
Katolikana.com — Demokrasi Indonesia menghadapi tantangan serius akibat pengaruh feodalisme yang masih melekat kuat dalam masyarakat. Seperti disinggung oleh Rosihan Anwar dalam tulisannya di Kompas tahun 2010 tentang karakter “inlander,” pola pikir yang diwarisi dari masa kolonialisme ini telah menghambat masyarakat untuk mengembangkan nilai-nilai demokratis sejati.
Istilah inlander, yang digunakan pada masa kolonial untuk merendahkan penduduk pribumi, menggambarkan sikap masyarakat yang patuh pada hierarki, individualis, materialistis, serta cenderung otoritarian dan borjuis. Sikap ini melemahkan fondasi demokrasi yang membutuhkan masyarakat yang mandiri, terbuka, dan berani bertindak sesuai hati nurani mereka.
Wartawan Willem Walraven pernah menggambarkan inlander sebagai sosok yang otokratis, mementingkan kuasa tanpa batas, serta mengutamakan kebendaan. Gambaran ini selaras dengan pengamatan Mochtar Lubis dalam pidatonya tahun 1977 yang menyebut manusia Indonesia sebagai hipokrit, malas bertanggung jawab, dan bersikap feodal. Budaya dan mentalitas ini menghambat perkembangan demokrasi di Indonesia, mengakibatkan proses demokrasi yang setengah hati dan cenderung otoriter.
Feodalisme dalam Struktur Sosial
Feodalisme di Indonesia tidak sekadar tradisi, tetapi telah menjadi sistem yang meresapi struktur sosial, termasuk dalam pola hubungan patron-klien atau yang dikenal dengan istilah “bapakisme.”
Julia Suryakusuma menyebutkan bahwa hubungan antara patron dan klien telah menjadi pola hubungan yang berakar kuat di masyarakat Indonesia. Bapakisme ini berarti bahwa individu memiliki ketergantungan pada sosok patron atau pemimpin yang memberikan dukungan dalam berbagai aspek, mulai dari ekonomi hingga status sosial.
Model hubungan ini tidak hanya muncul di lingkungan sosial tetapi juga mencakup struktur birokrasi negara. Di sini, “bapakisme” menciptakan hierarki yang kaku dan membuat rakyat kehilangan independensinya.
Orang yang seharusnya bertindak mandiri dan berani menyuarakan pendapatnya justru bergantung pada keputusan “bapak” atau patron mereka, yang sering kali menjadi sosok penguasa absolut dalam komunitas atau organisasi. Akibatnya, masyarakat kesulitan membentuk individu-individu yang memiliki pola pikir demokratis, karena perilaku feodal telah menguasai ruang publik dan sistem pemerintahan.
Feodalisme dan Fasisme
Feodalisme ini kemudian berpotensi melahirkan fasisme, di mana pemimpin atau patron diperlakukan seperti raja dengan kekuasaan absolut. Seperti diungkapkan oleh Sutan Syahrir, fasisme mudah berkembang dalam budaya feodal yang menempatkan pemimpin sebagai sosok yang tidak bisa ditentang. Di Indonesia, kekuasaan pemimpin cenderung tak terbatas, sehingga kritik atau suara berseberangan sering kali dianggap sebagai ancaman.
Kecenderungan otoritarian ini merasuki berbagai lini kehidupan, baik dalam birokrasi maupun masyarakat umum. Terlihat dari banyaknya kasus korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, hingga penindasan terhadap kelompok atau individu yang mencoba menentang arus. Ini semua adalah karakteristik fasisme, yang didukung oleh relasi feodalistik di mana masyarakat merasa tidak berdaya untuk mengubah atau mempertanyakan keputusan yang diambil oleh pemimpinnya.
Mengikis Mentalitas Feodal
Syahrir mengusulkan revolusi sosial untuk membebaskan Indonesia dari feodalisme dan fasisme. Bagi Syahrir, revolusi ini bukan berarti kekerasan, tetapi perubahan mendasar dalam pola pikir melalui pendidikan.
Menurutnya, pendidikan adalah kunci untuk membentuk manusia Indonesia yang berkarakter baru, mandiri, dan memiliki rasa tanggung jawab. Pendidikan yang berfokus pada nilai-nilai budi pekerti ini penting untuk mengikis mentalitas inlander dan menumbuhkan masyarakat yang demokratis dan independen.
Revolusi sosial ini mencakup proses pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai dasar demokrasi, seperti kebebasan berpendapat, keberanian untuk bersuara, dan kesadaran akan pentingnya keadilan sosial. Melalui pendidikan yang tepat, masyarakat dapat memahami dan menjalankan demokrasi dalam kehidupan sehari-hari, tanpa terjebak dalam hierarki feodal yang selama ini membelenggu.
Pendidikan di Keluarga
Keluarga memainkan peran penting dalam mengubah pola pikir masyarakat. Pendidikan karakter di lingkungan keluarga adalah salah satu cara untuk mengatasi mentalitas inlander. Pendidikan ini harus berkelanjutan dan terfokus pada pengembangan pribadi yang mandiri, berani, dan bertanggung jawab. Dengan pendidikan keluarga yang baik, masyarakat dapat mulai membentuk individu yang tidak lagi bergantung pada patron atau sosok pemimpin tertentu.
Pentingnya peran perempuan dalam proses ini tidak bisa diabaikan. Sejak Kongres Perempuan kedua pada tahun 1935, perempuan Indonesia telah diposisikan sebagai ibu bangsa yang bertanggung jawab menanamkan nilai-nilai nasionalisme di keluarga. Dalam konteks sekarang, program-program yang mendukung pendidikan keluarga dapat berfungsi untuk membentuk generasi baru yang mengutamakan nilai-nilai kebangsaan, gotong royong, dan kemandirian.
Budaya Filantropi
Salah satu langkah penting untuk mengikis mentalitas inlander adalah mengembangkan budaya filantropi. Dengan membiasakan masyarakat untuk berbagi dan terlibat dalam kegiatan sosial, kita dapat mengikis sifat materialistis yang sering kali menjadi sumber ketimpangan sosial. Filantropi, atau kegiatan amal, tidak hanya membangun solidaritas sosial, tetapi juga mengurangi keinginan berlebihan untuk menguasai atau mengumpulkan harta benda.
Kebiasaan berbagi ini membantu membangun rasa empati dan kepedulian terhadap sesama, yang merupakan elemen penting dalam demokrasi. Ketika masyarakat mulai menempatkan nilai-nilai kemanusiaan di atas materialisme, kita bisa berharap akan terciptanya masyarakat yang lebih adil dan harmonis. Filantropi juga merupakan cara untuk menumbuhkan rasa memiliki terhadap bangsa dan negara, karena setiap orang merasa terlibat dalam usaha membangun komunitas yang lebih baik.
Menuju Demokrasi Sejati
Demokrasi sejati di Indonesia harus didasari pada nilai-nilai kemanusiaan, bukan hanya formalitas dalam sistem pemerintahan. Syahrir menekankan bahwa nasionalisme yang kuat hanya bisa tumbuh dalam masyarakat yang menghargai kemanusiaan. Demokrasi yang manusiawi adalah demokrasi yang menghargai kebebasan berpendapat, hak asasi, dan keadilan sosial.
Untuk mencapai demokrasi sejati, Indonesia perlu memutus rantai feodalisme yang telah lama membelenggu. Proses ini dapat dimulai dengan membangun mentalitas masyarakat yang tidak lagi bergantung pada patron atau pemimpin tertentu, tetapi mampu berdiri sendiri dengan rasa tanggung jawab dan cinta tanah air. Mentalitas inlander perlu diubah menjadi sikap yang mandiri, berani, dan penuh empati terhadap sesama.
Inilah saatnya bagi kita, bangsa Indonesia, untuk memutus mata rantai feodalisme yang menghambat demokrasi. Langkah pertama adalah membangun kesadaran akan pentingnya demokrasi yang berdasarkan pada nilai kemanusiaan dan gotong royong. Dengan memulai dari pendidikan keluarga dan budaya filantropi, kita bisa membentuk generasi baru yang siap mengemban tugas besar membangun bangsa yang lebih demokratis dan adil. (*)
Penulis: Novita Sari Yahya, ibu dari dua orang putra dan satu putri; penulis, peneliti, model platform digital. Instagram @novitasari.yahya

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.