Media Sosial Membuat Kita Tenggelam dalam ‘Dunia Lain’?

Cara paling radikal dalam menyikapi efek negatif medsos adalah dengan puasa medsos.

0 528

Katolikana.com—Media sosial sudah begitu lekat dengan kehidupan kita. Dilansir dari Kompas.com, pada Januari 2021, rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan waktu 8 jam 52 menit  berinternet dan berselancar di media sosial.

Menurut We Are Social, Whatsapp, Facebook, Instagram, Tiktok, Youtube, dan Twitter menjadi pilihan warganet Indonesia.

Tak dimungkiri, hidup masyarakat Indonesia sebagian besar dicurahkan untuk berselancar di medsos. Selain itu, perusahaan medsos bisa dikatakan sukses ‘menguasai’ dunia dan memanfaatkan efek globalisasi.

Penggunaan Media Sosial di Indonesia menurut We Are Social

Dampak Positif

Medsos mempermudah orang untuk berkomunikasi. Dalam bisnis, medsos bisa dijadikan sarana untuk mempermudah pemasaran suatu produk dan menyentuh pasar lebih efisien.

Medsos juga berperan dalam memberikan hiburan di kala senggang. Beberapa waktu lalu penulis menggunakan Twitter dan Youtube untuk mencari video lucu.

Bagi dunia pendidikan, medsos bisa dijadikan fasilitas untuk menunjang akses distribusi materi pembelajaran.

Medsos: Bumerang?

Secara umum, media sosial memfasilitasi penyebaran informasi secara cepat, update aktivitas warganet, dan  pengungkapan opini.

Warganet dengan mudah mengetahui tren terkini lewat Twitter. Warganet juga dengan mudah mencari informasi aktual melalui Facebook dan Instagram.

Tak jarang, tanpa kita sengaja mencari, medsos menyediakan informasi yang lekat dengan preferensi kita karena adanya algoritma.

Menurut Abukaker Kashada, banjir informasi (information overload) muncul karena jumlah informasi yang diterima tidak sebanding dengan kapasistas manusia untuk menampung informasi tersebut.

Akibatnya, manusia susah berkonsentrasi dan rentan merasa terburu-buru serta memicu ketidakstabilan emosi dan sindrom Fear of Missing Out (FOMO).

Efek lanjutan dari akibat-akibat tersebut bisa berupa gangguan kecemasan (anxiety disorder), menurunnya produktivitas, meningkatnya stres, menurunnya kemampuan pengambilan keputusan, dan depresi.

Melalui Instagram, warganet dapat menemukan rekannya yang memperlihatkan kesuksesan dalam pendidikan atau pekerjaan, dokumentasi perjalanan yang Instagramable, keberhasilan diet, kemesraan bersama pasangan, dan lain-lain.

Melalui Instagram (dan WhatsApp story), dorongan untuk menyebarkan tren terbaru dengan harapan mendahului orang lain, cenderung lebih mudah ditemukan.

Apa efek lanjutannya? Sama seperti efek overload information, unggahan seperti feed maupun story relatif memunculkan gangguan kecemasan dan stres yang berujung pada depresi, baik tingkatan ringan maupun sedang.

Seperti dilansir oleh Time, hal ini terjadi karena adanya perasaan kecemburuan terhadap orang lain yang mendapatkan kebahagian lebih dibanding dengan dirinya.

Bagaimana Instagram Memengaruhi Mental Orang Muda (Sumber: Paradise News)

Gambar di atas memperlihatkan bagaimana Instagram berdampak pada cara berpikir kaum muda di Amerika Serikat dan Inggris.

Berdasarkan data tersebut, secara tak langsung, Instagram memicu warganet untuk terlihat sempurna di mata orang lain.

Paparan ini belum memperhitungkan efek persebaran berita bohong atau hoaks bagi warganet.

Media Sosial Membentuk Hidup Kekinian?

Menurut penulis ada tiga poin tentang bagaimana media sosial membentuk kehidupan masa kini.

Pertama, hidup untuk menjadi sempurna tentu tidak salah. Dalam arti, seseorang berusaha memperbaiki diri dari hari ke hari. Yang menjadi soal adalah adanya kecemburuan dan insekuritas akibat terpaan unggahan media sosial.

Kedua, media sosial sebagai katalis produksi ego. Manusia pasti memiliki ego, tentu dengan kadar bervariasi untuk setiap orang. Media sosial mempermudah manusia menyalurkan dan memperbanyak ‘jumlah ego’.

Pernahkah Anda tebersit untuk ‘menjadi yang pertama menyebarkan suatu tren’? Pernahkah Anda sengaja ingin memperlihatkan diri Anda yang wah agar semua orang melihat?

Efek kompetisi menjadi wah ini secara perlahan mengurangi kemampuan manusia untuk bersyukur dan meningkatkan cara hidup serba instan!

Ketiga, penulis sepakat dengan Marissa Anita media sosial dapat mengurangi kesadaran diri (mindfulness).

Coba perhatikan berapa jam Anda menghabiskan waktu untuk scrolling cuitan atau update-an teman?

Makin kurangnya waktu untuk menjejakkan diri di dunia nyata maupun kemampuan untuk bersyukur, kita makin kehilangan produktivitas dan kewarasan (medsos memengaruhi kesehatan mental).

Cara paling radikal dalam menyikapi efek negatif medsos adalah dengan puasa medsos. Foto: Pexels

Bagaimana Bersikap?

Cara paling radikal dalam menyikapi efek negatif medsos adalah dengan puasa medsos. Artinya, menjauhi medsos sebisa mungkin dengan cara uninstall dan atau log out dari akun medsos.

Kalau pun tidak bisa, setidaknya mengurangi intensitas penggunaan medsos itu sendiri.

Penulis setidaknya sudah mencoba menghapus aplikasi Instagram, Twitter, dan Facebook Lite serta logout dari aplikasi tersebut.

Untuk relasi dan urusan profesional serta akademis, penulis masih sebatas mengurangi penggunaan WhatsApp, Telegram, dan Youtube beserta fiturnya.

Kedua, menguatkan rasa bersyukur dapat menjadi obat dampak negatif medsos. Misalnya dengan membuat jurnal atau diari harian yang berisi hal-hal yang membuat Anda bersyukur.

Menguatkan rasa syukur membantu kita untuk memahami bahwa untuk mencapai sesuatu perlu proses, melalui usaha dan doa. Bersyukur adalah suatu kemampuan yang harus dilatih.

Terakhir, menerapkan filosofi Stoikisme. Stoikisme, mazhab yang ditemukan oleh Zeno di Athena, mengajarkan kita untuk ‘mengendalikan apa yang bisa kita kendalikan, melakukan apa yang bisa kita lakukan (saat ini, terutama), melepaskan yang tidak bisa kita kontrol, dan mengesampingkan hal-hal yang tak bisa dilakukan’.

Dengan menerapkan cara berpikir itu, kita akan terfokus pada kehidupan diri sendiri dan masa kini, menjadi pribadi utuh, tanpa membandingkan dengan entitas lain, serta menyadari apa yang kita butuhkan.

Belum tentu kan informasi yang beredar kita butuhkan?

Penulis tak menafikan bahwa medsos sangat cocok bagi perusahaan dan entitas bisnis.

Namun, kita sebagai manusia merdeka berhak memilih apakah tetap menjadi target pasar penyedia medsos atau menyadari dirinya di masa kini sebagai manusia utuh. **

Dosen Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Jawa Timur. Lulusan S-1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan S-2 International Relations di University of Groningen, Belanda. Ia aktif menulis artikel ilmiah di media massa online maupun offline.

Leave A Reply

Your email address will not be published.