Mgr. Ignatius Suharyo: Kekuasaan Berbahaya Kalau Tidak Dijalankan dengan Baik

Mgr. Suharyo tanggapi gelombang kritik akademisi terhadap Presiden Jokowi.

0 465

Katolikana.com, Jakarta — Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo turut angkat bicara menanggapi gelombang kritik akademisi dari berbagai kampus terhadap sikap politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) jelang Pemilu 2024. Pernyataan ini disampaikan Mgr. Suharyo di Grha Oikoumene, Salemba, Jakarta, pada Senin (5/2). Mgr. Suharyo hadir sebagai salah satu dari delapan tokoh agama yang tergabung dalam Forum Peduli Indonesia Damai.

Selain Mgr. Suharyo, hadir pula Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Marsudi Syuhud; Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pdt. Gumar Gultom; Ketua Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Wisnu Bawa Tenaya; Ketua Umum Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi), Philip Kuntjoro Widjaja, Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN), Xueshi Budi Tanuwibowo, Presidium Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI), Engkus Rahwana; dan Pimpinan Spiritual Nusantara, Sri Eko Sriyanto.

Mgr. Suharyo menegaskan berdasarkan perspektif iman Kristiani maupun perspektif sejarah, kekuasaan itu berbahaya kalau tidak dijalankan dengan baik. Maka ia menyebut adanya kritik terhadap kekuasaan itu merupakan sesuatu yang lumrah. Bahkan, Mgr. Suharyo mengatakan hal serupa sudah ada sejak zaman nabi-nabi.

“Kalau dalam perspektif iman Kristiani, dalam sejarah itu selalu ada kerajaan, dan kerajaan itu sama dengan kekuasaan. Dan kita semua tahu, kekuasaan itu berbahaya kalau tidak dijalankan dengan baik,” tutur Mgr. Suharyo.

“Maka ketika ada institusi kerajaan, pada waktu itu raja-raja tidak bagus, muncul yang disebut nabi-nabi,” lanjutnya. “Itulah yang menyerukan kebenaran, keadilan. Ketika negara tidak adil, nabi muncul menyerukan keadilan. Saya kira situasinya setiap zaman seperti itu.

Sehingga ketika para akademisi menyerukan seruan moral, bagi Bapa Uskup, itu adalah tanggung jawab moral yang memang mereka emban. Secara jelas, seruan moral itu ditujukan kepada “institusi yang memegang kekuasaan”.

“Moga-moga seruan-seruan seperti itu didengarkan,” harap Mgr. Suharyo.

“Nanti kalau tidak didengarkan, dalam sejarah juga jelas, ketika kekuasaan tidak mendengarkan kritik-kritik, bahayanya adalah tumbang. Itu selalu terjadi seperti itu. Bukan hanya di Indonesia, tetapi di manapun akan terjadi. Oleh karena itu, kekuasaaan dan kritik itu dua hal yang mesti berjalan bersama-sama,” tutupnya.

Pernyataan Mgr. Suharyo ini disampaikan tak lama setelah Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara mengeluarkan Seruan Jembatan Serong II pada hari yang sama. Dalam seruan tersebut, STF Driyarkara mengingatkan Presiden Jokowi bahwa sikap jujur dan adil adalah kunci berpikir dan berperilaku dalam bernegara. STF Driyarkara lantas menegaskan bahwa kekuasaan yang dijalankan secara tidak jujur dapat merusak etika dan merusak hukum.

Sebelumnya, Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik Indonesia (APTIK) juga telah mengeluarkan pernyataan sikap yang senada di hari Sabtu (3/2). STF Driyarkara dan APTIK menjadi dua dari sekian banyak institusi akademik yang memutuskan untuk ambil bagian melayangkan kritik kepada Presiden Jokowi. Gelombang kritik dari sivitas akademika ini lahir atas keprihatinan demikian vulgarnya ketidaknetralan aparat negara dalam Pemilu 2024 serta tumbuhnya kecemasan bahwa pesta demokrasi kali ini tidak dilangsungkan secara jujur dan adil.

 

 

Kontributor Katolikana.com di Jakarta. Alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada. Peneliti isu-isu sosial budaya dan urbanisme. Bisa disapa via Twitter @ageng_yudha

Leave A Reply

Your email address will not be published.