Katolikana.com—Dengan penyematan abu di dahi pada perayaan Rabu Abu, umat Katolik diberikan tanda untuk secara resmi memasuki masa puasa selama 40 hari ke depan ini.
Masa selama 40 hari merupakan masa ‘retret agung’ untuk mengosongkan diri melalui refleksi dan koreksi diri serta untuk menyusun ulang niat dan langkah ke depan melalui tindakan konkret.
Melalui Rabu Abu, orang bisa mengingat hal penting yang tidak boleh dilewatkan sebelum memasuki masa Prapaskah, yakni sikap dan tindakan pengosongan diri, refleksi dan koreksi diri. Hal ini hanya bisa dijalankan apabila terjadi disposisi diri dan batin yang tepat.
Disposisi dan batin yang tepat memerlukan titik start atau fondasi yang baik dan berkualitas. Di sini, Rabu Abu menjadi titik start untuk merefleksikan diri, merendahkan diri, merendahkan hati lalu menjadi seperti abu. Posisi yang demikian merupakan titik balik sekaligus gerbang batin yang benar dan tepat untuk memasuki masa Prapaskah.

Kerendahan Hati
Kerendahan diri dan hati di hadapan Tuhan yang dilambangkan oleh abu atau tanah, dapat berangkat dari beberapa hal berikut.
Pertama, rendahnya manusia dihadapan Tuhan sudah dimulai sejak manusia diciptakan dari tanah. Di sini Tuhan mengangkat manusia dari tanah, diberikan nafas kehidupan sehingga menjadi makhluk hidup (bdk. Kej 2:7).
Situasi itu menunjukkan dan menegaskan eksistensi manusia yang berasal dari tanah atau debu di kaki Tuhan. Posisi ini mestinya membuat manusia sadar bahwa tidak ada alasan untuk menyombongkan diri di depan Tuhan. Sehebat-hebatnya manusia, suatu saat pun, jika sudah tiba saatnya, manusia yang dari tanah akan kembali ke tanah dalam peristiwa kematian.
Kedua, sikap pertobatan dan merendahkan diri dengan menggunakan abu atau tanah juga terlihat jelas dalam kisah-kisah Biblis seperti tindakan orang dan Raja Niniwe yang bertobat akibat pemberitaan Yunus (Bdk. Yunus 3:6), Kisah Ayub yang berduka dan meminta belas kasih Tuhan (Bdk. Ayub 2:12).
Ketiga, abu atau tanah merupakan unsur dasar di bumi ini, selain api dan air. Dikatakan demikian, sebab di atas abu atau tanah ini semuanya bertumbuh, hidup maupun dibangun. Hal ini membuat tanah atau abu menjadi titik awal atau fundamen bagi banyak hal yang hidup, beraktivitas atau pun yang dikerjakan di dalam dunia dan kehidupan ini.
Berdasarkan ketiga hal tadi bisa dilihat bahwa tanah atau abu menjadi titik awal kehidupan, di mana kehidupan dimulai, sekaligus menjadi titik akhir kehidupan, di mana kehidupan berakhir.
Titik Kembali
Dengan demikian, tepat jika tanah atau abu digunakan sebagai simbol di dalam momen Rabu Abu ini menjadi titik kembali. Ia menjadi titik kembali bagi umat Katolik untuk sadar dan kembali kepada fitrahnya sebagai ciptaan Tuhan yang berasal dari abu.
Hal ini bisa berarti bahwa umat kembali sadar atas posisinya sebagai alas di kaki Tuhan dan berbalik dari berbagai tindakan yang menyepelekan peran Tuhan dalam setiap langkah hidup.
Posisi ini mestinya membawa dan menuntun kita untuk sadar dan bersandar setiap kepada Tuhan. Jika demikian maka manusia tidak boleh mengandalkan kekuatan sendiri.
Sebagaimana Raja Niniwe dan Ayub, tindakan kembali mengikuti kehendak Tuhan dengan bertobat dan berpuasa adalah tindakan baik sebagai umat Tuhan yang patut diikuti. Sebab, dari situ mereka memperoleh rahmat dari Tuhan.
Untuk mendukung itu, para pengikut Kristus perlu melakukan berbagai niat dan tindakan silih dan tobat melalui banyak perbuatan baik di masa Prapaskah ini.
Ini dapat menjadi bukti nyata sikap, kehendak dan tindakan kita untuk mengikuti Tuhan, sekaligus memelihara kehidupan beragama dan bersosial demi membangun hidup yang baik di atas tanah atau di atas dunia tempat kita berpijak.
Indikator untuk melaksanakan semua ini sudah ditegaskan secara jelas oleh Yesus mengenai sedekah dan berpuasa dalam teks Injil di Hari Rabu Abu (Bdk. Mat 6:1-6).
Untuk memulai semua amal dan puasa, Rabu Abu menjadi titik kembali, sebuah titik untuk mengulangi dan memulai yang tepat untuk mengawali langkah kita.
Langkah itu adalah langkah untuk kembali ke dalam diri, mengosongkan diri, berefleksi secara dalam dan mengoreksi diri.
Memulai perayaan Rabu Abu secara baik, berkualitas dan mendalam menjadi pijakan awal kita sebagai umat Katolik untuk membuka masa Prapaskah.
Sanggupkah kita melakukannya?
Selamat mengosongkan diri, berefleksi dan mengoreksi diri untuk menyusun niat dan tindakan dalam retret agung di masa Pra-Paskah tahun 2023.

Pengajar STPM St Ursula, Ende