Apakah Misi Masih Relevan?

Tanggapan Kritis terhadap Pendekatan Inklusivisme

0 129

Oleh Fr. Yohanes Jemiandro Bala Kelen

Katolikana.com—Di era globalisasi dan pluralisme agama, banyak yang mempertanyakan relevansi misi Gereja Katolik. Jika Gereja kini mengadopsi pendekatan inklusivisme—yang mengakui bahwa keselamatan juga dapat ditemukan di luar Gereja Katolik—lalu apakah masih perlu mewartakan Injil kepada mereka yang sudah memiliki keyakinan lain?

Pertanyaan ini tidak hanya menantang pemahaman kita tentang misi, tetapi juga menuntut refleksi yang lebih mendalam terhadap ajaran Gereja.

Sebagian orang beranggapan bahwa pendekatan inklusivisme bisa membawa kita pada relativisme, di mana tidak ada kebenaran mutlak dalam setiap agama, melainkan sekadar ekspresi berbeda dari pencarian manusia akan kebenaran spiritual.

Namun, apakah benar demikian? Bagaimana Gereja memahami konsep misi dalam terang Konsili Vatikan II? Apakah misi masih tetap diperlukan, dan bagaimana pendekatan yang tepat dalam konteks dunia yang semakin plural?

Pandangan Konsili Vatikan II

Konsili Vatikan II membawa perubahan besar dalam cara Gereja memahami dirinya dan misinya di dunia modern. Pembaruan ini berlandaskan tiga pilar utama: pastoral, ekumenis, dan dialogis. Konsili bertujuan untuk:

  1. Pastoral – Menterjemahkan iman Katolik dalam bahasa yang lebih mudah dipahami oleh dunia modern.
  2. Ekumenis – Mempromosikan persatuan di antara umat Kristiani.
  3. Dialogis – Membangun hubungan yang lebih terbuka dan saling pengertian dengan semua orang berkehendak baik.

Tiga dokumen utama yang membahas tentang keselamatan dan misi Gereja dalam Konsili Vatikan II adalah Lumen Gentium, Nostra Aetate, dan Ad Gentes.

1. Lumen Gentium (LG)

Dokumen ini menegaskan bahwa kebenaran dapat ditemukan dalam agama lain, tetapi hanya sebagai “persiapan Injil” (LG 16). Dengan kata lain, agama-agama lain mungkin memiliki elemen kebenaran, tetapi kepenuhan kebenaran hanya ditemukan dalam Kristus. Oleh karena itu, misi Gereja tetap diperlukan untuk membawa semua orang kepada kepenuhan keselamatan dalam Kristus (LG 17).

2. Nostra Aetate (NA)

Dalam dokumen ini, Gereja mengajak umat Katolik untuk membangun relasi dengan pemeluk agama lain melalui dialog. Namun, di saat yang sama, Gereja juga menegaskan perlunya kesaksian iman. Kebenaran dalam agama lain hanyalah pantulan dari cahaya kebenaran sejati, dan karena itu, tugas Gereja adalah membawa mereka kepada kepenuhan cahaya Kristus.

3. Ad Gentes (AG)

Dokumen ini secara khusus berbicara tentang misi evangelisasi. Gereja dipanggil untuk menanamkan Injil di tengah bangsa-bangsa (AG 6). Namun, misi ini harus dilakukan dengan cara yang sesuai dengan teladan Kristus—bukan melalui pemaksaan, melainkan melalui dialog dan kesaksian hidup.

Apakah Misi Gereja Masih Relevan?

Meskipun Gereja telah memperluas pemahamannya tentang keselamatan, misi tetap menjadi bagian integral dari panggilan Gereja. Gereja tidak pernah menutup diri terhadap kemungkinan keselamatan di luar dirinya, tetapi itu tidak berarti bahwa pewartaan Injil menjadi tidak relevan.

Kata kunci yang harus kita ingat adalah bahwa keselamatan di luar Gereja hanyalah “pantulan”, sementara kepenuhan keselamatan hanya ditemukan dalam Kristus melalui Gereja-Nya. Oleh karena itu, misi tetap diperlukan untuk membantu mereka yang belum mengenal Kristus agar dapat mencapai kepenuhan keselamatan tersebut.

Konsili Vatikan II tidak meniadakan ajaran konsili-konsili sebelumnya, melainkan memperbarui pendekatan Gereja agar lebih relevan dalam dunia modern. Gereja ingin menyentuh realitas kehidupan manusia, sehingga kasih Kristus semakin nyata dan dapat dirasakan oleh semua orang.

Pendekatan misi telah berubah—bukan lagi melalui pemaksaan atau konfrontasi, tetapi melalui kesaksian hidup yang nyata.

Misi dalam Paradigma Baru: Kesaksian Hidup

Salah satu perubahan besar dalam pendekatan misi saat ini adalah bahwa evangelisasi tidak lagi dilakukan dengan cara yang kaku atau konfrontatif, melainkan melalui kesaksian hidup. Dalam Ad Gentes, dikatakan bahwa Gereja harus mengikuti jalan yang sama seperti yang ditempuh Kristus, yakni jalan kemiskinan, ketaatan, pengabdian, dan pengorbanan diri (AG 5).

Dengan demikian, misi yang dibawa oleh Gereja bukanlah sekadar doktrin atau dogma, tetapi kehadiran Kristus itu sendiri. Gereja memang mengakui adanya kebaikan di luar dirinya, tetapi tetap setia pada Kristus sebagai kepenuhan keselamatan.

Kesaksian hidup adalah bentuk evangelisasi yang paling kuat. Tidak semua orang dipanggil untuk menjadi misionaris dalam arti harfiah, tetapi setiap orang Katolik dipanggil untuk menjadi saksi Kristus dalam kehidupan sehari-hari. Kesaksian hidup bisa dimulai dari hal-hal sederhana, seperti:

  • Hidup rukun dalam keluarga dan masyarakat.
  • Menolong orang miskin dan yang terlantar.
  • Mengutamakan nilai-nilai kasih dan kejujuran dalam bekerja.

Pendekatan Baru

Misi adalah tugas pokok Gereja, sebagaimana dinyatakan dalam Amanat Agung Kristus:

“Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus” (Matius 28:19).

Meskipun Gereja telah berkembang dalam pemahamannya tentang keselamatan, misi tetap diperlukan untuk membawa semua orang kepada kepenuhan dalam Kristus. Namun, pendekatan misi telah berubah—bukan lagi melalui pemaksaan atau konfrontasi, tetapi melalui kesaksian hidup yang nyata.

Kesaksian hidup inilah yang menjadi sarana utama untuk memperkenalkan Kristus kepada dunia. Orang tidak harus menjadi martir untuk mewartakan Injil, tetapi cukup dengan menjalani hidup yang mencerminkan kasih Kristus. Baik dalam keluarga, masyarakat, maupun tempat kerja, setiap orang Katolik dipanggil untuk menjadi terang dan garam dunia.

Misi Gereja tetap relevan di era modern ini, tetapi lebih dari sekadar pewartaan kata-kata, misi sejati adalah hidup yang mencerminkan kasih Kristus kepada sesama. (*)

Penulis: Fr. Yohanes Jemiandro Bala Kelen, mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Leave A Reply

Your email address will not be published.