Kisah Guru di Pedalaman Papua, Tetap Sekolah Meski Tanggal Merah

Seluruh murid hanya diajari membaca, menulis dan berhitung.

0 303

Katolikana.com—Tiga tahun menjadi pendidik di Sekolah Dasar Inpres Bidnew, Kampung Bidnew, Kecamatan Citakmitak, Kabupaten Mappi, Papua, memberi pengalaman baru bagi Maria Kian Dawan.

Sekolah Dasar Inpres Bidnew memiliki 200 lebih siswa kelas satu hingga kelas enam. Guru pengajar berjumlah tiga orang.

Pelajaran yang diberikan kepada anak-anak cukup berbeda dari sekolah lain. Seluruh murid di sekolah ini, hanya diajari membaca, menulis dan berhitung.

Anak-anak bermain bola kaki di waktu istirahat. Ada senam bersama yang dilakukan sekali dalam satu atau dua bulan.

Guru hanya mengajarkan tiga kemampuan dasar tersebut karena jenjang pendidikan pertama yang ditempuh anak-anak adalah Sekolah Dasar.

“Pembelajaran disesuaikan kemampuan setiap anak. Anak yang sudah agak mengerti, diberi materi yang berbeda.  Soalnya mereka juga bosan belajar hal yang sama terus,” jelas Kian.

Maria Kian Dawan

Fisik Menjadi Pertimbangan

Mata pencarian utama keluarga mereka sebagian besar mengumpulkan gaharu di hutan, lalu dijual ke kota.

Kadang, anak-anak ikut ke hutan selama berbulan-bulan dan meninggalkan sekolah. Setelah kembali ke desa, mereka baru melanjutkan sekolah. Maka, tak heran jika sewaktu-waktu ada anak baru bergabung.

Selain kemampuan siswa, postur tubuh atau fisik menjadi salah satu pertimbangan untuk menempatkan seorang anak pada kelasnya.

Fisik bisa menjadi patokan bagi guru untuk menentukan usia murid karena masih ada orangtua yang  tak mengetahui tanggal lahir anak-anaknya.

“Pembagiannya sesuai dengan usia yang ditetapkan Data Pokok Pendidikan (Dapodik),” ujar Kian.

Kekurangan Seragam Sekolah

Anak sekolah pada umumnya punya beberapa pasang seragam yang dikenakan sesuai hari yang ditentukan.

Anak-anak SD Inpres Bidnew hanya memiliki dua jenis seragam, yaitu seragam merah putih dan seragam olahraga.

Setiap anak memiliki sepasang seragam olahraga. Seragam merah putih baru dimiliki anak kelas 4 hingga kelas 6. Kadang, anak-anak tak mengenakan seragam ke sekolah.

“Selain dari dana BOS, guru-guru juga mencari donasi untuk bisa membeli seragam anak-anak,” tambah Kian.

Anak-anak berbaris sebelum masuk ke kelas masing-masing. Foto: Istimewa

Tak Ada Internet

Hingga saat ini, Desa Bidnew belum terjangkau Internet sehingga tidak memungkinkan pembelajaran secara daring.

Hal ini menyebabkan informasi yang dibagikan dari Dinas Pendidikan terbilang cukup lambat sampainya.

Karena sudah terbiasa dengan kondisi tersebut, kegiatan belajar mengajar juga pernah dilakukan di hari libur.

“Karena gurunya lupa cek kalender. Jadi waktu itu, tanggal merah kami tetap sekolah,” paparnya.

Selain itu, untuk menuju ke kota, mereka menggunakan transportasi air.

Kian bercerita, dia pernah dilempari oleh siswa, menerima kata kasar dari orangtua, bahkan pernah diancam karena menegur anak yang terlambat datang ke sekolah. Semua itu tak mematahkan semangatnya untuk meningkatkan pendidikan anak-anak.

Alasan mendasar yang membuatnya bertahan adalah usaha dari para muridnya dalam belajar. Mereka menunjukkan bahwa mereka bisa seperti anak-anak di tempat lain.

“Sudah pilih mau jadi guru, berarti siap dengan semua tantangannya. Kalau saya pulang ke Nusa Tenggara Timur (NTT) berarti saya tidak siap jadi guru,” tegasnya.

Perempuan yang gemar membekukan kenangan dalam bentuk tulisan dan gambar. Hobi  membaca, dan juga pencinta kucing. Mahasiswa asal NTT, Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Leave A Reply

Your email address will not be published.