Oleh Fr Yohanes Jemiandro Bala Kelen CSsR
Katolikana.com—Di era digital saat ini, berbagai perdebatan agama semakin marak terjadi, terutama di media sosial. Banyak kanal YouTube, forum diskusi, hingga debat terbuka yang mempertemukan perbedaan doktrin dan ajaran agama, termasuk antara Katolik dan Protestan.
Tidak sedikit perdebatan yang lebih menonjolkan adu argumen daripada pencarian kebenaran. Bahkan, pemenang debat sering kali ditentukan bukan berdasarkan kebenaran yang disampaikan, tetapi seberapa kuat seseorang mampu mempertahankan argumennya.
Gereja Katolik sering kali mendapat tantangan untuk berdebat, terutama dari kalangan Protestanisme. Namun, sikap Gereja Katolik tampaknya lebih memilih untuk tidak menanggapi tantangan ini secara langsung.
Hal ini memunculkan pertanyaan: Apakah Gereja Katolik takut untuk berdebat? Ataukah Gereja tidak merasa perlu untuk mempertahankan imannya melalui perdebatan terbuka?
Protestanisme dan Tradisi Berdebat
Gerakan Reformasi Protestan yang dipelopori oleh Martin Luther pada abad ke-16 muncul sebagai respons terhadap berbagai praktik Gereja Katolik saat itu. Para reformator seperti John Calvin dan Ulrich Zwingli kemudian mengembangkan teologi yang bertolak belakang dengan ajaran Gereja Katolik, salah satunya adalah Sola Scriptura, yakni keyakinan bahwa hanya Kitab Suci yang menjadi otoritas tertinggi dalam ajaran Kristen.
Sejak awal kemunculannya, Protestanisme cenderung mengandalkan debat sebagai metode penyebaran ajaran. Mereka sering kali menantang pemikiran Katolik dengan pendekatan yang logis, persuasif, dan berbasis retorika yang kuat. Sayangnya, dalam banyak kasus, debat ini bukan bertujuan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk menunjukkan siapa yang lebih unggul dalam berargumen.
Gaya berdebat yang digunakan oleh kelompok Protestan tertentu mirip dengan kaum Sofis di Yunani Kuno, yang terkenal dalam seni berbicara dan argumentasi. Sofisme lebih menitikberatkan pada kemampuan memenangkan perdebatan daripada mencari kebenaran sejati. Inilah yang menjadi alasan mengapa Gereja Katolik tidak mudah terpancing dalam debat terbuka yang hanya bertujuan untuk mempertahankan posisi, bukan menemukan kebenaran.
Gereja Katolik dan Peran Debat dalam Sejarah
Sebagai institusi yang telah berdiri selama lebih dari 2.000 tahun, Gereja Katolik memiliki sejarah panjang dalam perdebatan teologis. Salah satu contohnya adalah Konsili Ekumenis, yang merupakan ajang diskusi besar para uskup sedunia dalam merumuskan ajaran dan dogma Gereja.
Beberapa perdebatan penting dalam sejarah Gereja antara lain:
- Konsili Nicea (325 M) – Menanggapi ajaran Arianisme, yang menyangkal keilahian Kristus.
- Konsili Trente (1545-1563 M) – Menanggapi gerakan Reformasi Protestan.
- Konsili Vatikan II (1962-1965 M) – Membuka diri terhadap dialog lintas agama dan menyegarkan ajaran Gereja dalam konteks dunia modern.
Perdebatan dalam Gereja bukan sesuatu yang asing, tetapi sifatnya lebih kepada mencari kebenaran iman, bukan untuk memenangkan argumen. Dengan demikian, Gereja Katolik tetap membutuhkan debat, tetapi bukan untuk mempertahankan dogma yang sudah final, melainkan untuk menanggapi persoalan-persoalan universal seperti ketidakadilan, etika, dan moralitas dalam dunia modern.
Kebenaran Iman Gereja Katolik Sudah Final
Gereja Katolik tidak merasa perlu untuk terus-menerus berdebat mengenai kebenaran doktrinalnya karena iman Katolik sudah mengalami proses refleksi yang panjang dan mendalam. Sejak zaman para rasul, Gereja telah menerima depositum fidei (warisan iman) yang diwariskan melalui Tradisi Suci dan Kitab Suci. Keyakinan ini membuat Gereja percaya bahwa kebenaran iman yang dimilikinya sudah penuh dan utuh.
Meskipun pemahaman tentang kebenaran dapat berkembang sesuai dengan konteks zaman, hakikat kebenaran itu sendiri tidak berubah. Itulah sebabnya Gereja tidak merasa perlu terlibat dalam debat yang hanya berorientasi pada kemenangan argumentasi semata.
Apakah Debat Masih Relevan untuk Gereja Katolik?
1. Dialog Lebih Utama daripada Debat
Alih-alih berdebat untuk membuktikan siapa yang benar, Gereja Katolik lebih mengutamakan dialog yang penuh hormat. Dialog antaragama dan ekumenisme telah menjadi agenda utama Gereja sejak Konsili Vatikan II, yang bertujuan untuk membangun pemahaman, bukan memperuncing perbedaan.
2. Kesaksian Hidup Lebih Kuat daripada Argumen
Paus Fransiskus mengajak umat Katolik untuk mengamalkan kasih Kristus melalui kesaksian hidup. Daripada berdebat dengan Protestan atau agama lain, Gereja lebih memilih untuk menunjukkan iman yang hidup melalui tindakan nyata, seperti membantu kaum miskin, memperjuangkan keadilan sosial, dan memberikan pendidikan.
3. Tantangan Zaman Modern: Fokus pada Isu Global
Daripada berfokus pada perdebatan doktrin, Gereja Katolik lebih banyak membahas persoalan global seperti:
- Perubahan iklim dan lingkungan hidup (Laudato Si’)
- Hak asasi manusia dan keadilan sosial
- Tantangan etika dalam teknologi dan bioteknologi
- Pemberdayaan kaum miskin dan marjinal
Dengan demikian, debat bukan lagi alat utama dalam mempertahankan iman, tetapi aksi nyata dalam kehidupan sosial-lah yang lebih efektif dalam menunjukkan kebenaran ajaran Gereja.
Tidak Perlu Berdebat, tetapi Harus Terus Berdialog dan Bersaksi
Di tengah maraknya perdebatan agama di media sosial, Gereja Katolik tetap teguh pada posisinya untuk tidak terjebak dalam perdebatan yang tidak membawa manfaat nyata. Kebenaran iman Katolik sudah final, dan Gereja tidak perlu membuktikan dirinya melalui adu argumen semata.
Alih-alih berdebat, Gereja lebih memilih untuk membangun dialog yang saling menghormati, menyebarkan kasih Kristus melalui kesaksian hidup, dan berkontribusi dalam isu-isu global yang lebih relevan bagi kemanusiaan.
Sebagaimana yang ditekankan oleh Paus Fransiskus, panggilan utama umat Katolik bukanlah untuk menang dalam perdebatan, tetapi untuk menjadi garam dan terang dunia melalui perbuatan kasih, solidaritas, dan keadilan.
Maka, apakah Gereja Katolik takut berdebat?
Tidak. Gereja Katolik tidak takut berdebat, tetapi lebih memilih jalur yang lebih bijaksana: dialog, kasih, dan kesaksian hidup yang nyata. (*)
Penulis: Fr Yohanes Jemiandro Bala Kelen CSsR, mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.
Maaf, saya protestan. Cuma nak tanya untuk jawapan diri sendiri. Dalam Katolik saya merasakan ibu Yesus seperti lebih besar dari Yesus sendiri. Itu kedengaran dalam doa² dalam gereja Katolik.. berulang ulang nama bonda Maria disebut² padahal dalam Alkitab perjanjian baru, lama. hanya di awal2 atau jarang disebut. Kenapa begitu. Seolah olah Maria lebih tinggi dari Yesus. Padahal hanya perantara ke dunia.. maaf sekali lagi..