Fratelli Tutti: Panggilan Kemanusiaan Bagi ‘Manusia Serigala’

'Manusia serigala' adalah metafor untuk menamai manusia yang kehilangan nurani.

0 122
Wilfridus Fon

Oleh Wilfridus Fon

Katolikana.com—Kematian Bapa Suci Paus Fransiskus menyisakan keheningan mendalam di hati umat Katolik dan dunia luas. Ia pergi ketika dunia modern sangat membutuhkannya—seorang gembala yang memperjuangkan solidaritas di tengah keganasan zaman.

Meskipun tubuhnya telah kembali ke tanah, warisan intelektual dan spiritual Paus Fransiskus tetap hidup, khususnya dalam ensiklik Fratelli Tutti (2020), sebuah dokumen yang melampaui batas agama dan bangsa, menyerukan panggilan kemanusiaan bagi dunia yang kian dipenuhi “manusia serigala.”

Maut, Dunia, dan Manusia Serigala

Kuasa maut itu buta. Ia datang tanpa permisi, meluluhlantakkan harapan dan merobek jalinan kasih. Namun, di balik ketidakberdayaan manusia di hadapan maut, lebih menakutkan lagi adalah kematian rasa kemanusiaan di antara kita.

Sebagaimana serigala di rimba, manusia masa kini semakin sering menunjukkan naluri buas: memburu, menerkam, dan memangsa sesamanya tanpa ampun.

“Manusia serigala” bukan istilah biologis, melainkan metafor untuk menamai manusia yang kehilangan nurani. Ia egoistik, brutal, individualistis, intoleran, dan serakah. Ia tidak lagi memandang sesamanya sebagai sesama, melainkan sebagai objek yang bisa dieksploitasi, dikalahkan, bahkan dimusnahkan demi kepuasan hasrat pribadi.

Dalam berbagai rupa, manusia serigala bersembunyi di balik jubah kekuasaan: pemimpin korup, hakim suap, politisi rakus, pelanggar HAM, pengedar kebencian, penyebar hoaks, hingga para provokator perang.

Jika spesies ini dibiarkan dominan, dunia akan berubah menjadi rimba gelap penuh perselisihan, peperangan, dan penderitaan.

Fratelli Tutti: Kompas Moral dalam Gelap

Dalam realitas dunia yang luka itulah, Fratelli Tutti lahir sebagai teriakan profetis Paus Fransiskus. Ensiklik ini bukan sekadar seruan lembut, melainkan ajakan radikal untuk meninggalkan logika kekuasaan serigala dan kembali ke etos persaudaraan.

“Kita semua adalah saudara,” tegas Paus, melampaui batas suku, agama, bangsa, atau kelas sosial.

Dalam dunia Fratelli Tutti, tidak ada tempat bagi hierarki superior-inferior yang membenarkan dominasi. Setiap manusia memiliki martabat yang setara. Yang lain bukan ancaman, melainkan sahabat seperjalanan.

Keselamatan diri sendiri tak dapat dipisahkan dari keselamatan orang lain. Dunia yang adil hanya mungkin jika kita keluar dari ego kita, membuka diri, dan membangun relasi yang sejati.

Paus Fransiskus menekankan bahwa kemanusiaan tidak bisa berkembang dalam isolasi. Setiap manusia perlu membangun “budaya perjumpaan,” di mana hospitalitas, solidaritas, kesabaran, dan belas kasih menjadi kebiasaan sehari-hari, bukan sekadar jargon.

Tantangan Kritis Bagi Dunia Modern

Ajakan Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti menggugah sekaligus menggugat. Ia mengharuskan dunia untuk mengakui bahwa krisis terbesar kita bukan sekadar ekonomi, politik, atau teknologi, melainkan krisis spiritual: krisis persaudaraan.

Dunia yang membanggakan kemajuan sains, namun membiarkan jutaan manusia kelaparan, perang saudara, rasisme, dan diskriminasi, adalah dunia yang secara moral bangkrut.

Ensiklik ini memprovokasi kita untuk bertanya lebih dalam: Apakah aku hidup sebagai saudara bagi sesamaku, ataukah aku menjadi bagian dari dunia manusia serigala?

Adakah aku memperlakukan yang lain sebagai sekadar alat untuk ambisi pribadiku? Sejauh mana aku berani meninggalkan egoisme untuk membangun jembatan pengertian dan kasih?

Lebih jauh, Paus Fransiskus juga menantang struktur global: mengecam sistem politik-ekonomi yang memperkaya segelintir orang sambil membiarkan miliaran lainnya hidup dalam keterpurukan. Fratelli Tutti menyerukan perubahan bukan hanya dalam skala individu, tetapi juga dalam skala sosial dan struktural.

Menjadi Manusia

Dalam dunia yang sedang bertransformasi menjadi rimba serigala, Fratelli Tutti menantang setiap orang untuk tidak menyerah pada naluri dasar ketakutan, kebencian, dan kekuasaan.

Ia mengajak kita untuk bermetamorfosis menjadi “manusia sejati”: manusia yang percaya pada kekuatan cinta lebih daripada kekuatan gigi dan taring.

Spirit Fratelli Tutti menuntut kita untuk sabar di tengah kemarahan, bersikap lemah-lembut di tengah kekerasan, membangun dialog di tengah polarisasi, dan memperlakukan yang lain bukan sebagai musuh, melainkan sebagai saudara.

Sebagaimana seruan Paus Fransiskus: dunia baru hanya mungkin lahir jika kita meninggalkan budaya tembok dan membangun budaya jembatan. Kita dipanggil untuk menjadi “artis persaudaraan”, bukan “arsitek permusuhan.”

Warisan yang Hidup

Maut memang telah menutup mata Bapa Suci, tetapi tidak pernah mampu membungkam suara Fratelli Tutti. Ensiklik ini tetap hidup sebagai mercusuar moral yang memandu umat manusia keluar dari hutan belantara kebencian menuju taman damai persaudaraan sejati.

Kini, tugas kita bukan sekadar mengenang Paus Fransiskus, tetapi mewujudkan visinya. Dunia tidak membutuhkan lebih banyak manusia serigala. Dunia mendesak membutuhkan lebih banyak saudara, lebih banyak sahabat, lebih banyak pembangun damai.

Dalam terang Fratelli Tutti, marilah kita berhenti menjadi serigala bagi sesama, dan mulai menjadi saudara satu bagi yang lain. (*)

Penulis: Wilfridus Fon, Tinggal di Biara Scalabrinian, Nita, Maumere, NTT

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.