Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Rancangan Perpres PKUB

Masih ada ketentuan terkait skema 60 (dukungan warga) dan 90 (pengguna rumah). ibadah.

0 212

Katolikana.com, Jakarta — Koalisi Masyarakat Sipil menolak Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (PKUB), yang saat ini sudah berada di meja Presiden Joko Widodo. Mereka menilai rancangan tersebut mengandung sejumlah ketentuan diskriminatif yang memperparah hambatan bagi komunitas minoritas dalam mendirikan rumah ibadah.

Lola Marina Fernandez, Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Rancangan Perpres PKUB, menyatakan bahwa negara seharusnya hadir untuk melindungi hak-hak minoritas, bukan sebaliknya.

“Negara seharusnya menjamin, melindungi, dan memfasilitasi hak-hak warga minoritas yang selama ini terhambat, bukan menerbitkan peraturan yang justru semakin mempersulit mereka untuk beribadah dan mendirikan rumah ibadah,” kata Lola, yang aktif di Cis Timor, Nusa Tenggara Timur.

Koalisi mengkritik Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9 dan No. 8 Tahun 2006, yang mereka anggap justru menjadi legitimasi bagi kelompok intoleran untuk menghambat pembangunan rumah ibadah. “PBM 2006 ini malah memfasilitasi intoleransi dan kekerasan berbasis agama,” tambah Lola.

Pemerintah kini berencana menaikkan status peraturan tersebut menjadi Perpres PKUB. Namun, rancangan ini masih memuat syarat dukungan 90 pengguna rumah ibadah dan 60 warga sekitar, yang dianggap sebagai hambatan besar bagi komunitas minoritas. Koalisi menilai, perubahan ini masih belum menyentuh akar permasalahan dan gagal memberikan solusi yang inklusif bagi seluruh penganut agama maupun penghayat kepercayaan.

Aturan 90/60 masih ada sebagai syarat khusus pendirian rumah ibadah.

 

Proses Penyusunan Tidak Partisipatif

Jesse Adam Halim dari Human Rights Working Group (HRWG) mengungkapkan bahwa penyusunan Rancangan Perpres PKUB tidak melibatkan masyarakat sipil secara memadai. “Kami kesulitan mengakses draf terakhir, tiba-tiba sudah di meja Presiden. Pemerintah tidak membuka ruang diskusi dan konsultasi,” kata Jesse.

Is Werdiningsih, Sekjen Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI), juga menyatakan kekecewaannya karena penghayat kepercayaan tidak diakomodir dalam Perpres PKUB, sebagaimana terjadi pada PBM 2006. “Jika Ranperpres PKUB ini disahkan, kami akan semakin sulit terlibat di Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB),” ujar Is.

Koalisi mendesak Presiden Jokowi untuk menunda penandatanganan Ranperpres PKUB hingga revisi dilakukan, dan masyarakat sipil dilibatkan dalam penyusunan kebijakan tersebut.

 

Kasus Intoleransi Masih Tinggi

Koalisi juga menyoroti tingginya kasus gangguan terhadap rumah ibadah di Indonesia. Berdasarkan Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan SETARA Institute tahun 2023, tercatat 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran kebebasan beragama. Sebanyak 65 di antaranya adalah gangguan terhadap tempat ibadah, dengan gereja menjadi sasaran utama.

“Masih banyak ketentuan-ketentuan yang harus direvisi dalam Rancangan Peraturan Presiden terkait skema 60 (dukungan warga) dan 90 (pengguna rumah ibadah), FKUB nasional dan keanggotaan atau perekrutan FKUB, tidak diakomodirnya penghayat kepercayaan, dan sebagainya yang mengharuskan rancangan perpres ini ditolak, sebelum ada revisi,” ujar Lola.

“Jika Presiden Jokowi menandatangani Ranperpres ini, maka pemerintah akan memperkuat konflik antaragama dan kepercayaan di Indonesia,” pungkas Lola.

Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Rancangan Perpres PKUB telah meluncurkan petisi online untuk mendesak Presiden Jokowi agar tidak menandatangani Rancangan Perpres tersebut, yang dapat diakses di platform Change.org.

Link Petisi: Desak Jokowi untuk Tidak Menandatangani Rancangan Perpres PKUB

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.