendidikan perlu menanggapi perubahan karena perubahan adalah identitas zaman, selalu mau mencari, pedagogi aplikatif yaitu bukan memberikan jawaban, tapi proses mengajukan pertanyaan dan inovasi, tumbuhkan daya kreatif.
“Jadi, bukan pendidikan yang menjadikan kita penghafal-penghafal belaka, tetapi menumbuhkan daya kreatif dan juga rangsangan reflektif,” ujar Romo Krispurwana.
“Selain itu tidak membuat batasan. Kita semua itu terbatas. Tapi, jangan membuat batas supaya kita bisa memperluas wawasan, cakupan, tetapi juga langkah pergaulan kita dan hidupkan idealisme di tengah pemahaman akan keterbatasan. Maka dari itu agar pendidikan itu subur dan berbuah, budayakan dialog dan juga perjumpaan,” tambah Romo Krispurwana.
Prinsip Pendidikan
Romo Krispurwana Cahyadi mengatakan, ada empat prinsip dalam ranah pendidikan.
Pertama, waktu lebih dari pada ruang, di mana proses lebih penting dari pada hasil langsung. Paus sangat menekankan proses bukan hasil.
Kedua, kesatuan yang mengatasi konflik. Konflik dihadapi, ketegangan perbedaan dihadapi, tetapi membangun kesatuan di tengah ketidaksepakatan dan perbedaan. Jadi mampu menyetujui dan mengakui adanya perbedaan tetapi mampu menemukan kesatuan di dalamnya.
Ketiga, realitas lebih penting dari pada gagasan karena kita tidak mengabdi dan melayani ide, tetapi kita melayani orang. Jangan sampai ide-ide kita, aktivitas intelektual kita, dunia akademis kita, institusi-institusi pendidikan kita tidak bersentuhan dengan realitas.
Keempat, keseluruhan dan bukan bagian, berpijak pada lokalitas, mengakui dan mengarah pada global. Untuk itu perlu dialog tiga bidang yaitu dengan negara, masyarakat dan kaum beriman lainnya.
Keberanian Kreatif
Menurut Romo Krispurwana, bagi Paus Fransiskus, krisis adalah kunci bagi pembaharuan.
“Krisis adalah saat untuk bertanya, saat untuk refleksi dan saat untuk berubah. Pandemi adalah saat untuk paradoks. Satu sisi adalah ancaman, satu sisi adalah bahaya, sisi lain adalah tantangan dan peluang. Mau ambil yang mana?” ujarnya.
“Melihat pandemi sebagai ancaman dan bahaya, habis. Tapi kalau melihat peluang dan ancaman kita akan memandang masa depan yang lebih baik, maka bagi dia masyarakat pascapandemi akan dilihat akan menjadi lebih baik atau akan menjadi lebih buruk,” tandasnya.
“Akan menjadi lebih baik kalau kita sadar akan situasi krisis yang kita alami, dan dalam situasi krisis itu kita diajak untuk membangun kreativitas,” kata Romo Krispurwana.
Romo Krispurwana mengatakan, “Saya senang dengan ungkapan krisis karena dekat dengan kata credere. Kita tahu kata credo, aku percaya. Krisis itulah saat untuk melangkah, saat untuk menapakkan jalan, saat untuk mengulurkan tangan untuk berjalan lebih lanjut.”
“Maka pertanyaan dasarnya, dunia macam apa yang akan kita wariskan kepada generasi berikutnya, kepada orang-orang muda yang sedang bertumbuh?”
“Mengutip Paus Fransiskus, kalau Tuhan memberi kepada kita sebuah perutusan dalam pendidikan, Dia selalu membawa kita kepada sebuah proses. Proses pemurnian, proses penegasan, proses ketaatan akan kehendak Allah dan proses doa,” demikian kata Romo Krispurwana.**

Mahasiswa asal Papua, Jurusan Ilmu Komunikasi Unika Widya Mandala Surabaya.