Hari Kartini: Habis Gelap Terbit di Gereja

Patriarki bukan hanya struktur kekuasaan yang kasat mata, tapi juga virus cara berpikir.

0 62

Oleh Yovendi Mali Koli

Katolikana.com—Setiap tanggal 21 April, bangsa ini mengenang perjuangan Raden Ajeng Kartini—seorang perempuan muda dari Jepara yang melawan gelapnya kungkungan budaya patriarki dengan terang cita-cita pendidikan dan kebebasan bagi perempuan.

Tahun ini, Hari Kartini mengusung tema “Mari Bersama Perjuangkan Hak-Hak Perempuan Indonesia!”. Sebuah ajakan kolektif yang tidak hanya menggema di ranah politik atau hukum, tetapi juga mendesak untuk bergema di ruang-ruang spiritual dan sakral, termasuk di dalam Gereja.

Namun, mengapa seruan itu masih relevan? Bukankah sudah banyak perempuan menjadi pemimpin, aktivis, bahkan pejabat publik?

Jawabannya dapat ditemukan dalam data dan pengalaman harian. Survei United Nations Development Programme (2023-2024) menunjukkan bahwa 62% masyarakat Indonesia masih meyakini bahwa tempat utama perempuan adalah di rumah.

Imbas dari cara pandang ini merembet pada pelbagai bentuk diskriminasi: kesenjangan pendidikan, ketimpangan upah, kekerasan berbasis gender, minimnya representasi perempuan dalam kebijakan publik, dan stigmatisasi terhadap perempuan yang bekerja ganda.

Pandangan seperti ini, meski tampak lunak dan “alamiah”, sesungguhnya memenjarakan manusia dari aktualisasi dirinya.

Karl Marx pernah mengatakan bahwa kerja adalah bentuk tertinggi dari ekspresi diri manusia. Dengan bekerja, seseorang menghadirkan eksistensinya secara utuh dalam dunia.

Abraham Maslow bahkan menempatkan aktualisasi diri sebagai puncak tertinggi kebutuhan manusia. Maka ketika akses terhadap pekerjaan atau peran publik dibatasi karena jenis kelamin, sesungguhnya kita sedang melukai martabat manusia.

Patriarki Sebagai ‘Mind Virus’

Patriarki, dalam pandangan ini, bukan hanya struktur kekuasaan yang kasat mata, tapi juga virus cara berpikir—“mind virus”, kata Richard Brodie. Ia menjalar dalam bahasa, desain kota, arsitektur toilet publik, bahkan teknologi.

Bayangkan: mengapa asisten virtual digital (AI) seperti Siri dan Alexa lebih sering bersuara perempuan? Mengapa dalam film, laki-laki digambarkan sebagai penyelamat, sementara perempuan sebagai korban? Mengapa toilet laki-laki dan perempuan disamakan jumlahnya, padahal kebutuhan biologis mereka berbeda? Patriarki tidak hanya menyingkirkan perempuan, ia juga menormalisasi ketimpangan.

Dalam konteks ini, Gereja sebagai bagian dari masyarakat harus turut berkaca. Gereja tidak imun dari virus patriarki. Justru dalam sejarah panjangnya, tak sedikit praktik keagamaan yang turut melanggengkan ketimpangan ini.

Ketika isu “hak-hak perempuan dalam Gereja” muncul, sering kali reaksi spontan adalah penolakan terhadap gagasan tahbisan imam bagi perempuan. Padahal, hak perempuan jauh lebih luas dari sekadar jabatan klerikal. Ini soal representasi, hermeneutika, dan keterlibatan.

Perempuan Katolik ingin memiliki hak untuk membaca dan menafsir Kitab Suci dari sudut pandang mereka sendiri. Bukan untuk menggantikan tafsir laki-laki, tetapi untuk memperkaya dan memperluasnya.

Misalnya, kisah perempuan yang mengalami pendarahan (Markus 5:25–34) akan berbeda tafsirnya ketika dibaca oleh perempuan yang pernah mengalami menstruasi menyakitkan atau keguguran. Ada kedalaman emosional, keintiman eksistensial, yang tak bisa diwakili sepenuhnya oleh tafsir androsentris.

Tantangan Gereja

Tantangan bagi Gereja saat ini bukan hanya menyuarakan teologi emansipatif, tetapi juga membongkar asumsi-asumsi bias yang selama ini tertanam dalam tubuh Gereja.

Sebuah ilustrasi menarik: perempuan yang menyuarakan keadilan dan menolak peran domestik semata, sering kali dicap “tidak feminin”. Sebaliknya, laki-laki yang merawat anak di rumah dianggap “kurang jantan”. Label semacam ini bukan hanya tidak adil, tapi juga menyakitkan.

Maka, Hari Kartini harus menjadi momen gerejawi. Momen untuk bertanya, sudahkah Gereja membuka ruang seluas-luasnya bagi pengalaman perempuan? Sudahkah Gereja menghadirkan terang bagi mereka yang terkungkung dalam gelapnya struktur sosial yang tidak adil? Sudahkah Gereja memeluk tuntutan emansipasi sebagai bagian dari panggilan iman, sebagaimana Kristus memihak kaum tertindas?

Kartini pernah menulis, “Habis Gelap Terbitlah Terang.” Tapi terang tak akan datang dengan sendirinya. Ia harus diperjuangkan. Termasuk di dalam Gereja. Maka, mari kita wujudkan semboyan itu: Habis Gelap Terbit di Gereja.

Selamat Hari Kartini. Untuk para perempuan yang terus melawan gelap—di rumah, di kantor, di jalan, dan di altar. Kalian adalah terang yang sedang lahir. (*)

Penulis: Yovendi Mali Koli, Mahasiswa Teologi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.