AIR MATA JANUARI
Air mata terbaring di bawah pohon durian,
dalam keheningan yang terbungkus kabut pagi,
mengalir perlahan, mengukir jejak pada tanah mati,
di sisi pohon mangga yang terbungkus dalam ingatan.
Januari datang, dengan tatapan kosong yang terbagi,
memandang hujan, yang menghapus segalanya dalam diam,
udara menua lebih cepat dari ingatan yang tercerai,
seperti suara yang tercabut dari akar kata-kata yang hilang.
Di teluk yang tak pernah ada dalam peta, air mata jatuh,
mengusap pasir yang tak pernah mengenal langkah,
sementara dunia berputar dalam bisu, tak terdefinisi.
Ia tertidur dalam gemerlap biru yang perlahan memudar,
sementara pulau-pulau merayap, menggigil dalam kehampaan,
seperti cicak yang merayap di dinding sepi,
menyapu jejak-jejak yang telah lama terlupakan.
***
UPACARA SEBELUM TIDUR
kota busuk memuntahkan dendam
jatuh di ujung trotoar,
ke manakah aku membersihkan tubuh ini?
musik cengeng merangkak pelan, memeluk rambut bulan
tergerai basah dekat pundakku
begitu jauh darimu
o perempuan yang berputar jauh dariku
“alkohol lebih nikmat dalam dingin,”
angin berbisik, bergetar, mengangguk setuju,
suaranya menggema dalam rongga kosong dadaku
sebatang ganja kuhirup ganas,
menghormati altar liar di benak
wahai perempuan beringas,
nikmatilah cinta yang bebas,
berdansa dengan luka dalam tarikan napas.
pada malam tua yang menatapku itu,
betapa tidur adalah sebuah pelarian mutlak,
dan kita bersekongkol di dalamnya—
bukankah begitu.
***
BINTANG DI KOTA
Kecil dan berarti
ia melewati kepalamu malam ini.
Terang dan abadi
ia rebah dengan saraf mimpi.
Kau akan mendapatinya esok hari.
O, dunia jahat
kamu tak mampu membuatnya hebat
Aku akan membunuhmu, wahai bintang
dan jasadmu ditanam di jantung kekasihku.
Kecil dan berarti.
O, kita pengembara
mencemooh dunia
dan kita akan melupakan gelap
di tikungan kota yang sesak.
Kita akan tersenyum esok hari.
Maka, jangan bersedih hari ini.
Kecil dan suci
ia menyala di hati.
***
BAYANGAN
Saat lampu hanya menampilkan
bayangan, kulihat tubuhmu
menjauhi tubuhku
Akan kuikuti bayangan itu
untuk melunasi bunuh diri
yang kesekian kali
Harusnya telah kuisap tubuhmu
agar bisa kunikmati
kehampaan hidup ini
Apabila sebuah huruf
dalam sejuta senyummu
berhasil melengkapi jiwaku
apa bayang-bayang akan lebih sempurna?
Dan jari-jari yang melengkung di payudaramu
yang melumasi basah dan gugup.
Atau kegilaan rindu
akibat bayang-bayang itu
hilang dan hanya jadi bayangan.
Ah. hanya bayangan.
hanya bayangan.
***
SEMPURNAKAN AKU DENGAN TUBUHMU
Sempurnakanlah payudaramu untuk hatiku
dan kecupan-kecupan untuk tidurku.
Apa yang mengalir dari puting susumu
akan juga mengalir di mulutku.
Dalam tubuhmu, bibirku terasa maya
aku seperti kelenjar dan selaput darah
–saat kau berikan keabadianmu
aku tenggelam di keindahanmu.
Sempurnakanlah wajahmu untuk hatiku
dan senyuman untuk hari-hariku.
Apa yang kau ucapkan dari bibir manja
akan juga kuucapkan di telaga jiwa.
Aku sering berkata: kau adalah angin
kautelah kukecup dan kupeluk
tapi hatimu masih berwarna hitam.
Angin bertiup ke pohon-pohon khuldi
menggoyangkan sosok dan menggoda sepi
dan, ketika bersedih: angin akan pergi.
Sempurnakanlah vagina merah untuk kepalaku
dan gugusan metafora tua berwarna biru.
Apa yang hidupkan dalam hatimu
akan juga kuhidupkan dalam nyawaku.
Sempurnakanlah tubuhmu untukku
meski kita sama-sama tahu
esok selalu tak menentu!
***

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.