Hukuman Mati, Pelanggaran HAM dan Martabat Manusia

Gereja Katolik dengan tegas menentang hukuman mati.

0 465
Ana Yulia Astuti

Katolikana.com — Dalam beberapa dekade terakhir, hukuman mati telah menjadi salah satu isu kontroversial yang terus memicu perdebatan, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Meski pemerintah Indonesia masih mempertahankan hukuman mati sebagai bentuk penegakan hukum, banyak yang berpendapat bahwa hukuman mati tidak hanya bertentangan dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), tetapi juga mencederai martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling mulia.

Data terbaru dari Institut for Criminal Justice Reform (ICJR) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2022, terdapat 123 kasus pidana baru dengan 145 terdakwa yang dituntut atau divonis hukuman mati. Jumlah ini mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Data internal ICJR menunjukkan per 24 Maret 2023, terdapat total 1.242 terdakwa yang telah divonis hukuman mati sejak 1969 2022. Dari jumlah tersebut, 520 terdakwa berstatus sebagai terpidana mati yang masih menunggu eksekusi, sesuai vonis pengadilan terakhir.

Trend penambahan kasus hukuman mati pada tahun 2022 didominasi oleh tindak pidana narkotika, pembunuhan berencana, kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan kematian, serta perkosaan anak. Hukuman mati juga berlaku untuk kasus perkosaan yang melibatkan lebih dari satu korban, serta perkara korupsi besar.

Hukuman Mati Tidak Melindungi Siapapun, Hentikan Pidana Mati dan Hapuskan. Foto: Aditya Irawan (Amnesty.id)

 

Kritik atas Hukuman Mati

Meskipun hukuman mati di Indonesia telah menjadi bentuk hukuman yang diakui secara hukum, kritik terhadap penggunaannya terus menguat, terutama dari perspektif HAM.

Kritik ini muncul karena Indonesia merupakan negara demokrasi, di mana penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) seharusnya menjadi landasan utama. Seperti yang diungkapkan oleh Lon (2020: 47-55), sistem demokrasi yang maju adalah yang mampu menghormati HAM warganya.

Hukuman mati dianggap melanggar hak paling fundamental, yaitu hak untuk hidup. Hal ini ditegaskan dalam pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.

Selain itu, pasal 28I UUD 1945 juga menegaskan bahwa hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Dengan demikian, meski pun hukuman mati diatur dalam undang-undang, banyak pihak yang berpendapat bahwa hukuman ini tidak sejalan dengan semangat konstitusi Indonesia yang menekankan penghormatan terhadap hak hidup setiap individu.

Sejumlah tokoh bangsa menyuarakan pandangan berbeda mengenai hukuman mati. Di pihak yang kontra, Dr. H. Arsul Sani, Wakil Ketua MPR RI, berpendapat bahwa sudah saatnya hukuman mati dihentikan.

Sebaliknya, Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, juga Wakil Ketua MPR RI, melihat hukuman mati sebagai komitmen serius dalam menegakkan hukum, terutama terhadap kejahatan berat seperti kekerasan terhadap anak.

Meskipun demikian, pendukung penghapusan hukuman mati berpendapat bahwa hukuman ini tidak memberi ruang bagi pelaku untuk bertobat dan memperbaiki diri.

 

Perspektif Gereja Katolik

Pandangan Gereja Katolik pun jelas: hukuman mati tidak sesuai dengan ajaran kasih dan keadilan ilahi. Gereja meyakini bahwa nyawa manusia adalah anugerah dari Tuhan, dan hanya Tuhan yang berhak untuk mencabutnya.

Seperti yang dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II, martabat manusia harus selalu dihormati, bahkan dalam kasus kejahatan besar sekali pun. Masyarakat modern, menurut Paus, memiliki sarana lain untuk melindungi diri tanpa harus mencabut hak hidup seseorang secara permanen.

Dalam perspektif Kitab Suci, hukuman mati sudah dikenal sejak zaman Perjanjian Lama. Namun, Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru mengajarkan kasih, pengampunan, dan pertobatan, bukan pembalasan atau penghukuman mati.

Ajaran-Nya menekankan bahwa “kejahatan tidak dapat dibalas dengan kejahatan,” tetapi harus dilawan dengan kasih dan sikap pertobatan yang terus-menerus. Gereja Katolik, melalui ajaran-ajaran ini, menolak hukuman mati sebagai bentuk hukuman yang menghilangkan martabat manusia.

Penegakan hukum yang manusiawi harus mengutamakan rehabilitasi, bukan pembalasan. Hukuman mati, menurut banyak pihak, tidak memberi kesempatan bagi pelaku untuk berubah dan memperbaiki diri. Dalam konteks ini, pertobatan dan pengampunan adalah solusi yang lebih manusiawi, sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan ilahi.

Sebagai bangsa yang berlandaskan nilai-nilai “Ketuhanan” dan “Kemanusiaan,” Indonesia diharapkan mampu mengevaluasi kembali penggunaan hukuman mati dan beralih kepada pendekatan yang lebih beradab dan menghormati hak asasi manusia.

Gereja Katolik dengan tegas menentang hukuman mati, menegaskan bahwa kehidupan adalah anugerah Tuhan yang tak boleh diambil oleh manusia, dan bahwa keadilan sejati harus mencakup kasih, pengampunan, dan pertobatan.

Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia mempertimbangkan penghapusan hukuman mati, sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, demi membangun masyarakat yang lebih manusiawi dan beradab.

Kejahatan tidak dapat dihentikan dengan kekerasan, melainkan melalui pendekatan yang mendorong perbaikan diri, penghormatan terhadap kehidupan, dan kasih yang tulus. (*)

 

Penulis: Ana Yulia Astuti, Mahasiswi STKIP Widya Yuwana Madiun (Jurusan Teologi/Ilmu Pendidikan Agama Katolik) 

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.