
Oleh Susy Heryawan
Katolikana.com — “Kerajaan tanpa keadilan hanyalah perampok.” Kalimat keras ini berasal dari Santo Agustinus, teolog besar Gereja yang tak segan menelanjangi kebusukan kekuasaan tanpa moral.
Bagi Agustinus, perampok kecil disebut kriminal, tapi perampok besar bisa disebut negara.
Ia mengisahkan bagaimana seorang bajak laut menjawab Alexander Agung: “Karena aku melakukan dengan kapal, aku disebut perampok. Tapi engkau melakukannya dengan armada besar, maka engkau disebut kaisar.”
Dua ribu tahun berlalu, dan kalimat itu terasa amat relevan di negeri ini.
Baru-baru ini, publik diguncang oleh kabar kelam: tiga polisi tewas diberondong peluru tentara di Lampung saat menggerebek arena sabung ayam. Ironisnya, isu yang beredar menyebut soal “uang keamanan”—apakah kita masih bisa membedakan mana aparat hukum, mana mafia?
Jika polisi saja bisa dieksekusi oleh tentara, bagaimana nasib rakyat biasa? Terlebih lagi, saat yang sama, revisi UU TNI justru memperluas kewenangan militer bersenjata, tanpa kejelasan mekanisme akuntabilitasnya.
Tak berhenti di situ, wacana negara untuk menyita kendaraan bermotor yang mati pajak dua tahun juga memantik kegelisahan. Rakyat membeli kendaraan dengan jerih payah—dari tabungan, gaji kecil, bahkan cicilan bertahun-tahun. Kini negara datang dan bilang: “Kami ambil.” Siapa yang memberi kuasa moral kepada negara untuk mengambil begitu saja milik rakyat?
Kita belum lupa kasus hilangnya barang bukti satu truk oleh KPK. Atau perwira polisi yang memperdagangkan sabu-sabu hasil sitaan. Kalau barang bukti saja bisa “raib”, apa jaminan kendaraan rakyat tak ikut lenyap?
Wacana berikutnya: rumah kosong yang tidak dihuni akan diambil negara. Aneh bin ajaib. Di mana konsep kepemilikan pribadi yang dijamin konstitusi? Lebih waras dan manusiawi jika negara hadir sebagai mediator: rumah kosong bisa dipinjamkan, dipakai warga sekitar yang membutuhkan. Negara bukan makelar properti yang gatal tangan mengambil setiap aset warga.
Kontradiksi kian nyata. Pajak naik, harga kebutuhan pokok melonjak, tapi kualitasnya menyedihkan. Beras impor penuh kutu, minyak curah takaran kurang, Pertamina pernah ketahuan mengoplos bahan bakar. Alih-alih memperbaiki sistem distribusi pangan dan energi, negara sibuk menambah beban rakyat.
Ironi berlanjut ketika negara absen membela warga minoritas yang tempat ibadahnya dirusak atau ibadahnya dibubarkan. Tapi, saat ada kesempatan “menyita” milik warga, mereka sigap bak pemburu harta. Negara hadir—tapi hanya untuk mengambil, bukan memberi.
Kedaulatan pangan pun dirampas. Buah lokal menghilang, pasar dibanjiri buah impor. Isu yang beredar menyebut tiap kilogram buah impor ada “jatah” untuk pejabat. Beras berkutu dibela mati-matian: “masih layak konsumsi.” Rakyat ini dianggap apa, ayam?
Kita disuruh berhemat, tapi pemerintah rapat di hotel berbintang. Kabinet gemuk, pejabat bertambah, staf khusus tak berhenti dilantik. Di mana letak efisiensinya? Yang dipotong hanya harapan rakyat.
Tagar #IndonesiaGelap bukan isapan jempol. Kini ia berubah jadi #IndonesiaGulita. Kegelapan itu tak hanya fisik, tapi moral. Ketika pejabat berperilaku seperti penjahat, maka kepercayaan publik runtuh. Keputusan politik kerap dianulir seenaknya, tanpa mempertimbangkan dampak besar bagi rakyat.
Mungkin kita memang sedang hidup dalam negara yang oleh Agustinus disebut perampok besar. Yang membedakan hanyalah, mereka punya cap stempel dan undang-undang. (*)
Penulis: Susy Heryawan, bukan siapa-siapa.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.