
Related Posts

Pengajar STPM St Ursula, Ende
Katolikana.com — Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia beberapa waktu lalu membawa sukacita yang luar biasa bagi umat Katolik dan masyarakat luas. Kunjungan ini bukan hanya menjadi peristiwa bersejarah, tetapi juga menyampaikan pesan perdamaian dan persaudaraan yang mendalam, khususnya bagi kaum marginal. Kehadirannya mengingatkan kita akan pentingnya peran Gereja dalam mendampingi mereka yang terpinggirkan, serta relevansi ajaran Kitab Suci dalam konteks kehidupan sosial dan lingkungan.
Pesan Perdamaian yang Unik
Pesan perdamaian yang dibawa Paus Fransiskus memiliki keunikan tersendiri. Bapa Suci mengingatkan kita bahwa perdamaian bukan hanya tentang hubungan antar-manusia, tetapi juga antara manusia dengan alam. Sejak memilih nama “Fransiskus,” Paus ingin meneladani Santo Fransiskus dari Asisi yang dikenal sebagai pelindung kaum miskin dan pencinta alam. Pilihan nama ini terinspirasi oleh pesan seorang Kardinal dari Brasil, Claudio Hummes, yang mengingatkannya untuk selalu mengingat orang miskin.
Konsistensi Paus Fransiskus dalam menyuarakan isu lingkungan dan keadilan sosial terlihat jelas melalui ensiklik Laudato Si’ (2015) dan Fratelli Tutti (2020). Dalam Laudato Si’, Paus mengecam eksploitasi alam yang dilakukan manusia demi keuntungan semata tanpa memikirkan dampak buruknya bagi ekosistem dan keberlanjutan kehidupan. Ia menyebut kondisi ini sebagai antroposen, di mana manusia memposisikan dirinya sebagai pusat segalanya, menyebabkan kerusakan yang luas pada alam dan memperburuk ketidakadilan sosial.
Pesan Paus ini relevan bagi kita, terutama dalam konteks Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) yang mengusung tema “Allah Sumber Keadilan.” Paus mengajak kita untuk merenungkan kembali makna keadilan, tidak hanya dalam relasi antar-manusia, tetapi juga dalam hubungan kita dengan alam. Ia menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan ekologi dan menghindari sikap egois yang merugikan banyak orang, khususnya mereka yang lemah dan tersisih.
Relevansi Kitab Suci bagi Kaum Marginal
Bulan Kitab Suci Nasional tahun ini mengajak kita untuk merefleksikan pentingnya keadilan, sebagaimana diangkat dalam bacaan Injil tentang kritik Yesus terhadap kaum Farisi yang menggunakan aturan adat untuk menindas orang lain (Mrk 7:1-8.14-15.21-23). Yesus menunjukkan bahwa aturan bukanlah tujuan akhir, tetapi sarana untuk mencapai kebaikan bersama. Ketika aturan digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu dan menindas yang lemah, maka aturan tersebut kehilangan maknanya.
Kondisi ini sejalan dengan situasi saat ini di mana banyak aturan dan kebijakan yang, alih-alih melindungi kepentingan rakyat, justru memperkuat kekuasaan kelompok tertentu. Fenomena ini mengingatkan kita pada kajian Charles Wright Mills tentang hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Mills menyatakan bahwa produksi pengetahuan, termasuk aturan, sering kali sarat dengan kepentingan tertentu dan tidak netral. Dalam konteks Indonesia, kita melihat bagaimana kebijakan yang seharusnya untuk kesejahteraan bersama malah sering menjadi alat untuk memperkaya segelintir orang.
Dampak Kebijakan terhadap Kaum Marginal
Dampak dari kebijakan yang tidak adil ini paling dirasakan oleh kaum marginal. Mereka yang tinggal di pesisir atau pedesaan, seperti nelayan dan petani, sering kali menjadi korban utama dari perubahan iklim dan eksploitasi sumber daya alam. Sementara itu, masyarakat miskin di perkotaan harus menghadapi tekanan ekonomi akibat inflasi yang disebabkan oleh ketidakstabilan global dan kekurangan sumber daya.
Paus Fransiskus, melalui pesan-pesannya, menekankan pentingnya menjaga kasih dan persaudaraan bagi semua, terutama bagi mereka yang termarjinalkan. Beliau mengingatkan bahwa setiap kebijakan yang diambil harus berlandaskan cinta kasih dan membawa kebaikan bagi banyak orang. Dengan kata lain, segala keputusan harus didasarkan pada keadilan sosial dan perhatian terhadap nasib kaum lemah dan tersisih.
Tanggung Jawab Kita Bersama
Sebagai umat Katolik, kita memiliki tanggung jawab untuk mendukung kebijakan dan pemimpin yang peduli pada kesejahteraan bersama. Kita harus cermat dalam memilih pemimpin yang benar-benar berpihak pada rakyat, terutama pada saat pemilihan umum.
Pesan Paus Fransiskus ini juga menjadi panggilan bagi kita untuk menguatkan kasih persaudaraan, sebagaimana diingatkan oleh Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD, bahwa kualitas iman kita diukur dari seberapa besar perhatian kita pada mereka yang tersisih dan tertindas.
Pada akhirnya, pesan Paus Fransiskus bukan hanya relevan bagi umat Katolik, tetapi juga bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kehadirannya mengingatkan kita bahwa dalam menghadapi tantangan zaman ini—baik itu perubahan iklim, ketidakadilan sosial, atau krisis ekonomi—kita harus selalu berpegang pada prinsip kasih dan persaudaraan. Sebab, hanya dengan demikian kita dapat mewujudkan keadilan yang sejati dan menjaga keharmonisan, baik dengan sesama manusia maupun dengan alam.
Mari kita jadikan pesan perdamaian dan persaudaraan ini sebagai pedoman hidup, agar kita dapat menjadi terang dan garam bagi dunia, khususnya bagi mereka yang membutuhkan. (*)
Recover your password.
A password will be e-mailed to you.