Oleh Mawa Kresna, pemilik akun X @mawakresna.
Katolikana.com—Jika padaku ditanyakan apa yang akan ku sampaikan pada dunia yang penuh penderitaan..
Kan ku sampaikan kabar baik bagi orang-orang miskin, pembebasan bagi orang yang ditawan..
Yang buta dapat melihat dan yang tertindas dibebaskan…
Penggalan kalimat di atas merupakan lagu Kidung Jemaat yang entah bagaimana cerita bisa lekat di kepalaku sejak masuk di sekolah minggu. Selain nada yang enak dan mudah diingat, pesan tiap baitnya juga begitu menohok.
Setelah dewasa, aku baru tahu kalau lagi itu diambil dari Lukas 4:18-19. Kira-kira bunyinya sama dengan lagu itu. Ini ayat yang nyaris tiap natalan, aku kutip sebagai ucapan natal untuk teman-teman. Boleh dibilang ini ayat favorit.
Ayat ini menunjukan sikap, keberpihakan, tindakan yang dilakukan Yesus dalam konteks masyarakat pada masa itu. Yesus mendefinisikan diri sebagai sebagai pewarta yang menyampaikan kabar baik, penyembuh orang-orang yang sakit, pembebas bagi mereka yang ditawan dan ditindas. Ia juga menunjukan keberpihakannya pada orang sakit, miskin, ditawan, dan ditindas.
Ketika kalimat itu diucapkan Yesus, Kekaisaran Romawi adalah penguasa Timur Tengah. Bangsa Yahudi dan non-Yahudi yang tinggal di wilayah tersebut menjadi bangsa jajahan. Mereka diwajibkan membayar pajak per kepala kepada kerajaan Romawi. Pajak per kepala ini artinya tiap orang yang memiliki kepala harus membayar pajak.
Sebagian wilayah Romawi itu merupakan tanah Kanaan, tanah yang dijanjikan Tuhan pada bangsa Israel setelah mereka keluar dari Mesir. Sebagai catatan, tanah Kanaan bukanlah tanah kosong ketika Israel datang, di sebagian wilayah itu sudah didiami orang Filistin terlebih dahulu.
Wilayah Kanaan itu termasuk provinsi Siria, yang di dalamnya terletak kota Palestina, kota yang ditinggali bangsa Filistin. Palestina saat itu berbeda dengan Palestina sekarang dan sudah berubah luasan daerahnya dengan wilayah yang didiami bangsa Filistin sebelum Israel datang ke Kanaan.
Selama penjajahan Romawi itu, sudah muncul upaya pemberontakan, namun upaya itu selalu kandas. Salah satu kelompok yang bergerakan untuk memperjuangkan kemerdekaan adalah Zelot. Zelot ini adalah orang-orang Yahudi yang angkat senjata untuk melawan Romawi.
Oleh Romawi, Zelot ini disebut sebagai pemberontak dan teroris (mungkin sebutan teroris pertama di dunia disematkan pada Zelot). Pada masa itu banyak orang terlibat dalam gerakan Zelot ditangkap dan ditahan sebagai penjahat politik. Hukuman bagi mereka adalah disalibkan supaya orang-orang yang melihat sengsaranya penyaliban tidak berani terlibat dalam gerakan Zelot.
Ucapan Yesus tentang “Pembebasan untuk orang yang ditawan” merupakan respons atas para tahanan politik dan para pejuang kemerdekaan, termasuk orang-orang Zelot yang melawan Romawi pada masa itu.
Meski demikian, Yesus memilih jalan yang berbeda dengan orang-orang Zelot yang menempuh jalan angkat senjata. Yesus menawarkan pendekat baru. Ia mengajarkan perjuangan pembebasan tanpa kekerasan. Ia melakukan pengajaran untuk memberikan pencerahan dan penyadaran pada orang-orang. Gerakan Yesus dikenal dengan politik kasih Agape, politik dengan/atas dasar cinta kasih.
Pembeda gerakan Yesus dengan kelompok Zelot adalah Zelot yang fokus pada perjuangan untuk bangsa Yahudi/Israel, sementara Yesus lebih luas, yakni perjuangan untuk siapa pun yang tertindas, bukan cuma bangsa Yahudi, tapi juga bangsa Filistin (orang-orang Palestina) yang turut menderita di bawah pemerintahan Romawi. Yesus melebarkan gerakan yang semula dilakukan untuk kepentingan bangsa Yahudi, menjadi kepentingan bangsa lain yang juga ditindas.
Meski berbeda dengan Zelot, tapi Yesus tidak lantas memusuhi orang Zelot, ia justru merekrut Simon orang Zelot (beda dengan Simon Petrus) sebagai salah satu dari 12 muridnya. Perekrutan Simon orang Zelot ini secara simbolik bisa dimaknai sebagai ajakan kepada kelompok Zelot agar terlibat dengan perjuangan tanpa kekerasan.
Gerakan Yesus ini memperoleh banyak simpati masyarakat. Kisah kotbah di atas bukit dan pemberian makan 5.000 orang itu adalah bukti banyak orang yang menaruh simpati pada gerakan Yesus.
Mengumpulkan massa sebanyak itu dan semakin banyaknya pengikut Yesus dibaca sebagai ancaman politik bagi Romawi, terlebih lagi pengajaran Yesus tentang kerajaan Allah dimaknai sebagai gerakan makar untuk mendirikan kerajaan baru di wilayah jajahan Romawi.
Sialnya, tidak semua kelompok masyarakat yang dijajah sejalan dengan Yesus, ada orang-orang Farisi dan Saduki berpihak pada Romawi. Orang-orang Saduki ini merupakan kelompok bangsawan yang mendapat jabatan sebagai majelis kota dan imam besar. Mereka adalah orang yang tunduk dan menjadi perpanjangan tangan penjajah Romawi.
Mereka lah yang akhirnya berhasil memprovokasi gerakan anti-Yesus. Oleh orang-orang Saduki dan Farisi, Yesus tidak hanya dicap melawan tradisi agama Yahudi, tapi juga makar terhadap pemerintahan Romawi. Karena dua masalah itulah Yesus akhirnya ditangkap dan dihukum tanpa proses pengadilan.
Gerakan Yesus dan 12 muridnya berujung pada penyaliban. Penyaliban Yesus adalah bukti bahwa apa yang dilakukan Yesus merupakan gerakan politik, sebab penyaliban pada masa itu merupakan hukuman bagi para pemberontak dan tahanan politik kekaisaran Romawi.
Secara politis, kematian Yesus di kayu salib dapat dimaknai sebagai pengorbanan untuk perjuangan kemerdekaan semua bangsa yang ditindas.
Kebangkitan-Nya pada hari ketiga adalah simbol bahwa Yesus tidak pernah meninggalkan orang-orang tertindas yang menaruh harapan pembebasan pada-Nya. Siapa pun itu dan kapan pun itu. Termasuk bangsa Palestina dan bangsa lain yang masih dijajah dan ditindas hingga detik ini.
Selamat hari Minggu!
(Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mewakili organisasi mana pun.)
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.