Wawancara Eksklusif dengan Presiden Global Scholas Occurrentes José María del Corral
Mengenal Gerakan Scholas Occurrentes bagi Kaum Muda yang dibentuk oleh Paus Fransiskus saat menjabat Uskup Agung Buenos Aires pada 2001.
Katolikana.com, Jakarta — Siang itu, 4 September 2024, sekitar 200 anak muda dari berbagai wilayah di Indonesia dengan latar belakang (sosial-budaya dan agama) yang beragam tampak sedang bersiap-siap menyambut kedatangan Paus Fransiskus di halaman Wisma Pemuda “Grha Pemuda”, Jakarta. Anak-anak muda itu adalah peserta program Scholas Occurrentes di Indonesia. Pada kunjungan apostoliknya di Indonesia selama empat hari (3 – 6 Septmber 2024) Pempimpin Tahta Suci Vatikan itu antara lain dijadwalkan meresmikan kantor pusat regional Scholas Occurrentes yang pertama di Asia Tenggara.
Vatican News dan sejumlah sumber tertulis lain menerangkan bahwa Scholas Occurrentes merupakan gerakan pendidikan global yang dirintis oleh Paus Fransiskus pada 2001, saat ia masih menjabat sebagai Uskup Agung Buenos Aires. Diluncurkan secara global pada 2013, misi gerakan ini adalah mengubah kehidupan kaum muda melalui metode pendidikan inovatif, yang menggabungkan teknologi, olahraga, dan seni.
Berpijak pada visi “menciptakan budaya perjumpaan dan menyatukan kaum muda dalam pendidikan yang membuahkan makna”, Scholas telah menjadi kekuatan penting bagi praktik inklusi, persatuan, dan komitmen sosial di lima benua, serta menjangkau lebih dari setengah juta sekolah dan universitas.
Di Indonesia, inisiatif ini bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI dan Gerakan 5P Global. Programnya antara lain melatih mahasiswa dan guru muda untuk menguasai metode Scholas sebagai bagian dari upaya menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia yang populasi generasi mudanya berkembang pesat.
Berikut hasil wawancara eksklusif Katolikana.com dengan Presiden Global Scholas Occurrentes, José María del Corral, menjelang pertemuan antara Paus Fransiskus dengan kaum muda yang tergabung dalam program Scholas Citizenship—Scholas Occurrentes di Grha Pemuda, Jakarta, Rabu (4/9/2024).
Selama wawancara, Katolikana.com didampingi oleh Romo F.X. Joko Susilo, SCJ, yang beberapa tahun terakhir bertugas sebagai misionaris di Kolombia, sebagai penerjemah (dari Bahasa Spanyol ke dalam Bahasa Indonesia).
Katolikana.com (K): Senor, boleh diceritakan secara ringkas, fokus sasaran pelayanan seperti apa yang hendak disasar oleh Gerakan ini di kalangan kaum muda?
José María del Corral (JMC): Menarik sekali pertanyaan ini. Gerakan atau program ini lahir di negara Argentina ketika Romo Bergoglio (Jorge Mario Bergoglio, SJ) menjabat sebagai Uskup Agung Buenos Aires. Pada 2001, ketika beliau ditunjuk menjadi uskup agung, Argentina sedang mengalami krisis politik, sosial dan ekonomi yg terbesar sejak 10 dekade terakhir. Pada saat itu digambarkan bagaimana para “cartonero” mencari kardus-kardus bekas, dijual dan untuk mencari makan. (Cartonero adalah orang yang mengumpulkan sampah-sampah yang dibuang, seperti kardus, untuk digunakan kembali atau dijual kembali –ed.). Pada situasi seperti itulah scholas lahir tanpa tahu bahwa Bergoglio akan menjadi Paus di kemudian hari.
K: Lalu apa yang dilakukan pada saat itu?
JMC: Bergoglio bersama dua orang guru Bernama Enrique Palmeyro dan José María mengumpulkan anak-anak remaja yang berusia 15 hingga 17 tahun yang bersekolah baik di sekolah-sekolah negeri maupun swasta Bersama-sama para remaja pelajar sekolah-sekolah Katolik, Yahudi , Islam berkumpul untuk mengembangkan proyek ini. Jadi Scholas lahir bagaikan bahtera nabi Nuh yang dibangun di tengah situasi banjir bandang negara Argentina.
K: Apa yang terjadi kemudian? Maksud kami, saat itu bagaimana perkembangan awalnya?
JMC: Dari grup pertama sekitar 60 remaja yg berlatar belakang agama Katolik, Islam, Yahudi, Kristen Evangelis itu dan berasal dari sekolah-sekolah negeri dan swasta itu kemudian membuat sebuah pengalaman bersama selama enam bulan. Setelah merasakan langsung pengalaman itu, mereka baru menyadari bahwa pendidikan yang selama ini ditanamkan di sekolah tidak berbicara apa pun bagi realitas hidup yang mereka alami. Itu adalah diskursus yang kehilangan kharisma atau nilai-nilai, pudarnya pengalaman diselamatkan, sebuah diskursus kosong, termasuk di sekolah-sekolah Katolik sebagaimana disampaikan oleh para remaja itu.
K: Boleh tahu pengalaman seperti apa persisnya?
JMC: Sebagai contoh, ketika kita atau katakanlah seorang gadis remaja membeli pakaian, tidak mendapatkan ukuran dan model yang sesuai dengan yang diiginkan. Hal itu membuatnya minder; atau penghargaan dirinya rendah (autoestima). Maka lahirlah aturan “ley de talles” (aturan ukuran baju) di Argentina yang diberlakukan oleh para remaja bagi semua toko besar di negara itu, yakni wajib menyediakan semua ukuran yang sesuai. Ketika Monseñor Bergoglio melihat kenyataan itu, gerakan tersebut mulai membentuk pendampinga bagi para pengajar, termasuk para katekis; yang menyatukan antara katekese dan pendidikan formal.
K: Bagaimana program dan gerakan ini berjalan di sini (Indonesia-ed.)?
JMC: Di sini juga ada contoh. Kami telah mengumpulkan anak-anak remaja, di mana lebih dari 70 pulau dengan anak-anak dari wilayah Jakarta berkumpul dalam satu aula. Di antaranya ada remaja pelajar dari sekolah-sekolah Katolik yang latar belakang agama para pelajarnya beragam. Namun ternyata, pengalaman di mana mereka (bisa) saling berbagi atas berbagai hal yang dialami belum pernah dihidupi secara bersama sebelumnya. (Selain itu) kami juga mempunyai sekolah untuk (mereka yang berasal) dari berbagai macam kelompok; tapi bukan banyak sekolah. Nah, mereka yang mengalami perjumpaan dan pengalaman yang berbeda itu tidak hanya berasal dari satu sekolah tapi banyak (sekolah).
K: Ada kisah pengalaman yang menarik di negara lain?
JMC: Ada. Contohnya seperti pengalaman Scholas di SERP Mozambique. Di negara itu Scholas berfungsi secara beriringan. Ada sekolah sepakbola dengan pemikiran dan sekolah melukis dengan pemikiran. Semua berkumpul dalam satu aula. Sesuai dengan ketertarikan atau passion yang menyatukan, para remaja itu berkumpul di dalam aula yang sama. Dan tujuan kami adalah kembali ke yang “asali”.
K: Apa yang dimaksudkan dengan kembali ke yang asali itu?
JMC: Sebagaimana dikatakan Paus Fransiskus, scholas penting untuk membawa anak-anak remaja untuk kembali kepada yang asali, yang sebelumnya mereka telah berada dalam situasi banjir bandang krisis politik, ekonomi dan sosial di Argentina, realitas yang memisahkan (mereka) dari yang asali.
K: Apakah semangat “kembali yang ke asali” menjadi pesan utama yang hendak disampaikan melalui Scholas ini?
JMC: Benar. Marilah kita kembali ke yang asali. Sebab di dalam yang asali itu ada kesatuan hati dan ada poliedro (perjumpaan). Paus Fransiskus mengatakan selama dunia tidak memiliki budaya polihedral, maka peperangan, kebencian, dan perusakan alam akan terus terjadi. (*)
Pewawancara : Irene Menuq
Editor : JB Pramudya
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.