Kang Dedi Mulyadi, Apa Salah Anak Gemulai?

Kenapa Bukan Intoleran yang Dikirim ke Barak?

3 81
Susy Haryawan (Foto: Dokumentasi pribadi)

Oleh Susy Haryawan

Katolikana.com—Gagasan-gagasan Gubernur Jawa Barat ‘Kang’ Dedi Mulyadi (KDM) seringkali mengejutkan dan menggebrak. Keren, bagus. Banyak yang menyasar kekeliruan selama ini. Memihak pada rakyat.

Di tengah pejabat publik yang gemar pencitraan dan malas kerja, ia tampil ngebut. Pemutihan pajak kendaraan bermotor? Oke. Pelarangan wisuda SD sampai SMA yang berlebihan? Mantap. Program pembatasan wisata sekolah yang memberatkan orang tua? Relatif masuk akal.

Penghentian kegiatan wisata sekolah yang diklaim sebagai bagian dari pendidikan—namun justru membebani orang tua peserta didik—merupakan kebijakan yang pernah dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah periode lalu, Ganjar Pranowo.

Langkah ini dinilai baik karena menyentuh persoalan nyata: beban ekonomi yang tidak sedikit bagi banyak keluarga.

Demikian pula, pelarangan acara perpisahan sekolah yang dikemas dalam bentuk “wisuda” untuk jenjang pendidikan dasar hingga menengah juga menjadi sorotan. Meski menuai berbagai penolakan, kebijakan ini secara umum cukup positif.

Sekolah dasar hingga menengah masih berada dalam program wajib belajar, sehingga wajar bila perpisahan tidak perlu dirayakan secara berlebihan, apalagi hanya menjadi ajang hura-hura yang justru mengaburkan makna pendidikan itu sendiri.

Tapi tunggu dulu. Ada dua kebijakan terbaru yang terasa… nyeleneh. Pertama, soal anak-anak yang dicap “nakal” lalu dikirim ke barak militer.

Dan yang kedua, bahkan lebih aneh: anak-anak gemulai—dalam benak kita, ini merujuk pada anak-anak yang tampil feminin, lembut, queer atau identitas nonmaskulin lainnya—juga bakal dikirim ke barak tentara?

Apa salah mereka?

Apakah mereka meresahkan masyarakat? Mengganggu ketertiban umum? Melanggar hukum? Tidak. Mereka hanya berbeda. Mereka hanya menjadi diri mereka sendiri. Apa salahnya menjadi gemulai? Apa dampak buruknya bagi masyarakat sampai harus dikirim ke barak militer?

Apakah negara ini begitu takut pada ekspresi tubuh yang tidak sesuai norma maskulinitas mayoritas?

Tulang Lunak Dikirim ke Barak, Tulang Keras Didiamkan

Lucunya, istilah tulang lunak yang belakangan viral justru lebih sering muncul dari fenomena joget-joget di TikTok. Mulai dari ibu-ibu sampai guru di lapangan upacara ikut bergoyang. Tapi anehnya, itu tidak jadi target pembinaan. Yang disasar malah anak-anak dengan ekspresi gender non-mainstream.

Sementara itu, masalah jauh lebih besar dan serius dibiarkan: intoleransi akut di Jawa Barat.

Belum pernah terdengar suara keras dari Kang Dedi tentang maraknya tindakan intoleran di wilayahnya. Demo saat ibadah, intimidasi terhadap minoritas, penolakan rumah ibadah, hingga pelarangan simbol keagamaan di ruang publik. Ini bukan urusan tulang lunak. Ini soal otak keras, hati beku, dan nalar bebal.

Kapan para pelaku persekusi terhadap warga yang beribadah dikirim ke barak militer untuk “dilatih” Pancasila?

Bukan Soal Maskulinitas

Jika tujuannya adalah bela negara, maka ukurannya bukan otot dan suara berat, tapi nilai dan karakter. Termasuk: toleransi, empati, dan penghormatan terhadap konstitusi. Bagaimana mungkin kita bicara “bela negara”, sementara diam saja saat negara dipermalukan oleh aksi intoleran?

Bulan lalu, di Bandung, perayaan Pekan Suci umat Katolik didemo. Apakah itu tidak cukup berbahaya? Apakah itu bukan bentuk pelecehan terhadap hak konstitusional warga negara untuk beribadah?

Jika pemerintah bisa kirim anak-anak gemulai ke batalyon militer karena dinilai “menyimpang”, maka seharusnya mereka yang menyimpang dari semangat Pancasila dan UUD 1945 juga dibina di tempat yang sama.

Bela Negara Bukan Militeristik

Bela negara bukan tentang berseragam dan baris-berbaris. Negara ini tidak sedang perang. Yang dibutuhkan adalah rakyat yang mampu hidup bersama dalam keberagaman, saling menghormati, dan bekerja sama membangun bangsa. Masyarakat yang mengintimidasi orang lain karena berbeda—itu ancaman nyata terhadap keutuhan bangsa.

Dan sejujurnya, trauma akibat stigma “anak bencong” jauh lebih berat dirasakan oleh keluarga. Orang tua malu, anak tertekan, dan Gereja tahu persis betapa banyak luka dalam yang mereka tanggung. Mereka butuh pendampingan, bukan barak militer.

Karakter tidak dibentuk dengan teriakan komandan. Kepribadian tidak bisa diubah dengan push-up dan hormat kanan. Being different is not a disease to cure.

Kang Dedi, Ubah Targetmu

Kang Dedi, Anda bisa hebat jika tetap berpihak pada rakyat. Tapi kebijakan soal anak-anak gemulai ini jelas keliru arah. Anda menyasar yang tidak perlu disasar. Anda keras ke yang lemah, tapi diam ke yang kuat dan brutal. Itu bukan keadilan. Itu ketimpangan moral.

Saatnya ubah fokus. Kirim para penebar kebencian ke kelas Pancasila. Kirim para pelaku intoleransi ke ruang meditasi nasionalisme. Dan biarkan anak-anak gemulai tumbuh jadi warga negara yang utuh—dengan tubuh, hati, dan jati diri yang utuh juga.

Karena bangsa ini tidak rusak oleh anak-anak gemulai. Tapi bisa hancur oleh mereka yang tidak mampu melihat manusia sebagai sesama. (*)

Penulis: Susy Haryawan, bukan siapa-siapa.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

3 Comments
  1. Antonius Yosef Ratmono says

    Setelah membaca dan mencermati setiap tulisan dan gagasan Anda, pada akhirnya saya pun ikut setuju dan mendukung usulan Anda untuk yang baik Kang Dedi Mulyadi, untuk meluruskan kembali program kerjanya yang awalnya sangat positip
    Semoga saja tulisan di atas itu pada akhirnya bisa sampai di meja Kang Dedi Mulyadi dan segera pula ditindaklanjuti supaya program kerjanya tetap stabil nyata benar hasilnya. (ayr)

    1. Susy says

      Sepakat, sayang gagasan2 kerennya malah jadi kurang fokus makin ke sini
      Terima kasih

    2. Susy says

      Terima kasih

Leave A Reply

Your email address will not be published.