Katolikana.com, Jakarta — Pertengahan September tahun ini barangkali menjadi hari paling membahagiakan bagi umat Paroki Lubang Buaya. Pasalnya, paroki di ujung timur Jakarta itu baru saja memiliki sebuah gedung gereja permanen.
Gedung gereja ini akhirnya dapat selesai terbangun setelah mereka menanti selama lebih dari tiga dekade untuk memperjuangkan izin.
Perjuangan umat Paroki Lubang Buaya berpuncak di Sabtu (14/9/2024). Setelah berpuluh tahun mereka berpeluh mengupayakan pendirian gereja, hari ini bangunan Gereja Katolik Kalvari telah berdiri kokoh di Jl. Masjid Al Umar, Lubang Buaya, Jakarta.
Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo, selaku Uskup Agung Jakarta, sendiri yang hadir untuk memimpin langsung misa pentahbisan alias pemberkatan Gereja Katolik Kalvari.
Perjuangan paroki yang berada di perbatasan Jakarta-Bekasi itu terhitung sangat panjang untuk bisa memiliki sebuah gedung gereja yang permanen. Jika dihitung dari pembentukan Panitia Pembangunan Gereja Kalvari Pondok Gede, umat butuh berproses selama 33 tahun untuk mewujudkan keberadaan sebuah gereja paroki.
Cikal bakal Paroki Lubang Buaya sendiri merupakan pemekaran dari Paroki Robertus Bellarminus, Cililitan. Sejak dekade 80-an, Paroki Cililitan telah membeli tanah di sekitar area sekolah Santo Markus II sebagai persiapan rencana pengembangan paroki baru. Lokasi inilah yang kelak menjadi Gereja Kalvari.
Memasuki tahun 1991, gagasan pemekaran paroki semakin menguat. Kala itu, data umat Paroki Cililitan menunjukkan jumlah umat Katolik di Pondok Gede sudah mencapai angka 1.007 KK. Sementara jumlah umat Katolik di Paroki Cililitan “hanya” sebanyak 1.769 KK. Artinya, umat Katolik di Pondok Gede saja sudah melebihi 50 persen dari total jumlah umat yang ada di seluruh Paroki Cililitan.
Alhasil dibentuklah Panitia Pembangunan Gereja Kalvari Pondok Gede sebagai langkah awal mempersiapkan lahirnya paroki baru. Gereja sementara yang disebut umat setempat sebagai “gereja bedeng” pun berhasil terbangun pada 1993.
Dua tahun setelah gereja bedeng berdiri, Paroki Lubang Buaya resmi dimekarkan dari induknya di tahun 1995.
Kendala KDB
Gereja bedeng Kalvari yang berdiri di dalam komplek Sekolah Santo Markus II nyatanya tidak benar-benar bersifat “sementara”. Meskipun hanya diniatkan sebagai gereja sementara, toh gereja bedeng ini terus dipertahankan selama puluhan tahun.
Gereja bedeng inilah tempat umat Kalvari berkumpul untuk merayakan misa setiap minggunya. Sembari mereka menanti terbitnya izin pemerintah untuk membangun sebuah gereja permanen.
Kendala izin memang menjadi penyebab utama berlarat-laratnya pembangunan Gereja Kalvari di Lubang Buaya. Pihak Paroki sempat cukup lama kesulitan mengajukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) karena kesediaan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) di lahan milik paroki tidak mencukupi untuk membangun gereja.
Romo Paroki Lubang Buaya, Romo Johan Ferdinand Wijshijer, menjelaskan KDB di areal calon lokasi gereja hanya tersisa sekitar 5-10 persen karena adanya bangunan sekolah Santo Markus II yang sudah lebih dulu terbangun.
Sempat terbersit ide untuk membeli lahan di tempat lain untuk bisa membangun Gereja Kalvari. Namun, ternyata kemauan umat masih lebih kuat untuk tetap berusaha mendirikan sebuah gereja paroki di Lubang Buaya.
Akhirnya, muncul siasat untuk meningkatkan KDB gereja. Romo Fe mengatakan perjuangan gigih umat Kalvari berhasil meningkatkan KDB gereja hingga 40 persen.
Setelah mendapatkan KDB yang dirasa mencukupi, Romo Fe dan umat Kalvari mengusahakan perizinan IMB untuk pembangunan Gereja Kalvari.
Bahaya Banjir
Banjir juga menjadi kendala lain yang menggelayuti. Posisi lahan gereja yang ada di tepian Kali Sunter membuat lokasi ini rentan banjir. Beberapa kali gereja bedeng Kalvari beberapa kali tergenang saat debit air sungai meninggi.
Sedikit banyak, lokasi gereja yang berada persis di tepian sungai ikut membuat pihak paroki harus berpikir keras merencanakan desain gereja agar rancangan tersebut dapat lolos IMB.
Desain Gereja Kalvari pun mengedepankan konsep bangunan ramah lingkungan. Tujuan utamanya tentu saja agar gereja yang berada di tepian kali ini tidak lagi terendam banjir ketika sungai meluap.
Maka gereja ini mengadopsi drainase vertikal yang berfungsi untuk menampung genangan air pada musim hujan dan dapat menyimpan cadangan air pada musim kemarau.
Menjelang Natal 2021, Gereja Kalvari akhirnya berhasil mendapatkan IMB dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo, segera bergerak cepat melakukan peletakan batu pertama pembangunan gereja setelah IMB turun.
Pada 21 Desember 2021, acara peletakan batu pertama Gereja Kalvari pun dilakukan oleh Kardinal Suharyo bersama dengan Romo Fe dan Gubernur DKI Jakarta saat itu, Anies Baswedan.
Pesan Kardinal
Secara kebetulan, rentang waktu proses pembangunan Gereja Kalvari disebut-sebut memiliki kemiripan dengan rentang masa hidup Yesus di dunia. Yesus secara historis diperkirakan hidup selama 33 tahun sebelum akhirnya wafat karena disalibkan di puncak Kalvari atau Golgota.
Kardinal Suharyo, saat memimpin misa pemberkatan Gereja Katolik Kalvari, menyebut lamanya waktu perjuangan yang dibutuhkan umat Paroki Kalvari itu tidak sia-sia. Baginya, waktu ini bisa dimaknai sebagai waktu untuk belajar dan memahami bahwa rencana Tuhan yang akan indah pada waktunya.
“Saya ingin mengucapkan selamat atas selesainya pembangunan gedung gereja pada hari ini dan dipersembahkan kepada Tuhan untuk beribadah,” kata Kardinal Suharyo.
Bapa Kardinal melanjutkan pesannya agar keberadaan Gereja Kalvari yang baru ini nantinya dapat mendorong umat Katolik setempat untuk senantiasa membagikan kebaikan kepada masyarakat.
“Semoga semua yang beribadah di tempat ini mengalami kerahiman Tuhan dan merasakan syukur. Serta menerima perutusan bagi kita semua untuk melanjutkan pekerjaan Tuhan Yesus, (yaitu) berkeliling sambil berbuat baik,” ujarnya lagi.
Kardinal Suharyo juga menyinggung salib Yesus yang merupakan teladan utama dalam berbuat kasih. Umat Paroki Kalvari yang selama ini merasa memanggul salib Yesus, ia harapkan bisa mengasihi siapapun secara total dan tidak setengah-setengah. Sebab bagi Kardinal Suharyo, salib Yesus adalah simbol kasih.
“Yesus mencurahkan kasih-Nya sampai sehabis-habisnya. Salib adalah simbol kasih yang sehabis-habisnya,” pungkasnya. (*)
Kontributor Katolikana.com di Jakarta. Alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada. Peneliti isu-isu sosial budaya dan urbanisme. Bisa disapa via Twitter @ageng_yudha