Katolikana.com, Yogyakarta — Direktur Jaringan GUSDURia, Alissa Qotrunnada Wahid atau Alissa Wahid, mengungkapkan empat faktor utama yang menyebabkan tren peningkatan intoleransi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Pemahaman keagamaan, mayoritarianisme, penegakan hukum, dan ekslusivisme dalam beragama
Faktor pertama adalah perkembangan pemahaman keagamaan yang semakin eksklusif. Menurut Alissa, pola keberagamaan yang eksklusif ini menciptakan jarak antara kelompok mayoritas dan minoritas, menjadikan yang “berbeda” sebagai lawan.
“Saat ini kita melihat perkembangan praktik keberagamaan yang eksklusif, jadi kita mengambil jarak untuk melawan yang ada di luar kita,” jelasnya saat menyampaikan orasi ilmiah pada pembukaan Simposium Beda Setara Festival Jaringan GUSDURian.
Faktor kedua yang berkontribusi pada peningkatan intoleransi adalah desentralisasi pemerintahan. Alissa menyebut, desentralisasi ini memberi kekuatan pada pemerintah daerah untuk mengatur wilayahnya sendiri, sehingga mayoritas di level kabupaten pun menjadi pihak yang dominan.
“Desentralisasi pemerintahan itu ada kaitannya langsung dengan meningkatnya kasus-kasus. Kenapa? Karena ada yang di bawahnya demokrasi dan mayoritas.
Pola tersebut, lanjutnya, membuat pemahaman demokrasi disederhanakan menjadi mayoritarianisme, sebuah paham yang berpandangan bahwa warga mayoritas paling berhak menentukan kebijakan politik.
“Lalu kalau mayoritas berkuasa, maka mayoritas itu punya privilese. Dan karena agama itu penting, maka privilese berdasarkan agama menjadi sangat penting. Dan karena desentralisasi, maka ukuran mayoritas itu tingkatnya sekarang kabupaten,” jelasnya.
Mayoritarianisme dan Eksklusivisme
Selanjutnya, penegakan hukum di Indonesia juga menjadi faktor yang memperburuk kondisi kebebasan beragama. Alissa menyebutkan bahwa banyak penyelenggara negara masih berfokus pada harmoni sosial sebagai landasan kebijakan. Akibatnya, hak-hak kelompok minoritas sering kali diabaikan atas nama “kerukunan”.
“Lalu penegakan hukum. Di Indonesia ini penyelenggara negara punya kecenderungan melakukan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan karena cara pandangnya adalah harmoni sosial,” papar Alissa.
“Dan karena kerukunan bukan berdasarkan perlindungan hak konstitusi, maka yang minoritas lebih sering harus mengalah demi kerukunan,” jabarnya.
Terakhir, Alissa menyoroti peningkatan eksklusivisme beragama sebagai masalah yang masih diabaikan. Menurutnya, pola pikir eksklusif masih kerap dianggap bukan persoalan besar karena bersifat halus. Namun, semangat eksklusivisme ini sebenarnya menyumbang besar pada intoleransi.
“Kenapa kita belum berhasil juga menurunkan itu? Karena kita selama ini lebih sibuk sama yang di ujung atas, yakni violent extremism,” katanya.
Tanpa sadar, Alissa menyebut masyarakat Indonesia melupakan ada pula masalah di ujung sisi sebaliknya, yakni eksklusivisme dalam beragama.
“Ujung paling bawah, yakni eksklusivisme beragama, kita menganggapnya bukan persoalan karena sangat halus, sangat tidak ada. Kita nggak sadar bahwa semangat eksklusivisme beragama sampai saat ini belum mampu kita atasi,” ungkapnya.
Alissa menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan pendekatan yang lebih adil dalam menegakkan hak-hak kebebasan beragama.
“Ada pesan dari Gus Dur, perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi. Apakah damai dan harmoni itu berada di atas prinsip keadilan? Karena bila tidak, itu semu. Itu mudah sekali tergores, mudah sekali retak karena dia vulnerable atau rapuh,” pungkasnya. (*)
Katolikana.com merupakan official media partner Festival Beda Setara (Festival BEST) 2024.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.