#TanyaRomo: Saya Katolik, Calon Istri dari Protestan. Bagaimana Jika Ada “Mantan” yang Keberatan?

0 6,509

Katolikana.com — Saya seorang Katolik, istri saya dari Protestan. Sebelum menikah, karena agama istri saya Protestan yang ada perjanjian dengan agama Katolik, istri saya tidak dipermandikan lagi karena sudah dipermandikan di Gereja Protestan. Hanya proses untuk menjadi Katolik itu, istri saya harus menerima Sakramen Penguatan.

Setelah resmi menjadi Katolik, baru bisa melakukan pendaftaran untuk ikut kursus perkawinan selama tiga Minggu.

Setelah mengikuti kursus, barulah melakukan pendaftaran nikah. Setelah pendaftaran nikah, nama kedua pasangan akan diumumkan selama tiga minggu berturut-turut di gereja tersebut.

Apa tujuan pengumuman tersebut? Bagaimana jika ada ‘mantan’ suami atau istri yang masih belum rela diceraikan oleh salah satu pasangan yg berencana menikah secara Katolik?

Alex Abi

 

Pastor Postinus Gulö, OSC:

Saudara Alex yang baik, terima kasih atas pertanyaan Anda.

Hal yang perlu diapresiasi adalah calon istri Anda yang tadinya beragama Protestan kemudian mau menjadi anggota Gereja Katolik dengan sukarela.

Gereja Katolik mengakui baptisan Gereja Protestan yang materia dan forma-nya sama dengan yang diakui oleh Gereja Katolik.

Materia baptisan adalah air murni. Sedangkan forma baptisan adalah kata-kata yang diucapkan saat pembaptisan: “Saya membaptis engkau dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus”.

Cara pembaptisannya pun mesti dilakukan satu persatu kepada masing-masing calon baptis.

Umumnya, Gereja-Gereja yang berada di bawah PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia), baptisan mereka diakui oleh Gereja Katolik.

Ketika umat Protestan yang “baptisannya” diakui sah oleh Gereja Katolik, maka ketika pindah menjadi anggota Gereja Katolik, ia tidak perlu dibaptis lagi.

Baptisan yang sah, tidak bisa dan tidak boleh diulang. Hal ini ditegaskan dalam Kitab Hukum Kanonik Kanon 845. Ia diterima secara resmi dalam Gereja Katolik setelah mengikuti masa katekumenat (masa pembelajaran menjadi Katolik).

Tidak hanya itu, istri Anda ini juga mau menerima Sakramen Penguatan. Dalam Kitab Hukum Kanonik Kanon 1065 §1, orang yang dibaptis Katolik atau diterima di dalamnya jika akan menikah, dianjurkan untuk menerima Sakramen Penguatan.

Namun, ini bukanlah aspek keabsahan (ad validitas) dari perkawinan. Jika penerimaan Sakramen Penguatan itu tidak memungkinkan menjelang perkawinan, maka perkawinan tetap sah.

Memang perlu diakui bahwa Sakramen Penguatan ini sangat penting. Bahkan wajib diterima oleh setiap umat Katolik (bdk. Kanon 890).

Melalui Sakramen Penguatan, kita dicurahkan oleh Roh Kudus sehingga berani menjadi saksi-saksi Kristus dengan perkataan dan perbuatan. Bahkan, mewartakan dan membela iman Kekatolikan (bdk. Kanon 897).

Laporan Halangan Nikah Sebelum perkawinan dirayakan, Pastor melakukan penyelidikan yang memadai terhadap calon pasangan.

Tujuannya adalah untuk membantu calon pasangan ini bisa menikah sah secara Katolik (KHK Kanon 1066). Pastor mengusahakan agar tidak ada satu hal pun yang menghalangi perayaan perkawinan yang sah (ad validitatem) dan layak (ad liceitatem).

Umumnya, setelah Pastor melakukan pemeriksaan kanonik kepada calon pasangan, barulah dilakukan pengumuman (KHK Kanon 1067) sebanyak tiga kali di dalam Gereja Paroki di mana calon pasangan berdomisili atau kuasi domisili.

Tujuan utama pengumuman perkawinan ini adalah agar umat beriman yang mengetahui adanya halangan nikah dari calon pasangan, wajib melaporkan kepada Pastor atau kepada Uskup atau Romo Vikaris Jenderal (KHK Kanon 1069).

Jadi, kalau dalam kasus yang ditanyakan Pak Alex ini, ada laporan dari mantan “calon pasangan” (mantan istri atau mantan suami), harus segera ditelusuri kebenarannya.

Sebab, seseorang yang masih terikat perkawinan terdahulu, kendati sudah cerai sipil, tidak bisa menikah sah secara Katolik SEBELUM perkawinannya dianulasi oleh Tribunal Keuskupan atau diputus (dissolutio vinculi) oleh Tahta Suci (KHK Kanon 1085).

Jika setelah ditelusuri oleh Pastor dan terbukti bahwa calon mempelai masih terikat perkawinan terdahulu, maka perkawinan tersebut perlu ditunda sampai keluar putusan anulasi atau pemutusan ikatan nikah.

Pertanyaannya: Apakah mereka yang sudah cerai sipil dijamin perkawinannya bisa dianulasi?

Jawabannya: Belum tentu. Sebab, arti anulasi itu adalah pembatalan perkawinan yang sejak semula tidak sah (void ab initio).

Saya punya ilustrasi sederhana terkait anulasi ini. Misalnya, dalam pertandikan sepak bola, seorang striker (penyerang) membawa bola dan menggolkan dalam keadaan offside.

Bola memang masuk ke gawang lawan. Tetapi, gol itu anulir oleh wasit karena sebelum menggolkan dia sudah offside.

Demikian halnya dalam perkawinan. Jika seseorang melangsungkan perkawinan, tetapi sebelumnya ada hal-hal yang menghalangi perkawinan yang sah sah, maka perkawinan yang dilangsungkan tidak sah.

Perkawinan yang tidak sah ini yang dapat dianulir oleh Hakim Tribunal.

Penyebab perkawinan tidak sah, yakni:

  1. terkena salah satu halangan nikah;
  2. cacat kesepakatan nikah; dan
  3. cacat bentuk perayaan perkawinan kanonik.

Jadi, kalau tidak memiliki dasar anulasi dari salah satu penyebab ini, maka permohonan anulasi perkawinan, pasti ditolak oleh Hakim Tribunal Keuskupan.

Namun, jika orang yang keberatan itu tidak memiliki lagi ikatan nikah dengan calon mempelai, maka perkawinan tetap bisa dilangsungkan.

Dalam beberapa kasus, ada “mantan” yang keberatan jika mantan pasangannya menikah lagi, kendati mantan pasangannya itu sudah menerima putusan anulasi perkawinan.

Umumnya, hal ini terjadi jika ada masalah harta benda, harta gono-gini. Jika ada hal ini, maka pastor paroki akan mempertimbangkan secara bijaksana agar Gereja tidak ikut terseret dalam masalah yang seharusnya Gereja tidak ikut “direpotkan”.

Selain itu, pastor mesti jeli agar tidak ada celah bagi pihak-pihak yang tidak berniat baik untuk “menggugat” Gereja secara hukum sipil.

Demikian jawaban saya terhadap pertanyaan ini. Semoga terjawab apa yang diharapkan oleh Bapak Alex.

Tuhan memberkati.

Bandung, 22 April 2023 (*)

 

Pastor Postinus Gulö, OSC adalah Pengajar Hukum Gereja di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar); Anggota Tribunal Keuskupan Bandung dan penulis buku: “Kasus-Kasus Aktual Perkawinan: Tinjuan Hukum dan Pastoral” (Penerbit Kanisius, tahun 2022).

 

Anda punya pertanyaan pribadi untuk ditanyakan kepada Romo? Kirimkan pertanyaan Anda melalui e-mail redaksi@katolikana.com dengan subjek “Tanya Romo”.

 

Pastor Postinus Gulö, OSC adalah penulis buku: “Kasus-Kasus Aktual Perkawinan: Tinjauan Hukum dan Pastoral” (Penerbit Kanisius, tahun 2022). Kini, mahasiswa Doktoral Hukum Gereja di Pontificia Universitá Gregoriana, Roma, Italia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.