Katolikana.com—Tuntutlah ilmu hingga ke Negeri Cina. Inilah yang dilakukan oleh Eudia Kristovani dan Renita Bayu. Dua mahasiswa Indonesia ini berhasil masuk universitas di negeri Tirai Bambu lewat jalur beasiswa.
Eudia Kristovani belajar di Huaqiao University, Xiamen, Cina dan Renita Bayu di Jinan University, Guangzhou, Cina.
Eudia Kristovani menempuh kuliah semester enam jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin (Huawen Jiaoyu) di Huaqiao University, Xiamen.

Vani tinggal di asrama karena sudah termasuk dari beasiswanya dan lebih terjangkau.
“Aku tinggal di asrama. Semua mahasiswa di Cina itu pasti asrama, karena di sana tidak ada istilah ngekos. Mahasiswa menyewa apartemen buat tempat tinggal dan itu mahal banget,” ungkap Vani kepada Katolikana, Senin (25/4/2022).
“Biasanya yang bisa menyewa apartemen itu orang-orang yang sudah bekerja atau punya penghasilan stabil. Mahasiswa umumnya tinggal di asrama,” tambahnya.
Renita Bayu adalah alumni Jinan University, Guangzhou. Selama studi di Cina, Renita juga tinggal di asrama.
“Selama sekolah di Cina itu aku full tinggal di asrama. Satu kamar untuk empat orang. Itu memang sudah termasuk di program beasiswa”, ujar Renita.
Biaya hidup
Untuk biaya hidup di Cina ditentukan oleh gaya hidup masing-masing. Untuk biaya normal Rp2.000.000/bulan.
“Kalo mau hemat, sekitar 1.000 RMB atau yuan, sudah cukup. Sekitar Rp2.000.000 sudah bisa makan tiga kali sehari. Uang dari beasiswa aku dulu itu 800 RMB”, ujar Renita.
“Kalo mau jajan-jajan atau sambil jalan-jalan, waktu itu aku butuh sekitar 3.000 RMB atau sekitar Rp6.000.000,” tambahnya.
Berbeda dengan Renita, Vani menghabiskan kurang lebih Rp1.600.000/bulan untuk biaya hidup.
“Dari beasiswa aku dapat Rp5.000.000 untuk tiga bulan, tapi itu pas-pasan banget. Aku pakai irit banget. Ada juga temenku yang Rp5.000.000 sudah habis dalam waktu dua minggu.Jadi tergantung masing-masing,” ujar Vani.
“Biasanya uang habis buat makan dan kebutuhan sehari-hari. Sabun atau shampo di Cina itu mahal. Ukuran 500ml itu kisaran Rp120.000. Itu juga merek yang biasa saja,” ungkap Vani.

Dalam hal makanan, Cina terkenal dengan porsi makanan yang besar dan bumbu yang kuat. Hal ini tak jadi masalah bagi mahasiswa asing, karena makanan di Cina beragam dan mudah untuk dicari.
“Makanan di sana banyak dan beragam. Di universitas aku saja ada sekitar delapan kantin. Di luar itu banyak tempat untuk cari makanan,” ujar Vani.
“Porsi makan mereka itu banyak banget. Jujur aku bilangnya porsi gentong karena memang sebanyak itu,” tambah Vani.
Namun, makananan halal tak sebanyak makanan non-halal yang dijual di sana.
“Makanan di sana beragam. Tapi makanan halal di sana tidak sebanyak makanan non-halal. Di universitas ada dapur Muslim dan dapur vegetarian. Jadi, kjamu bisa makan sesuai yang ingin kamu makan,” ujar Renita.
Harga makanan di Cina tak berbeda jauh dengan di Indonesia.
“Harga tidak berbeda jauh dengan di Indonesai. Mungkin lebih mahal dari Jogja, tapi untuk harga Jakarta kurang lebih sama. Tapi di Cina bakal dapat porsi yang super banyak dan menunya beragam,” ungkap Renita.
Dilansir dari Sun Education Group, bumbu dan makanan khas Asia Tenggara dapat ditemui di supermarket atau pasar di Cina.
Bahkan, jika lancar berbahasa Mandarin tak sungkan-sungkan penjual akan memberi diskon ketika berbelanja.
Sistem Perkuliahan
Sebagai mahasiswi Huaqiao University, Vani harus menempuh studi dengan sistem yang ditentukan atau sistem paket.
“Di tempatku sistemnya paket. Jadi sudah ditentukan kita akan belajar apa saja selama empat tahun. Jadi tidak ada sistem ambil SKS kayak di Indonesia. Tapi mungkin bisa berbeda dengan universitas lain,” ujar Vani.
Menurut Renita, Jinan University memiliki sistem SKS layaknya di Indonesia. “Di tempatku mirip di Indonesia, ada SKS. Kita harus menyelesaikan berapa SKS dalam setahun itu sama,” ungkap Renita.
“Bedanya, jam kuliahku waktu di Jinan seperti jam sekolah. Masuk kuliah pukul 07.30 selesai pukul 15.00. Kalau ada kelas tambahan pukul 15.00-17.00 atau 19.00-21.00,” ujar Renita.
Jam kuliah Vani berada di jam-jam tertentu layaknya di Indonesia.
“Mirip di Indonesia sih, ada sesi-sesinya. Masuk pagi, siang atau sore. Di sini paling pagi pukul 08.00, paling malam pukul 21.00,” ungkap Vani.
Secara keseluruhan sistem perkuliahan di Cina tergantung kebijakan masing-masing universitas.
Memiliki sikap disiplin, etos kerja yang tinggi, mandiri, sangat kompetitif dan mendedikasikan waktu yang mereka miliki untuk bekerja dan belajar menjadi salah satu ciri atau sikap yang diterapkan oleh masyarakat di Cina.
“Orang di Cina itu terkenal banget dengan sikap disiplin, dalam hal apapun, mau kecil atau besar. Itu terbukti sih. Selama aku kuliah aku belum pernah menemukan dosen telat masuk kelas. Begitu jam 08.00 atau jadwalnya kelas itu benar-benar langsung dimulai,” ujar Vani.
“Mereka juga punya etos kerja keras. Total mereka kerja atau belajar lebih dari 8 jam bahkan bisa 12 jam. Biasanya kalau aku pulang kuliah kelas malam, suka rebutan bus dengan anak sekolah yang baru selesai sekolah pukul 20.00,” ungkapnya.
“Kalau di kampus beda. Kita sudah ada jamnya masing-masing. Tapi kalau yang bekerja di kampus seperti penjual di kantin, dosen, atau apapun, mereka biasanya dari pagi sampai malem,” tambah Vani.
“Memang mereka itu orangnya pekerja keras dan mandiri,” ujar Renita.

Suka Duka
Selama kuliah di sana, Vani dan Renita merasakan lebih banyak suka dibandingkan dukanya.
“Aku suka di sana karena bisa ketemu teman dari luar negeri, dapat pengalaman baru, dan belajar bahasa Mandarin di Cina langsung. Itu impianku,” ujar Vani.
“Dukanya paling di awal-awal karena basic aku belum sebagus teman-teman lain. Jadi aku harus mengejar ketertinggalan,” ujar Vani.
“Aku suka dan senang kuliah di sana. Hidup mandiri, punya relasi dari berbagai negara di dunia, dan bisa explore Cina yang super terkenal,” ujar Renita.
“Duka paling di awal-awal saja karena belum terbiasa mendengar orang ngomong Mandarin secepat itu,” ungkap Renita.
Tak Perlu Khawatir
Bagi teman-teman yang ingin studi di Negeri Tirai Bambu, ternyata tak sedikit mahasiswa dari Indonesia.
“Di universitasku, mahasiswa Indonesia itu terbanyak kedua setelah Thailand. Di angkatan ada 99 mahasiswa dari Indonesia,“ ujar Vani.
“Di kampusku hampir 300 sampai 600 mahasiswa Indonesia per tahun. Belum di kampus-kampus lain, pasti banyak juga,” ujar Renita.
Menurut Sun Education Group, sebanyak 492.000 mahasiswa internasional dari 196 negara datang ke Cina untuk belajar di 1004 universitas dan lembaga pendidikan lainnya per tahun.
Penggunaan VPN
Jika di Indonesia bebas mengakses aplikasi seperti Whatsapp, Youtube, Google, Facebook, dan lain-lain, di Cina sangat dibatasi. Mereka memiliki aplikasi buatan sendiri.
Hal ini menjadi salah satu hambatan bagi mahasiswa Indonesia untuk berkomunikasi dengan keluarga dan kerabat di Indonesia.
“Kalo di Indonesia apa-apa pakai Whatsapp untuk chat, telpon. Di Cina mereka punya aplikasi WeChat. Semua orang Cina pakai WeChat. WeChat juga sebagai salah satu alat pembayaran,” ujar Vani.
“Jadi kalau menghubungi orang tua, aku pakai VPN untuk berkomunikasi, membuka Whatsapp, Instagram, YouTube, dan lain-lain”, ujar Vani.
“Pemerintah Cina ingin agar rakyatnya pakai aplikasi buatan sendiri, jangan sampai pakai aplikasi buatan luar negeri,” tambahnya.
Renita pun mengalami kesulitan di awal-awal tinggal di Cina. “Awal-awal mungkin sulit. Tapi ada VPN, baik yang gratis atau berbayar. Jadi tidak masalah untuk berkomunikasi,” ujar Renita.
Cina memiliki aplikasi yang digunakan khusus untuk masyarakat di Cina.
“Misal, di sini ada Google untuk internasional mereka pakai Baidu, kalau YouTube ada Youku, dan lain-lain” , ujar Renita
Kontributor: Brigitta Raras (Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.
Wahhh menarikk
Porsi gentong😂