Katolikana.com—Paus Fransiskus telah menunjuk Siprianus Hormat sebagai Uskup di Keuskupan Ruteng sejak 2019. Lahir pada 16 Juli 1965 di Cibal, Keuskupan Ruteng. Masuk ke Seminari Pius XII Kiol dan melanjutkan studinya di Institut Filsafat dan Teologi di Ledalero, serta tinggal di Seminari Tinggi Interdiosesan St. Petrus di Ritapiret.
Ditahbiskan sebagai imam pada 8 Oktober 1995, dan pada 1995-1996 menjabat sebagai vikaris parokial dan direktur Komisi Keuskupan untuk Kerasulan Kaum Muda di Cewonikit, dan pada 1996-1997 menjadi formator di Seminari Tinggi Ritapiret.
Pernah menjadi asisten di Paroki San Pasquale di Jakarta sambil mengikuti kursus bahasa Inggris pada 1997-1999. Pada 1999-2002, belajar teologi moral di Alphonsianum di Roma dan menyelesaikan kursus untuk formator di Universitas Kepausan Gregoriana.
Pada 2002-2012, menjadi formator dan dosen di Seminari Tinggi Ritapiret dan Institut Pastoral Keuskupan Ruteng. Pernah menjadi Sekretaris Komisi Episkopal untuk Seminari dan Asosiasi Biblikal Indonesia (2013-2016) serta menjadi presiden Asosiasi Imam-Imam Projo Nasional (UNIO) pada 2014-2017. Sejak 2016, Uskup Siprianus Hormat menjadi sekretaris eksekutif Konferensi Waligereja Indonesia di Jakarta.
Pastor Kasmir Nema SVD dari Radio Veritas Asia mewancarai Uskup Keuskupan Ruteng sekaligus Ketua JPIC Konferensi Waligereja Indonesia, Mgr. Siprianus Hormat Pr, dalam program spesial The Voice of Asian Bishop, Kamis (20/6/2024). Berikut petikannya:
Bisakah Anda memberi kami gambaran umum tentang Keuskupan Ruteng?
Terima kasih banyak, Pastor Kasmir. Saya senang berada di sini dan berbicara sedikit tentang Keuskupan Ruteng dan beberapa tugas yang saya lakukan di Konferensi Waligereja Indonesia. Keuskupan Ruteng terletak di Flores Barat, dan memiliki populasi Katolik terbesar di Indonesia dengan jumlah sekitar 853.000 umat Katolik. Oleh karena itu, Keuskupan Ruteng adalah keuskupan terbesar jika dibandingkan dengan populasi Katolik di Indonesia.
Kami juga memiliki sekolah menengah atas, sekolah menengah pertama, dan baru-baru ini satu universitas bernama Universitas Katolik Indonesia Santo Paulus di Ruteng, serta satu Institut Pastoral untuk melatih umat awam untuk menjadi katekis. Selain itu, penting untuk disebutkan bahwa Keuskupan Ruteng memiliki dua seminari menengah, satu terletak di Labuan Bajo di bagian barat Ruteng, dan satu lagi di bagian timur Ruteng bernama Seminari Kisol.
Keuskupan Anda memiliki program khusus tahun 2024 yang dikenal sebagai Program Pastoral Ekologis Terintegrasi. Bisakah Anda ceritakan lebih banyak tentang program ini? Apa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui program pastoral ini?
Ada beberapa kemajuan yang saya amati secara pribadi. Pertama-tama, telah terjadi pergeseran dalam pemahaman komunitas dengan orang-orang yang mengenali pentingnya ekologi sebagai aspek esensial dari karya pastoral di Keuskupan saya. Umat Katolik menyadari dan merasa bertanggung jawab untuk merawat Bumi sebagai rumah bersama kita. Ini harus kita tekankan bahwa Bumi adalah rumah bersama kita.
Pergeseran ini disebabkan oleh karaya pastoral yang secara aktif mempromosikan kesadaran ekologis melalui berbagai cara seperti katekese di rumah dan pendidikan di sekolah dan komunitas.
Ada juga perubahan dalam spiritualitas, karena bagi kami, berbicara tentang ekologi tidak hanya berbicara tentang kegiatan seperti menanam pohon, tetapi juga bagaimana umat Katolik membawa mereka ke kesadaran spiritual bahwa berinteraksi dengan ekologi adalah berinteraksi dengan Sang Pencipta. Ini adalah gerakan besar di semua paroki. Mereka melakukan ini untuk mendukung kehidupan mereka, misalnya dengan menanam di sekitar paroki.
Program unik yang kami gunakan di Indonesia adalah memberikan pohon kepada umat untuk ditanam sebagai bagian dari sakramen. Ini adalah program unik yang kami miliki untuk mendukung ekologi di Keuskupan saya.
Selain itu, tujuan utama adalah untuk menumbuhkan harmoni dengan alam sebagai tujuan tahun ekologi ini dan membentuk pola pikir atau disposisi ekologi baru di paroki dan bagi umat Katolik serta meningkatkan kesejahteraan komunitas terkait ekologi. Ini semua tentang ekologi pada tahun 2024.
Berbicara tentang sisi positif dari upaya Keuskupan, tentu ada sisi negatif lainnya. Kami mengetahui bahwa pemerintah melalui beberapa program, misalnya proyek panas bumi Wae Sano di Manggarai Barat, banyak umat dan NGO yang menentang proyek tersebut. Apa sebenarnya posisi gereja terkait proyek ini?
Pertanyaan yang bagus, Pastor Kasmir. Gereja Keuskupan Ruteng menentang industri pertambangan karena tidak berkelanjutan secara lingkungan dan ini tidak baik untuk Pulau Flores. Namun, proyek panas bumi adalah salah satu hal penting untuk energi bersih. Jadi bagi kami, ini terkait dengan ensiklik Laudato Si Paus Fransiskus tentang lingkungan.
Masalahnya bagaimana menerapkan ini di lapangan. Masalah selalu ada. Umat kami tidak ingin proyek ini dilaksanakan di dekat tanah atau desa mereka. Jadi bagi kami, ini tidak mungkin untuk diterapkan.
Gereja Keuskupan Ruteng berusaha menjadi penengah antara pemerintah dan rakyat, tetapi banyak kelompok dan gerakan datang dan pergi untuk menyebarkan informasi negatif tentang panas bumi.
Artinya, gereja dengan jelas menentang semua industri pertambangan, tetapi untuk proyek panas bumi, karena ada sisi positifnya, Anda mencoba membangun jembatan antara rakyat dan pemerintah.
Ya, karena saya pikir penting untuk ditekankan bahwa proyek panas bumi umumnya ramah lingkungan. Gereja menekankan bahwa proyek panas bumi harus aman terlebih dahulu, tidak mengganggu lingkungan, menghormati adat istiadat setempat yang sangat penting bagi masyarakat di Manggarai, dan menghindari gangguan. Lebih lanjut, mereka harus memiliki skema bagaimana memberikan efek positif dari panas bumi untuk masyarakat setempat.
Anda menyebutkan Paus Fransiskus dengan ensiklik Laudato Si’, yang menginspirasi Keuskupan dan organisasi lain. Paus Fransiskus berbicara tentang ‘budaya membuang,’ yaitu sekali pakai lalu dibuang dan tidak dijaga. Apakah Anda percaya bahwa budaya membuang telah muncul di Keuskupan Anda dan di Indonesia pada umumnya, dan bagaimana tanggapan gereja terhadap fenomena budaya ini?
Fenomena budaya membuang telah menjadi lazim di Keuskupan kami dan di seluruh Indonesia, bahkan di seluruh dunia, seperti yang terlihat dari pembuangan sampah sembarangan. Kita bisa menemukan sampah plastik di sungai, laut, danau, serta berbagai lokasi lainnya, termasuk sampah makanan yang signifikan. Malam ini kami juga membicarakan perubahan iklim, dan salah satu hal yang menyebabkan perubahan iklim adalah sampah makanan.
Program kami di Keuskupan ini, berdasarkan keputusan yang diambil selama pertemuan pastoral di awal tahun 2024, mencakup tiga inisiatif.
Pertama, mengurangi penggunaan barang-barang plastik seperti tas belanja dan botol air plastik di semua acara gereja dan menggantinya dengan barang-barang yang bisa daur ulang. Semua pastor di keuskupan diminta mempromosikan perubahan ini.
Kedua, menghindari penggunaan botol plastik dengan mengurangi penggunaan air minum kemasan dalam kegiatan-kegiatan gereja.
Ketiga, inisiatif mendaur ulang dengan mempromosikan program daur ulang khususnya bagi orang muda dengan memanfaatkan limbah plastik menjadi dekorasi dan pakaian. Ini adalah inisiatif baru untuk kaum muda dengan program ini. Mereka mencoba membuat pakaian dan dekorasi dari plastik.
Keempat, menyederhanakan format pertemuan komunitas dan pesta untuk mengurangi sampah.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan Labuan Bajo, yang merupakan bagian dari Keuskupan Anda, sebagai salah satu tujuan wisata premium di negara ini. Apa keuntungan dan kerugian bagi masyarakat Indonesia, khususnya di Keuskupan Anda, dari penetapan ini?
Pertanyaan yang bagus, Pastor Kasmir, karena ini juga merupakan upaya kami. Saya akan merangkum keuntungan dari kebijakan wisata nasional ini di Labuan Bajo dalam beberapa poin penting.
Pertama, manfaat ekonomi yang signifikan karena membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat. Ekonomi kreatif dan pertumbuhan usaha mikro, kecil, dan menengah juga telah terangsang oleh program ini.
Kedua, proyek pertanian, perikanan, dan peternakan lokal telah dimanfaatkan dan dipasarkan.
Ketiga, keuntungan budaya karena masyarakat setempat memiliki apresiasi yang lebih besar terhadap warisan budaya mereka karena menarik minat wisatawan.
Keempat, keuntungan politik karena Labuan Bajo dan Flores mendapat perhatian yang lebih besar di tingkat politik nasional.
Terakhir, manfaat sosial karena meningkatkan akses sosial dan interaksi multikultural serta lintas budaya di Labuan Bajo.
Namun, setiap program selalu memiliki dua sisi, sisi positif dan negatif. Salah satu tantangan adalah ketidakadilan ekonomi karena banyak individu dari luar daerah yang menguasai tanah dan properti di Labuan Bajo, yang menyebabkan marginalisasi penduduk setempat. Kami juga menghadapi masalah aktivitas mafia tanah yang mengeksploitasi sumber daya lokal.
Tantangan budaya meliputi proliferasi konsumerisme dan materialisme yang mengancam nilai-nilai dan tradisi budaya lokal. Terjadi lompatan gaya hidup dalam gaya hidup masyarakat di Labuan Bajo karena dibukanya pintu gerbang bagi pendatang untuk masuk ke Labuan Bajo. Selain itu, kehadiran sekularisme yang semakin berkembang menjadi ancaman bagi landasan spiritual dan keyakinan masyarakat setempat.
Baru-baru ini, Paus Fransiskus menerbitkan dua ensiklik penting yang membahas krisis iklim, yaitu Laudato Si’ dan satu lagi. Anda menjabat sebagai Ketua JPIC untuk Konferensi Waligereja Indonesia. Apakah Anda memiliki program umum yang Anda rencanakan atau telah Anda implementasikan di seluruh Keuskupan di Indonesia?
Saya pendatang baru di Konferensi Waligereja Indonesia sebagai uskup dan juga sebagai ketua komisi Keadilan dan Perdamaian di KWI. Pendekatan umum kami untuk menangani perubahan iklim dapat dirangkum dalam prinsip konsolidasi, koordinasi, dan partisipasi.
Pertama, konsolidasi dalam struktur pastoral untuk menekankan perubahan iklim. Konferensi Waligereja Indonesia telah membahas isu perubahan iklim dalam nota pastoral yang mewakili konsensus di antara para uskup di seluruh Indonesia.
Kedua, koordinasi dengan berbagai kongregasi dan komunitas Katolik untuk memprioritaskan perubahan iklim dalam upaya evangelisasi. Isu perubahan iklim diintegrasikan ke dalam program pastoral setiap keuskupan di Indonesia.
Ketiga, partisipasi dalam kemitraan dengan pemerintah dan kelompok agama lain untuk secara kolektif menangani isu perubahan iklim. Kami memiliki gerakan yang sangat kuat mengenai hal ini di Indonesia, terutama di Keuskupan saya di Ruteng.
Mari kita lanjutkan ke tingkat yang lebih personal. Panggilan Anda sebagai uskup atau imam, bisakah Anda berbagi cerita tentang hidup Anda sebagai imam dan uskup, serta tantangan yang Anda hadapi sebagai uskup?
Tahun 2024 ini saya akan merayakan ulang tahun ke-29 pentahbisan saya, dan tahun depan akan menjadi 30 tahun pentahbisan saya sebagai imam dan 5 tahun sebagai uskup. Saya mendedikasikan diri saya sepenuhnya untuk panggilan ini, bekerja di rumah formasi selama hidup saya. Saya mengabdikan hidup saya kepada Tuhan dan siap menjalankan misi apa pun yang dipercayakan kepada saya.
Saya tidak pernah berpikir untuk menjadi uskup karena saya tahu bahwa menjadi uskup berarti mengambil tanggung jawab besar bagi umat. Namun, ketika diangkat oleh Bapa Suci, saya mengingat komitmen saya dan dengan rela menerima pelayanan ini dengan ketaatan dan kerendahan hati karena dalam gereja, Anda tidak bisa mengatakan tidak pada misi gereja.
Perjalanan saya sebagai imam dipandu oleh iman yang teguh dan rasa pengabdian yang mendalam kepada Tuhan dan umat-Nya. Saya menerima tanggung jawab sebagai uskup dengan kerendahan hati dan komitmen teguh untuk menjalankan kehendak Tuhan dalam membimbing dan melayani gereja-Nya. Saya menikmati panggilan ini karena saya tahu bahwa ini bukan tugas saya, melainkan Tuhan memanggil saya untuk melakukan sesuatu.
Terkait dengan panggilan Anda, motto episkopal Anda adalah Omnia in Caritate, semua dalam kasih. Ini sangat menarik bagi saya. Bisakah Anda berbagi bagaimana motto ini membimbing Anda dalam pelayanan Anda?
Saya menemukan kebahagiaan besar dalam merangkul moto saya sebagai uskup, Omnia in Caritate, semua dalam kasih. Pekerjaan pastoral saya merupakan komitmen untuk mewujudkan kasih Tuhan melalui pengembangan iman dan kesejahteraan individu.
Karena Tuhan adalah kasih, setiap tindakan, tidak peduli seberapa kecil, harus dilakukan dengan kasih. Saya berusaha menjadi figur ayah yang penuh kasih dan perhatian bagi semua imam dan umat di bawah pengawasan pastoral saya.
Sebagai uskup, saya beraspirasi untuk memimpin dengan memberikan contoh, menunjukkan kekuatan transformatif dari kasih dalam setiap aspek pelayanan dan interaksi sehari-hari. Masalahnya adalah bagaimana hidup kita menjadi kesaksian kasih Tuhan setiap hari.
Tujuan saya adalah membina komunitas yang menghayati semangat kasih dan belas kasih, mencerminkan kasih karunia dan belas kasihan Tuhan yang tak terbatas. Omnia in Caritate bagi saya adalah ringkasan perjalanan panggilan hidup saya. Saya ingin mendedikasikan hidup saya dalam kasih Tuhan.
Anda akrab dengan tiga prinsip dialog dari Federasi Konferensi Waligereja Asia: dialog dengan yang miskin, dialog dengan budaya, dan dialog dengan agama lain. Dalam konteks Keuskupan Anda atau Indonesia secara umum, bagaimana tiga prinsip dialog ini diimplementasikan?
Kami secara kolektif menekankan bahwa dialog adalah aspek fundamental dari pelayanan pastoral kami. Dalam keuskupan saya, kami secara aktif mempromosikan prinsip ini melalui pertama, membangun dialog dengan mereka yang membutuhkan yang difasilitasi oleh komisi-komisi khusus seperti Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi dan Komisi Amal.
Komisi-komisi ini mengawasi perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan semua inisiatif pastoral terkait dengan pengembangan ekonomi dan bantuan amal bagi yang membutuhkan di Keuskupan kami.
Kedua, Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi, yang kami sebut PSE di Indonesia, telah berperan penting dalam menggerakkan inisiatif seperti program pertanian organik dan pertumbuhan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Usaha-usaha ini bertujuan untuk memberdayakan individu secara ekonomi dan mendukung pembangunan berkelanjutan di komunitas kami.
Tidak banyak orang tahu tentang Keuskupan Ruteng. Mereka mungkin tahu Flores, tetapi tidak semua tahu tentang Keuskupan Ruteng. Bisakah Anda ceritakan apa yang ingin Anda sampaikan kepada penonton tentang Keuskupan Anda?
Di Keuskupan Ruteng, kami telah meluncurkan inisiatif baru yang bertujuan untuk memupuk budaya gereja yang inklusif dan mendukung kebijakan pariwisata di Labuan Bajo melalui festival tahunan yang kami sebut Maria Assumpta Nusantara Golo Koe Labuan Baju di Manggarai Barat.
Festival ini dimulai pada 2022 dan akan diadakan setiap tahun dari 10-15 Agustus. Festival ini mencakup dimensi keagamaan, budaya, ekonomi, dan ekologi. Festival ini menampilkan prosesi patung Maria Asumpta Nusantara melalui darat dan laut, menampilkan usaha mikro, kecil, dan menengah, pertunjukan budaya, serta mengadakan kegiatan ekologi dan sosial. Acara ini melibatkan semua agama, suku, pemerintah lokal, dan kelompok marginal. (*)
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.