Katolikana.com, Sumba Timur — Jika ingin melihat seperti apa kekuatan identitas budaya masyarakat Sumba, agaknya kita bisa sejenak menengok keberadaan Gereja Santa Monica Haumara, di Mauliru, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Mulai dibangun sejak 2019, gereja ini akhirnya telah rampung sekitar dua bulan lalu. Dengan mengusung gaya arsitektur lokal, gereja ini juga bisa dibilang menjadi salah satu gereja terindah di tanah Sumba.
Pembangunan gereja Katolik ini juga menjadi bukti kuatnya toleransi antarumat beragama di Sumba, satu-satunya pulau yang didominasi pemeluk Protestan di NTT.
Desa Tenun Ikat
Gereja Santa Monica Haumara telah diberkati dan diresmikan oleh Uskup Weetebula, Mgr. Edmund Woga, CSsR, dalam sebuah misa kudus yang dihadiri oleh ratusan umat, pada Rabu (24/9/2024).
“Setelah hampir enam tahun menunggu, semenjak proses rancangan, akhirnya Gereja Katolik Santa Monica Haumara diresmikan,” ungkap Yori Antar, arsitek kenamaan Indonesia yang terkenal sebagai pendekar arsitektur nusantara. Ia terlibat langsung sebagai perancang gereja ini.
Gereja Santa Monica Haumara, Mauliru, menyandang status gereja stasi dari Paroki Wara, Waingapu. Mauliru yang kondang sebagai desa penghasil tenun ikat Sumba ini berjarak kurang lebih 8 km dari Waingapu dan dipisahkan oleh Sungai Kambaniru.
Terletak di atas bukit membuat keberadaan Gereja Santa Monica Haumara terlihat menonjol dibandingkan bangunan lain di sekelilingnya. Namun demikian, gereja ini dapat menyatu secara padu dengan lingkungan sekitar karena mengadopsi wastu rumah adat setempat. Konstruksinya mengambil bentuk rumah panggung dua lantai yang dilengkapi dengan atap menjulang ala rumah tradisional Sumba.
Pelestarian Budaya
Pembangunan Gereja Santa Monica Haumara juga sarat dengan nilai tradisi. Mauliru terkenal sebagai desa tenun. Masyarakat Mauliru sebagian besar hidup sebagai penenun kain tradisional Sumba yang terkenal dengan corak khasnya.
Kekayaan lokal tersebut berhasil ditangkap dengan baik oleh Yayasan Tirto Utomo, pihak yang memberi dukungan penuh terhadap pembangunan gereja ini. Yayasan Tirto Utomo memang memiliki perhatian khusus untuk melestarikan dan menyelamatkan rumah tradisional Indonesia.
Maka, mereka menginisiasi pendirian Gereja Haumara dengan dua tujuan. Selain demi mengusung dan melestarikan arsitektur Sumba, gereja ini juga dibangun untuk mendukung pengembangan tenun Sumba.
Mereka pun lantas mempercayakan rancang bangun gereja ini sepenuhnya kepada HAP Architects, firma arsitek yang dikomandoi oleh Yori Antar. Nama yang disebut terakhir merupakan sosok yang berhasil melestarikan Wae Rebo dan membuatnya dikenal sebagai Pendekar Arsitektur Nusantara.
Kolaborasi antara Yayasan Tirto Utomo dan HAP Architects lantas mewujud dalam rupa Gereja Santa Monica Haumara. Menurut Yori, gereja ini dirancang dengan semangat inkulturasi dan gotong royong.
“Gereja berarsitektur Sumba, tidak hanya sekadar penjaga iman, tapi juga penjaga tradisi dan budaya yang sarat dengan kebaikan dan kearifan yang diwariskan oleh para leluhur,” sebutnya.
Gereja Serbaguna
Gereja Santa Monica Haumara pun lantas dirancang sebagai bangunan dua lantai demi memfasilitasi dua hal: Menyediakan kebutuhan akan tempat ibadah umat, sekaligus mendukung pengembangan kain tenun tradisional Sumba.
Ruang ibadah alias ruang utama gereja berada di lantai atas. Adapun ruang serbaguna ditempatkan di lantai dasar gereja. Ruangan di lantai dasar inilah yang kemudian dimanfaatkan sebagai ruang berkarya para penenun.
Sementara untuk bangunan utama gereja, Yori merancang sebuah tangga menerus yang memungkinkan umat dari halaman depan gereja bisa langsung menuju ke lantai atas.
Uniknya, di ujung tangga ini, persis di depan pintu masuk ke gereja, ia juga menempatkan sebuah altar. Altar tambahan ini sengaja dipasang oleh Yori untuk agar ketika ada misa di hari raya dengan jumlah umat membeludak, pastor bisa dengan mudah memimpin misa bagi umat di halaman gereja.
“Trap tangga yang lebar dirancang menjadi ruang komunal terbuka yang luas, di mana gereja ini selain memiliki altar di dalam bangunan juga altar di luar bangunan. Sehingga pada saat hari raya tertentu, (Gereja Haumara) bisa mengadakan misa terbuka dengan kapasitas umat yang lebih banyak,” demikian Yori menjelaskan.
Misa besar pertama bagi Gereja Santa Monica Haumara terjadi di penghujung tahun 2021. Gereja ini telah dimanfaatkan untuk merayakan misa Natal 2021, meskipun masih dalam kondisi setengah jadi.
Tiga tahun berselang, gereja yang sama telah siap sepenuhnya untuk menyambut perayaan Natal 2024. Wastu dan wastra Sumba kini telah menjelma sempurna dalam rupa Gereja Santa Monica Haumara. (*)
Kontributor Katolikana.com di Jakarta. Alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada. Peneliti isu-isu sosial budaya dan urbanisme. Bisa disapa via Twitter @ageng_yudha