

Oleh Arief Tandang
Katolikana.com—Abad ini, dunia digital menyeret kita lebih kuat daripada dunia korporeal, dunia nyata. Ada daya tak kasat mata yang mendesak manusia untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan ruang maya: cepat, instan, dan sensasional.
Dunia digital, dengan algoritmanya yang rakus, membuat orang lupa pada keberadaan tubuhnya sendiri—lupa pada habitat asalnya: dunia riil.
Apa yang sesungguhnya terjadi di seberang sana, di jagat maya yang gemerlap namun penuh jebakan ini?
Manusia Digital
Ruang digital menciptakan iklim kompetitif yang menuntut perancangan diri—face-digital performance—yang seindah, seaneh, atau setegas mungkin, meski sering kali jauh dari kenyataan diri.
Identitas menjadi sesuatu yang cair, tidak tetap, bahkan bisa dipalsukan. Demi like, comment, share, atau sekadar eksistensi, orang rela berkamuflase.
Sebagaimana Budi Hardiman (2021) catat dalam Aku Klik, Maka Aku Ada, dunia maya melahirkan mutable self—diri yang senantiasa berubah, ego relasional tanpa substansi tetap.
Tanpa batas tegas antara ruang privat dan publik, tanpa sekat antara penting dan remeh, siapa pun merasa berhak mengklaim ruang maya untuk mengunggah apa saja: dari postingan remeh, komentar dangkal atas isu besar, hingga perdebatan teologis tanpa dasar.
Manusia modern, tanpa disadari, telah mengalami pergeseran dari homo sapiens menjadi homo digitalis: makhluk yang dikendalikan oleh media, yang hidup dalam algoritma, dan yang keberadaannya diukur dari kehadirannya di jagat maya.
Klik dan Katolik
Dalam atmosfer digital ini, muncullah generasi “klik”—generasi yang mendefinisikan dirinya dengan satu sentuhan tombol. Sekali klik, kita bisa membagikan renungan rohani, membagikan kutipan injil, mengunggah foto misa, atau mengomentari isu Gereja Katolik. Semuanya tampak religius. Semuanya tampak “Katolik”.
Tetapi, apakah sekadar mengklik, mengunggah, atau membagikan sudah cukup untuk disebut Katolik sejati?
Pertanyaan ini menggugat kita. Ada kecenderungan sebagian umat di dunia maya mengidentifikasi diri sebagai Katolik hanya lewat simbol digital: postingan misa, foto diri dalam prosesi keagamaan, caption berbumbu ayat Kitab Suci. Seolah, kekatolikan diukur dari seberapa sering kita menampakkan diri dalam balutan liturgi digital.
Padahal, dunia maya adalah dunia kesementaraan, dunia ilusi, dunia di mana topeng dan kenyataan seringkali bertukar tempat. Kekatolikan bukan sekadar “tampilan digital”, melainkan pengalaman hidup yang berakar pada iman, pengharapan, dan kasih nyata—bukan hanya di layar ponsel, tetapi di jalanan dunia.
Katolik di Ruang Maya
Menjadi Katolik di ruang digital bukan soal seberapa banyak konten religius yang kita unggah. Bukan pula soal mempertegas status keagamaan di profil media sosial. Itu semua mudah dilakukan—semudah klik.
Namun, pertanyaannya: apakah identitas maya itu mencerminkan kehidupan nyata? Apakah kesalehan digital itu berakar pada kasih yang nyata, atau hanya kosmetika rohani untuk konsumsi algoritma?
Ada risiko besar di balik klaim kekatolikan digital: ilusi kesalehan. Kita merasa telah menjalankan misi iman hanya karena rajin membagikan ayat, membela Gereja dalam komentar, atau aktif dalam grup doa daring—tanpa pernah menghayati iman itu dalam kehidupan konkret: dalam kejujuran, dalam pengampunan, dalam belarasa kepada sesama.
Sebaliknya, mungkinkah seseorang yang tak pernah memamerkan kekatolikannya di media sosial, tetapi hidup dalam kasih, dalam pengorbanan, dalam pelayanan sunyi, justru lebih dekat dengan semangat injil yang sejati?
Bijak di Dunia Digital
Maka, hemat saya, ruang digital seharusnya bukan medan untuk mengumbar identitas agama, melainkan ruang untuk menunjukkan kebijaksanaan, kebaikan, dan martabat manusia.
Menjadi Katolik di dunia maya bukan berarti harus memasang status ayat harian setiap pagi. Bukan berarti harus menandai semua postingan dengan salib dan doa. Cukuplah, mungkin, dengan menjadi “manusia baik” di ruang maya:
- Tidak menyebar hoaks.
- Tidak menebar ujaran kebencian.
- Tidak menghakimi orang lain sembarangan.
- Tidak memperalat agama untuk membenarkan kebencian.
- Mengedepankan dialog, pengertian, dan penghargaan terhadap sesama, apa pun latar belakangnya.
Inilah bentuk “evangelisasi sunyi” di dunia digital: menghadirkan Roh Kudus di antara klik dan scroll, bukan dengan mengumbar simbol, tetapi dengan menghidupi kasih.
Taruhan Identitas Kekatolikan
Identitas Katolik di ruang digital bukan soal “seberapa Katolik tampaknya dirimu,” melainkan “seberapa Katolik hidupmu.” Dunia maya boleh saja semu, tetapi panggilan kita tetap nyata: menjadi saksi kebaikan, keadilan, dan belas kasih Kristus.
Taruhan identitas kekatolikan di era ini bukan hanya soal keberanian mengaku “aku Katolik” di profil media sosial. Lebih dalam dari itu, taruhan sesungguhnya adalah: apakah dalam klik-klik kecil itu, kita tetap memelihara suara hati, menjaga martabat sesama, dan tetap setia kepada kebenaran Injil?
Mungkin, seperti kata Paus Fransiskus, kita dipanggil untuk menjadi “penginjil gembira”—bukan penginjil yang marah, bukan penginjil yang menghukum—bahkan di ruang maya.
Maka, marilah kita hadir di dunia digital ini dengan cara yang pantas: tidak demi pamer iman, tidak demi membangun citra kesalehan kosong, tetapi demi memperluas kerajaan kasih di setiap sudut dunia maya.
Dalam dunia yang mudah jatuh pada kebisingan, mungkin suara iman yang sejati justru lahir dari sikap diam yang penuh hormat, dari klik yang bijak, dan dari kasih yang tak perlu diumbar. (*)
Penulis: Arief Tandang, anggota Societas Verbi Divini (SVD). Tinggal di Paroki Ourém, Keuskupan Leiria-Fátima, Portugal.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.
Terima kasih Frater!