Roma, Puasa, dan Kuasa Ilahi

Di Kota Roma ada Masjid Agung yang besar, bahkan terbesar di Uni Eropa.

0 568

Oleh Deni Iskandar, pemuda asal Pandeglang, Banten. Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Anggota Gerakan Pemuda Ansor. Mahasiswa dari Yayasan Nostra Aetate, Vatikan.

Katolikana.com—Genap sudah empat bulan, saya belajar hidup dan mengarungi bait-bait kehidupan di Kota Roma, Kota Abadi, ibu kota negara Italia.

Tentu suasananya sangat berbeda jauh dengan kehidupan di negeri saya lahir, Indonesia. Namun demikian, hari demi hari saya lalui, tidak pantas rasanya saya mengeluh, bersedih, apalagi sampai ingin segera kembali.

Rasa itu jauh sekali, dan tidak pernah sedikit pun terlintas dalam benak saya; maksud saya untuk kembali ke Indonesia.

Negara Pertama

Seumur hidup saya, Kota Roma, ibu kota negara Italia, adalah kota dan negara pertama di luar negri yang tanahnya saya injak dan tempatnya saya singgahi.

Terus-terang, saya belum pernah ke luar negri sebelumnya. Ada banyak pengalaman hidup yang saya dapatkan di sini, yang tentu saja itu tidak didapatkan dan tidak dirasakan oleh teman-teman yang se-angkatan dengan saya.

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa suatu waktu di dalam hidup saya, saya akan merasakan bagaimana belajar dan kuliah di Pontifical University Thomas Aquinas-Angelicum dan Universita Pontifica Gregoriana, juga di Nostra Aetate Foundation pada Dicastery for Interreligious Dialogue (NAF-DID) Office di Vatikan.

Wasilah

Berkat wasilah—pertolongan melalui perantaraandari seorang Pastor Katolik, bernama Padre Marco, SVD, saya bisa punya kesempatan belajar di kampus-kampus Kepausan dan Dikasterium Kepausan milik negara Vatikan.

Saya bersyukur diberi kesempatan belajar secara formal di dua kampus dan di Nostra Aetate Foundation Office, tempat bekerja Padre Marco, tentang metode dan strategi serta pendasaran Gereja Katolik bekerja dan memajukan dialog lintas agama untuk perdamaian dan kerukunan global.

Saya belajar dan melakukan berbagai pengalaman untuk memperkaya diri ketika semuanya itu saya elaborasi dalam perbandingan dengan agama saya, Islam.

Sungguh ada banyak nilai bersama yang harus kita gali, kita refleksikan dan kita cari aplikasi-aplikasi nyata agar membantu mendekatkan kita dan bekerjasama untuk kesejahteraan bersama.

Mahasiswa Yayasan Nostra Aetate di Vatikan, Deni Iskandar yang berasal dari Pandeglang, Banten, bersama Padre Marco Solo dari Yayasan Nostra Aetate. Foto: Istimewa

Padre Marco SVD

Sebagai orang Indonesia, saya merasa bangga, bisa kenal dengan Padre Marco. Selain karena sosoknya yang humble beliau juga sangat peduli dengan saya, meski saya bukan siapa-siapa.

Saya bukan anak Menteri, anak Gubernur, anak Walikota/Bupati, anak Jenderal. Saya ini hanyalah orang kampung (gembel) yang dengan campur tangan Ilahi mendapat kesempatan belajar di Uni-Eropa. Jalan Ilahi selalu beda dengan pikiran dan rencana manusia.

Lepas dari itu, ada satu hal lain yang membuat saya merasa bangga bisa kenal Padre Marco. Beliau adalah satu-satunya orang Indonesia dan orang Indonesia pertama yang bekerja di Kuria Tahta Suci dan negara Vatikan.

Negara paling kecil di dunia, yang punya kedaulatan dengan teritori utama seluas 0,44 kilo meter persegi, sekaligus ekstra teritori di Kota Roma dan sekitarnya.

Negara kecil di bawah pimpinan Paus Fransiskus kelahiran Argentina ini terkenal sangat kuat pengaruhnya untuk sejarah dan peradaban dunia hingga saat ini.

Bagaimana tidak! Saya yang dilahirkan dari keluarga bukan ningrat, apalagi mapan, bisa-bisanya saya diberi beasiswa full oleh Vatikan.

Lebih dahsyatnya lagi, negara Vatikan menjamin kehidupan saya, mulai dari urusan besar seperti izin tinggal, asuransi, studi, hingga tempat tinggal dan makan minum.

Mahasiwa Yayasan Nostra Aetate di Vatikan Deni Iskandar (jaket pink) asal Pandeglang, Banten dan Raheema Jayari asal Mindanao, Filipina (jaket coklat) berfoto Bersama dengan Padre Marco Solo dari Yayasan Nostra Aetate. Foto: Istimewa

Bukan Siapa-Siapa

Rasanya tidak bosan-bosan untuk berkata: Saya bukan siapa-siapa. Saya bukan pimpinan organisasi, bukan anak kiai, bukan anak tokoh. Saya kadang merasa bahwa dunia mulai terbalik!

Hanya bermodalkan semangat dan keinginan saja saya berangkat meninggalkan kampung halaman dan belajar hal-hal baru menyangkut keagamaan di Kota Roma ini.

Lain-lainnya, tidak ada. Bahkan saya ingat betul modal awal saya ketika berangkat ke Kota Roma. Tanpa Sponsor! Untungnya Tuhan itu maha baik.

Dalam proses persiapan perjalanan menuju Roma, saya dibantu secara full oleh Kardinal Suharyo, Uskup Paskalis Bruno Syukur, OFM, Bang Melki Laka Lena, juga Pak Putut Prabantoro. Betapa saya berterima kasih kepada mereka. Tanpa mereka, saya tidak mungkin sampai di sini.

Dalam rumus kehidupan, saya meyakini tentang konsep wasilah, bahwa pertolongan Tuhan akan selalu datang bagi orang-orang yang berjuang. Pertolongan Tuhan itu diturunkan dan datang melalui manusia, yang memiliki sifat-sifat Ketuhanan.

Dalam doktrin Gereja Katolik, mungkin konsep ini mirip dengan apa yang disebut Juru Selamat. Seperti halnya, Yesus Kristus menyelamatkan umat manusia dari kesengsaraan, yang rela berkorban untuk umat manusia di dunia ini.

Bagi saya, konsep Juru Selamat maupun wasilah ini mirip, bahwa ada campur tangan Ilahi, ada pengorbanan, ada kebahagiaan dan keselamatan. Hanya saja, peristiwa atau konsep Juru Selamat ini lebih kepada jalan Teologi-Spiritualis.

Banyak Pengalaman

Selama hidup di Kota Roma, saya menemukan dan aktif melakukan banyak pengalaman, mulai dari perjalanan spiritual, akademis, hingga kepada pencarian dan pembangunan jaringan relasi persahabatan berskala internasional.

Saya menyadari bahwa peristiwa perjalanan kehidupan umat manusia hanyalah menjemput Qodo (ketetapan) dan Qodar (ketentuan) Tuhan yang telah digariskan di alam Ajali (Asal). Alam di mana sebelum kita dilahirkan ke dunia, Tuhan menuliskan semua kesimpulan perjalanan kehidupan umat manusia, di alam mayapada ini.

Di Kota Roma ini saya melihat banyak situs antik sejarah peradaban yang diabadikan dengan baik. Entah berapa ratus juta turis manca negara per-tahun datang ke kota ini. Tiap hari Roma selalu dipadati para turis.

Saya melihat banyak bangunan tua, setengah roboh, hingga patahan-patahan tembok yang dirawat dengan baik, juga banyak museum.

Selain itu terdapat gedung-gedung Basilika, terkhusus  Basilika Santo Petrus di Vatikan, Basilika Santo Paulus di luar tembok kota Roma, Basilica Santa Maria Maggiore, Basilika Santo Yohanes Lateran. Empat Basilika ini adalah Basilika-basilika Kepausan milik Tahta Suci Vatikan.

Ada ribuan gereja di kota Roma. Ada julukan diberikan kepada kota Roma sebagai kota seribu Gereja.

Selain itu ada peninggalan paling bersejarah di sini, yaitu Colloseum, lapangan Circo Massimo, Piazza Venezia, Museum Campidoglia, Forum Romanum, Fontana di Trevi, Tangga Spanyol, Piazza del Popolo, Pantheon, Piazza Navona, dan tentu saja Vatikan yang merupakan obyek kunjungan manusia dari seluruh dunia, entah dari budaya dan agama apa pun.

Ramadhan di Kota Abadi

Rasa syukur saya tidak pernah berubah. Tidak terasa tinggal beberapa hari lagi saya akan menyelesaikan semua program di Roma dan Vatikan.

Ramadhan juga sebentar lagi berakhir. Apakah Ramadhan yang akan datang, saya akan bisa berpuasa kembali seperti ini? Waallahu ‘Alam.!

Meskipun di Kota Roma ini umat muslim bisa dihitung dengan jari, namun saya harus salut dan angkat jempol untuk keramahan dan keterbukaan pemerintah dan masyarakat.

Dalam praktek beragama, umat Muslim bisa dengan bebas dan leluasa, menjalankan ibadah puasa, solat berjamaah, juga berpuasa.

Sepanjang saya hidup di Kota Roma ini, saya melihat dan merasakan betul, bahwa umat Muslim di Kota Abadi ini, bisa mengekspresikan kehidupan beragama secara luwes.

Semua hak-hak beribadahnya terpenuhi. Kalau ada Muslim tidak sholat atau tidak berpuasa, itu persoalan pribadinya dan bukan karena orang-orang non-Muslim mempersulit dirinya.

Masjid di Roma

Di Kota Roma ada Masjid Agung yang besar, bahkan terbesar di Uni Eropa, juga puluhan musola yang digunakan sebagai tempat Ibadah, termasuk juga Ibadah Sholat Jumat, dan juga sholat Tarawih.

Salah satunya, musola di wilayah Vittorio Emanuele, bernama Musola Baitu Assalam (Rumah Keselamatan). Menariknya bahwa Mosala ini persis berdampingan dengan sebuah Gereja Katolik.

Alhamdulillah, puasa saya selama bulan suci Ramadan lancar, alias tidak batal. Sahabat-sahabat Katolik yang serumah dengan saya, memberikan kepada saya apa yang saya butuhkan untuk berpuasa.

Dari Masjid Agung Roma saya mendapatkan daftar lengkap tentang jam Sahur, sholat, matahari terbit, matahari terbenam dan buka puasa. Semua lengkap.

Hal ini membuat puasa saya memiliki makna berbeda dan spesifik, tidak seperti di Indonesia. Sebelumnya, selama sembilan tahun lebih, selepas keluar dari Pondok Pesantren, biasanya puasa saya selalu batal.

Puasa Lancar

Alhamdulillah, di Kota Abadi ini, puasa saya berjalan lancar. Inilah salah satu keuntungan kita bisa sedikit keluar dari lingkungan sempit kita untuk mengenal dunia lain.

Ada banyak hal indah yang kita temukan dan membantu memperlebar horison dan mengubah cara pandang dan cara paham kita.

Yang kita takut-takutkan sebelumnya tidak semuanya benar. Saya berdoa semoga hari-hari dan malam-malam ke depannya lebih panjang, biar masih bisa tinggal lebih lama di sini.

Kata orang, kalau mau kembali lagi ke Roma, harus buang koin-koin kecil di Fontana di Trevi dengan posisi membelakanginya.

Mau coba deh. Jangankan sekali, bisa berkali-kali. Mumpung masih punya banyak koin Euro kecil di celengan! (*)

Sant. Gregorio, Cellio, Rome, Kamis, 20 April 2023

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.