
Oleh Juster Donal Sinaga
Katolikana.com — Prapaskah selalu menjadi masa istimewa dalam tradisi Gereja Katolik. Ia mengajak umat untuk masuk dalam keheningan, pertobatan, dan pembaruan diri.
Di tengah semangat tobat inilah Sakramen Pengakuan Dosa menempati ruang yang sangat penting. Lewat sakramen ini, umat membawa luka batin dan kesalahan masa lalu untuk dibalut kembali dalam pengampunan ilahi.
Namun jarang disadari, bahwa di balik tirai keheningan ruang pengakuan, ada sosok imam yang memikul beban lebih dari sekadar ritus sakramental—ada beban emosional yang perlahan tapi nyata menggerogoti sisi kemanusiaannya.
Beban yang Tak Terlihat
Dalam masa-masa padat seperti Prapaskah—termasuk Natal—tidak jarang satu imam harus melayani puluhan bahkan ratusan umat dalam waktu yang sangat terbatas.
Dalam banyak kasus, satu imam dapat melayani hingga 100 umat hanya dalam waktu 2–3 jam. Tekanan fisik tentu nyata, namun yang kerap terabaikan adalah beban psikologis yang mereka tanggung.
Pelayanan seperti ini tentu melelahkan secara fisik, tetapi yang lebih tersembunyi adalah tekanan psikologis yang muncul. Mendengarkan puluhan kisah penuh rasa bersalah, penderitaan, konflik batin, dan trauma dapat memicu secondary traumatic stress (STS).
Ini adalah bentuk stres yang dialami seseorang akibat paparan cerita traumatis orang lain—umumnya terjadi pada profesi seperti konselor atau pekerja sosial. Imam, yang sehari-hari memberikan pendampingan spiritual, ternyata tidak lepas dari risiko ini.
Ketika ia mendengar begitu banyak kisah kelam dan luka batin dalam waktu singkat, tubuhnya tetap duduk, tetapi jiwanya pelan-pelan menyerap beban emosional dari mereka yang dilayaninya.
Lebih dari itu, ada fenomena yang disebut emotional contagion atau penularan emosi. Ketika umat datang dalam kondisi terpuruk secara emosional, imam bisa secara tidak sadar ikut menyerap perasaan itu.
Akibatnya, mereka bisa merasakan kecemasan, kesedihan, bahkan kelelahan emosional—meskipun sumbernya bukan dari pengalaman pribadi mereka.
Imam yang tidak memiliki ruang pemulihan bisa saja larut dalam emosi yang bukan miliknya. Dampaknya, imam mungkin merasa cemas, sedih, atau lelah secara emosional, meskipun itu berasal dari cerita orang lain.
Ini menunjukkan bahwa imam bukan hanya pendengar. Mereka juga harus menjadi penyaring emosi yang kuat, sehingga secara manusiawi mereka sesekali merasa kewalahan.
Kelelahan Emosional
Tekanan semacam ini, jika terus terjadi tanpa ruang istirahat atau pendampingan, dapat berkembang menjadi kelelahan emosional. Imam bisa kehilangan energi untuk hadir secara utuh, dan mulai merasa jenuh atau hampa.
Jika dibiarkan, kondisi ini dapat menjadi awal dari kelelahan jiwa yang lebih serius—yang dalam dunia psikologi dikenal sebagai burnout.
Di saat yang sama, otak mereka pun bekerja keras untuk memproses dan memberi respons pastoral yang bijak. Proses pengambilan keputusan yang berulang, terutama dalam waktu sempit, menguras kapasitas kognitif dan memperbesar risiko kelelahan mental.
Pengambilan keputusan secara terus-menerus, seperti menentukan bentuk penitensi yang tepat atau nasihat rohani yang sesuai, dapat menyebabkan decision fatigue. Akibatnya, kualitas pelayanan bisa menurun, meskipun imam telah berusaha keras untuk tetap hadir secara utuh.
Sayangnya, dalam budaya pelayanan yang sering menuntut pengabdian total, perhatian terhadap kesehatan mental imam sering kali tertinggal. Padahal, justru dalam pelayanan yang paling sakral pun, imam tetap membutuhkan dukungan sebagai manusia. Ia perlu ruang aman untuk bernapas dan pulih.
Maka menjadi penting untuk mulai menata ulang pendekatan pastoral yang lebih manusiawi—yang tidak hanya memikirkan beban kerja, tetapi juga kesejahteraan emosional para pelayan altar.

Merawat yang Merawat
Menghadapi realitas ini, diperlukan langkah konkret untuk mendukung kesehatan mental para imam:
- Pelatihan psikologis dan spiritual
Pelatihan seperti teknik regulasi emosi, mindfulness, dan pembatasan empati dapat membantu imam menjaga jarak emosional yang sehat tanpa kehilangan kepekaan. - Konseling dan dukungan profesional
Imam juga manusia. Konseling rutin dengan profesional psikologi memungkinkan mereka memproses tekanan emosional secara aman dan sehat. - Solidaritas antar-imam
Dukungan dari sesama rekan imam penting untuk berbagi pengalaman dan memperkuat semangat pelayanan. - Pengaturan jadwal yang seimbang
Paroki dapat merancang jadwal pengakuan dosa dengan memberi jeda yang cukup agar imam punya waktu untuk beristirahat dan memulihkan diri. - Peran umat: lebih dari sekadar penerima layanan
Kesadaran umat akan pentingnya mendukung imam secara emosional bisa menjadi kekuatan besar. Ungkapan sederhana seperti “terima kasih” atau mendoakan imam dapat memberi energi positif yang tidak ternilai.
Imam Juga Manusia
Di tengah kesibukan pastoral yang begitu padat, imam pun butuh disentuh oleh belas kasih yang sama seperti yang mereka berikan. Mereka pun kadang haus pelukan rohani, kata-kata penguatan, dan ruang untuk diam. Sebab mereka bukan hanya mewakili Kristus yang menyembuhkan—mereka juga adalah tubuh manusia yang sesekali perlu disembuhkan.
Sudah saatnya kita semua—umat, Gereja, dan para profesional kesehatan mental—membentuk ekosistem pendukung yang kokoh bagi para imam. Sebab hanya dari hati yang utuh dan pikiran yang jernih, pelayanan yang penuh kasih dapat terus mengalir. (*)
Penulis: Juster Donal Sinaga, Konselor, tinggal di Yogyakarta

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.