Ziarah Rohani Misa Agung Bersama Paus di Tasitolu, Timor Leste

Perjalanan Penuh Makna Bersama Paus Fransiskus

2 151

Katolikana.com, Timor Leste — Sebulan sudah berlalu sejak kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke Indonesia, namun kesan mendalam yang ditinggalkan masih terasa kuat bagi banyak umat.

Kunjungan Paus ke Indonesia, yang dianggap berhasil secara keseluruhan, memberikan dampak spiritual yang luar biasa. Ribuan orang membagikan momen berharga ini di media sosial, tak terkecuali saya.

Sebagai bagian dari 797 umat Katolik asal NTT, saya berkesempatan mengikuti Misa Agung di Tasitolu, Timor Leste, pada 10 September 2024, beberapa hari setelah Paus Fransiskus menggelar Misa Agung di Gelora Bung Karno, Jakarta.

Perjalanan ziarah kami dimulai sehari sebelumnya, pada 9 September 2024. Rombongan dari Keuskupan Kupang dan Keuskupan Atambua berangkat pagi hari dengan penuh antusias setelah doa bersama di Katedral St. Maria Imakulata, Atambua.

Sepanjang perjalanan menuju Tasitolu, kami tak henti-hentinya menyanyikan yel-yel “Viva Il Papa, Viva Papa Francesco“.

Perjalanan darat menuju Timor Leste memakan waktu sekitar tiga jam. Setelah melalui pemeriksaan imigrasi di perbatasan, kami kembali melanjutkan perjalanan.

Di tengah perjalanan, kami melihat pesawat Air Niugini yang membawa Paus Fransiskus terbang rendah di atas garis pantai menuju Bandara Presidente Nicolau Lobato. Sontak, hati kami dipenuhi kegembiraan. “Bapak Paus datang!” seru salah satu anggota rombongan.

Tasitolu adalah sebuah lapangan luas yang dikelilingi bukit, tempat kami dan ribuan umat lainnya akan berkumpul untuk mengikuti Misa. Sore harinya, saya sempat membaca tulisan di poster besar yang berdiri di puncak bukit menggunakan kamera ponsel. Poster itu bertuliskan, “Bem-Vindo A Timor Leste Sua Santidade O Papa Francisco,” yang berarti “Selamat datang di Timor Leste, Yang Mulia Paus Fransiskus.” Saya merasa diberkati bisa hadir di tempat ini.

Dokter Terawan mengunjungi peziarah Indonesia di Timor Leste. (Foto: Istimewa)

 

Berjumpa dr. Terawan

Kami ditempatkan di lokasi yang dulunya digunakan sebagai tempat isolasi pasien Covid-19 di Timor Leste beberapa tahun silam. Lokasi ini diperkirakan seluas 2 hektar, terdiri dari area parkir dan beberapa bangunan, termasuk barak-barak peristirahatan seperti yang kami tempati saat ini.

Di sana terdapat kamar-kamar yang bisa ditempati 1–2 orang, tenda khusus untuk tim medis, kantin, dan fasilitas lainnya. Tempat ini sangat terbuka karena tidak ada pepohonan besar yang menaungi, meski pemandangan bukit-bukit di sekitar dapat terlihat jelas dari lokasi.

Tak terasa, sore pun tiba. Udara mulai sejuk dibandingkan siang tadi, langit senja terlihat indah, dan deburan ombak pantai yang berada hanya sekitar 20 meter dari penginapan terdengar memikat.

Pantai yang bisa dicapai hanya dengan menyeberang jalan itu begitu menggoda untuk dikunjungi, namun sayangnya kami tidak diizinkan untuk ke sana demi keamanan, terlebih karena Misa Agung akan berlangsung esok hari.

Setelah mandi dan merasa segar kembali, kami duduk bercerita di tempat tidur masing-masing. Saat itu, kami dibagikan payung, kaos, topi, dan syal sutra yang lembut untuk dipakai pada Misa Agung keesokan harinya.

Payung yang kami terima berwarna kuning-putih, sementara kaos berkerah yang diberikan bergambar dan bertuliskan hal yang sama seperti yang terdapat di poster puncak Bukit Tasitolu.

Pukul 19.00 waktu Timor Leste, ketika ibu dan adik saya pergi ke kantin yang berada di lorong barak, mereka berpapasan dengan rombongan tamu.

Salah satu tamu, yang berpakaian resmi, bertanya, “Ada yang tahu siapa yang datang?” sambil menunjuk sosok yang familiar. Dengan antusias, adik saya menjawab, “Kenal, dr. Terawan.” “Ya, benar sekali,” sambung orang tersebut.

Malam itu, kami dikunjungi oleh Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prof. Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad., mantan Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Kehadiran beliau membuat kami senang, apalagi kami berkesempatan berfoto bersama. Saat berfoto, dr. Terawan juga menanyakan keadaan kami dan memberikan semangat, membuat kami merasa diperhatikan oleh negara.

Setelah kunjungan itu, kami berempat—bersama ibu, adik, dan seorang teman adik—menuju area parkir yang luas. Kami membuka kursi lipat dan duduk untuk menikmati makan malam di bawah langit malam yang cerah berbintang. Suasana malam itu begitu indah. Setelah selesai makan malam dan berbincang, kami kembali ke barak dan beristirahat.

Suasana Misa Agung di Tasitolu. Foto: Istimewa

 

Misa Bersama Paus

Keesokan harinya, tanggal 10 September, menjadi puncak ziarah kami. Sejak pagi, kami sudah bersiap mengenakan kaos, syal, dan payung yang dibagikan untuk acara Misa Agung. Pukul 10.00 WTL kami bersiap siap dan berkumpul di depan barak.

Pukul 14.00 WTL, seluruh rombongan dari Indonesia berkumpul di depan gerbang. Mengenakan kaos putih, syal, kami memulai doa Rosario sambil berarak menuju lapangan Tasitolu, sekitar 200 meter dari penginapan. Cuaca di Tasitolu sangat panas, tetapi payung yang diberikan kepada kami sangat membantu.

Dua puluh menit kemudian, kami tiba di lapangan dengan masing-masing mengenakan ID Card peziarah yang memudahkan panitia mengenali kami. Kami diarahkan ke lokasi yang telah ditentukan.

Lapangan sangat kering, cuaca panas, dan topi serta payung menjadi pelindung penting. Sesampainya di lokasi, kami membuka kursi lipat dan duduk.

Kami harus menunggu selama dua setengah jam sebelum Misa dimulai. Walaupun tempat duduk kami jauh dari altar, hal itu tidak menyurutkan semangat kami untuk mengikuti Misa.

Di tengah terik matahari tanpa naungan, panitia menyiram lapangan dengan mobil tangki air. Beruntung, kami menggunakan payung sehingga tidak basah. Saya sempat teringat perayaan misa di GBK yang terlihat tertata rapi, namun saya sadar situasi di sini tidak bisa dibandingkan dengan di Indonesia.

Saat Paus Fransiskus tiba di Tasitolu, seruan “Viva Papa Francesco!” bergema di seluruh lapangan. Meski saya tidak bisa melihat beliau dengan jelas karena jarak yang cukup jauh, mendengar suara lembutnya selama Misa sudah cukup untuk mengobati kerinduan kami.

Ketika misa dimulai, cuaca yang panas mulai sejuk, dan payung-payung ditutup. Sebuah layar lebar menampilkan Paus, meskipun banyak dari kami melihatnya dengan zoom di ponsel.

Perayaan misa agung berjalan lancar, dan mendengar suara lembut Paus Fransiskus mengobati kerinduan hati, meski kami tidak berhasil melihatnya secara langsung

Misa Agung berakhir dengan suasana haru. Langit senja di Tasitolu dihiasi oleh sekumpulan burung puyuh yang terbang berformasi, seolah turut bersuka cita bersama kami.

Namun, ketika tiba saatnya untuk pulang, tantangan lain muncul. Kerumunan umat yang padat membuat perjalanan keluar dari lapangan cukup sulit. Kami bahkan harus melewati lubang di pagar yang dibuat oleh beberapa orang untuk menghindari desakan.

Perdana Menteri Xanana Gusmao (kiri) dan Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta tertawa bersama dalam sebuah upacara di Istana Kepresidenan di Dili, Timor Leste, Kamis (5/9/2024). Foto: AP/Firdia Lisnawati

 

Kejutan dari Xanana Gusmao

Meski perjalanan pulang cukup melelahkan, ada momen tak terduga yang menghapus semua rasa lelah. Pagi harinya, ketika rombongan kami bersiap untuk kembali ke Atambua, beberapa pengawal Perdana Menteri TImor Leste, Xanana Gusmao berdiri membentuk pagar hidup untuk mengucapkan selamat jalan.

Ibu menyadarkan saya agar bangun dan mengucapkan terima kasih. Saat saya membuka mata, saya segera melambaikan tangan melalui jendela dan mengucapkan “Obrigado” dengan suara lantang.

Tiba-tiba, tangan saya ditepuk oleh seseorang. Tanpa saya duga, ternyata itu adalah Xanana Gusmao. Dia mengejar tangan saya, menepuknya, dan tertawa bahagia.

Ibu yang melihat kejadian itu dengan sukacita mengatakan bahwa itu adalah bukti kasih Tuhan. Rasa syukur memenuhi hati saya. Tuhan telah menggantikan segala kekurangan yang kami rasakan di Tasitolu dengan pengalaman luar biasa ini.

Selama perjalanan, saya memperhatikan warga setempat yang tinggal di bawah tenda-tenda di tepi pantai yang disediakan oleh pemerintah Timor Leste. Beberapa dari mereka bahkan pulang dengan berjalan kaki ke kampung masing-masing.

Melihat pemandangan ini, air mata saya jatuh, dan dalam hati saya berbisik, terima kasih.

Ziarah rohani ini meninggalkan kesan mendalam yang tak akan terlupakan. Timor Leste, meskipun masih muda sebagai sebuah negara, telah menyambut kami dengan hangat.

Saya hanya bisa berharap, semoga Tuhan senantiasa memberkati tanah Lorosae dan seluruh rakyatnya. (*)

Penulis: Teresa Merepeziarah dari NTT, Indonesia

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

2 Comments
  1. Rinie says

    pengalaman iman yang sangat luar biasa🥰🌹
    terima kasih telah berbagi kebagiaan lewat tulisan ini

  2. eda embu says

    saya seolah digiring ke lapangan Tasi Tolu Dili. terimaksih Penulis

Leave A Reply

Your email address will not be published.