Merdeka dari Perbudakan Digital: Seruan Tahun Yobel di Era Teknologi

Mari kita berhenti sejenak dari ketukan layar, dan kembali mendengarkan suara hati.

0 114
Alek Martin Pakpahan

Oleh Alek Martin Pakpahan

Katolikana.com—Di era digital yang serba terkoneksi ini, manusia hidup dalam paradoks kebebasan. Kita merasa merdeka karena bisa mengakses apa pun dalam hitungan detik. Namun di balik itu, tak sedikit yang justru terpenjara—oleh layar, notifikasi, likes, dan algoritma.

Dunia maya, yang dulu dirancang sebagai alat bantu, kini menjelma menjadi ruang dominan yang menyerap perhatian, mempengaruhi eksistensi, dan—tanpa kita sadari—mengatur ulang makna kebahagiaan, hubungan, bahkan iman.

Rene Descartes, sang filsuf rasionalisme, pernah menegaskan, “Cogito ergo sum”—aku berpikir, maka aku ada. Tapi hari ini, adagium itu nyaris terdistorsi menjadi “Aku meng-klik, maka aku ada.” Keberadaan manusia disahkan oleh eksistensinya di media sosial, bukan oleh kualitas pikir atau relasinya yang otentik dengan sesama dan Sang Pencipta.

Rasa syukur pun tak lagi diam di relung batin, tetapi segera ditayangkan ke publik. Doa yang semestinya hening kini dikemas dalam unggahan. Banyak yang lebih dahulu membuka kamera daripada melipat tangan.

Ini bukan sekadar kebiasaan digital, melainkan gejala mendalam dari relasi manusia dengan eksistensinya yang tercerabut dari keheningan spiritual. Inilah perbudakan kontemporer: bukan oleh rantai besi, melainkan oleh sinyal dan jaringan nirkabel.

Seruan Pembebasan

Tahun Yobel, sebagaimana diajarkan dalam Kitab Imamat 25:10, adalah peristiwa pembebasan: budak dimerdekakan, tanah dikembalikan, hutang dihapuskan. Yobel bukan sekadar ritual agraris atau hukum sosial; ia adalah narasi pembaruan spiritual yang mengingatkan manusia bahwa segala sesuatu bersumber dari Tuhan. Di tengah ketimpangan dan keterikatan hari ini, makna Yobel menjadi sangat relevan—termasuk bagi dunia digital.

Paus Fransiskus dalam Spes Non Confundit menegaskan bahwa harapan Kristen tidak pernah mengecewakan karena berakar pada kasih Allah. Maka Yobel bukan sekadar nostalgia spiritual, melainkan momentum untuk melepaskan diri dari belenggu baru—termasuk belenggu digital yang membius dan menjauhkan manusia dari keutuhan diri.

Yobel 2025 yang mengangkat tema “Peziarah Harapan” mengajak kita untuk berziarah bukan hanya ke tempat-tempat suci, tapi juga ke ruang terdalam jiwa—tempat di mana kita harus bertanya ulang: siapakah aku di tengah arus informasi yang tak pernah diam?

Ketika Layar Mengalahkan Tatapan

Gawai yang kita genggam hari ini tak hanya menyita waktu, tapi juga merampas keintiman. Di meja makan, pertemuan tatap muka tergantikan oleh mata yang terpaku ke layar. Di rumah ibadah, keheningan batin disela oleh keinginan memotret momen sakral demi arsip media sosial. Keluarga, komunitas, bahkan relasi spiritual terancam menjadi sekadar figur virtual.

Tak berhenti sampai di sana, kita juga hidup di era di mana data pribadi bukan lagi milik pribadi. Kita jadi produk, bukan subjek. Hidup kita dipetakan, direkomendasikan, bahkan dimanipulasi melalui algoritma yang tahu lebih banyak tentang kita daripada kita sendiri. Ini bukan lagi sekadar soal teknologi, tapi soal martabat manusia yang perlahan dikikis oleh sistem yang dibangun untuk mengejar perhatian, bukan keselamatan.

Yobel Digital: Membebaskan, Memulihkan, Menyadarkan

Apa arti Yobel dalam dunia yang terperangkap layar? Kita memerlukan Yobel Digital—suatu gerakan kesadaran yang membebaskan manusia dari ilusi kontrol digital, dan mengajak kita kembali menguasai alat, bukan dikuasai olehnya.

Beberapa langkah konkrit dapat menjadi ziarah kecil menuju kebebasan sejati:

  • Digital Detox: melatih diri berpuasa dari media sosial atau perangkat digital. Bukan sebagai pelarian, melainkan sebagai bentuk puasa rohani di tengah hiruk-pikuk distraksi.
  • Mengutamakan Relasi Nyata: lebih banyak bercakap langsung, mendengar tanpa interupsi notifikasi, dan memberi waktu sepenuhnya kepada orang yang hadir di depan kita.
  • Kesadaran atas Data Pribadi: mulai berpikir kritis sebelum membagikan informasi, dan memahami bahwa privasi adalah bagian dari martabat manusia yang perlu dijaga.

Ketiga langkah ini bukan sekadar strategi hidup sehat, tetapi bentuk pertobatan zaman digital. Pertobatan yang tidak hanya menyangkut dosa-dosa pribadi, tapi juga dosa kolektif kita sebagai umat manusia yang telah terlalu lama menukar relasi sejati dengan validasi digital.

Menuju Kebebasan Sejati

Tahun Yobel adalah undangan untuk kembali—pulang ke Tuhan, pulang ke sesama, pulang ke diri sendiri yang sejati. Tahun Yobel bukan hanya seruan pembebasan material atau sosial, tetapi juga digital. Karena kini, justru dalam ruang digitallah kita menemukan banyak bentuk penindasan baru: tekanan eksistensial, ilusi kebahagiaan, pencitraan yang menguras jiwa.

Gereja Katolik, dalam sejumlah dokumen-dokumen magisterial telah lama mengajarkan bahwa keselamatan adalah peristiwa relasional—antara Allah dan manusia, bukan antara pengguna dan gawai.

Maka seruan Tahun Suci ini bukanlah romantisme spiritual, melainkan ajakan konkrit: mari menata ulang cara kita hidup, berelasi, dan beriman di era digital ini. Karena menjadi Katolik di zaman ini bukan hanya tentang menjaga doa dan sakramen, tetapi juga tentang menjaga kemerdekaan dari perbudakan bentuk baru yang tak kasatmata, tetapi sangat mencengkeram.

Dalam terang kasih Allah dan semangat Yobel, marilah kita pulang ke rumah jiwa kita. Mari kita berhenti sejenak dari ketukan layar, dan kembali mendengarkan suara hati—suara Tuhan yang tak pernah berhenti memanggil: “Kamu adalah anak-Ku. Pulanglah.” (*)

Penulis: Alek Martin Pakpahan, sedang menekuni dunia tulis-menulis dan menjalani studi di Sekolah Tinggi Pastoral Santo Bonaventura KAM.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.