
Oleh Febriola Sitinjak
Katolikana.com—Dunia kita hari ini tengah berada di tengah pusaran krisis multidimensi: sosial, lingkungan, politik, spiritual.
Ketimpangan ekonomi melebar, intoleransi meningkat, konflik antargolongan makin tajam, sementara bumi—rumah bersama umat manusia—terus menjerit karena eksploitasi.
Kemajuan teknologi ternyata tak selalu seiring dengan kedekatan emosional; yang terjadi justru sebaliknya: keterasingan sosial, polarisasi opini, dan runtuhnya ruang perjumpaan yang tulus.
Di tengah semua ini, suara Gereja Katolik menggema seperti obor kecil di padang gelap: panggilan untuk membangun peradaban kasih.
Dunia yang Terbelah
Meski kita hidup dalam era konektivitas tanpa batas, kesenjangan—baik secara fisik maupun spiritual—semakin terasa. Ketika internet menyatukan jutaan orang dalam satu layar, realitasnya adalah: makin banyak yang merasa sendirian.
Perbedaan pandangan kerap dibaca sebagai permusuhan. Diskusi bergeser menjadi debat tanpa arah. Sikap saling curiga tumbuh, bahkan di dalam lingkup keluarga dan komunitas rohani.
Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti menulis: “Tak ada seorang pun yang bisa bertahan hidup sendirian.” Namun dalam praktiknya, semakin banyak manusia yang menutup pintu bagi sesamanya.
Krisis migrasi, perang saudara, pengasingan kelompok minoritas, dan ujaran kebencian di ruang digital menjadi wajah dari kemanusiaan yang kehilangan cinta. Kita bertanya: masih adakah ruang bagi kasih dalam dunia yang makin sinis dan terpecah?
Ajaran Sosial Gereja
Sejak diterbitkannya Rerum Novarum oleh Paus Leo XIII pada tahun 1891, Gereja Katolik telah menunjukkan kesungguhannya dalam menjawab tantangan sosial melalui lensa iman.
Ajaran Sosial Gereja bukanlah teori atau dogma belaka, melainkan ajakan hidup yang membumi. Di tengah arus kapitalisme, komunisme, dan aneka sistem ideologis lain, Gereja menyuarakan suara kenabian: manusia tidak boleh dikorbankan atas nama sistem.
Lima prinsip utama Ajaran Sosial Gereja menjadi kompas moral di tengah zaman yang gamang:
- Martabat manusia: Setiap manusia—terlepas dari agama, status ekonomi, atau latar belakang—adalah ciptaan Allah yang tak ternilai.
- Kebaikan bersama: Dunia bukan milik segelintir orang. Kesejahteraan haruslah dirasakan oleh semua.
- Solidaritas: Kita dipanggil untuk saling menopang, terutama mereka yang paling lemah dan terlupakan.
- Subsidiaritas: Keputusan harus diambil sedekat mungkin dengan orang yang terdampak, agar tak kehilangan kedekatan dan kepekaan.
- Perhatian terhadap ciptaan: Ekologi bukan tren, tapi panggilan iman untuk menjaga karya tangan Allah.
Kardinal Pietro Parolin menyebut Ajaran Sosial Gereja sebagai “panduan moral” yang membantu umat menavigasi zaman. Sedangkan Paus Yohanes Paulus II menegaskan dalam Centesimus Annus bahwa keadilan sosial bukanlah utopia, melainkan tanggung jawab riil setiap pribadi.

Peradaban Kasih
Dalam Evangelii Gaudium, Paus Fransiskus mengingatkan bahwa cinta sejati bukan sekadar afeksi, tapi keterbukaan aktif kepada yang lain. Gereja bukanlah klub orang suci, melainkan rumah bagi semua yang mencari pengharapan.
Komunitas Sant’Egidio di Italia memberi teladan nyata. Mereka bukan hanya menyuarakan kasih, tapi mewujudkannya: dari menyambut pengungsi, membantu gelandangan, hingga menginisiasi dialog lintas agama demi perdamaian.
Inilah wajah Gereja yang sejati—bukan eksklusif, tapi inkusif. Bukan menara gading, tapi tangan yang siap menjangkau yang terbuang.
Peradaban kasih tidak berhenti pada teori. Ia hidup dalam tindakan: dalam kebijakan yang adil, dalam interaksi sosial yang menghormati martabat, dalam perhatian terhadap lingkungan. Kasih adalah jalan pulang menuju kemanusiaan yang lebih utuh.
Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ mengajak dunia untuk menyadari bahwa masalah ekologi tak bisa dipisahkan dari persoalan sosial. Kehancuran bumi terjadi bersamaan dengan marjinalisasi manusia. Maka, kasih harus menyentuh dua sisi: manusia dan ciptaan.
Budaya Pertemuan
Media sosial bisa menjadi ruang perjumpaan, atau sebaliknya: arena perpecahan. Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti menantang umat untuk menciptakan budaya pertemuan—berani membuka ruang dialog, mendengarkan dengan empati, dan tidak terjebak dalam gelembung algoritma.
Dalam konteks digital, tindakan kecil seperti tidak menyebarkan hoaks, menyapa dengan sopan di kolom komentar, atau memilih diam saat marah bisa menjadi benih-benih damai. Kasih hari ini mungkin berwujud moderasi konten, bukan hanya memberi sedekah.
Dunia yang terluka tidak bisa disembuhkan hanya dengan pernyataan belas kasihan. Ia butuh solidaritas aktif dan dialog tulus. Umat Katolik dipanggil untuk tidak hanya “menjadi baik di gereja,” tapi juga aktif dalam ruang publik: membela keadilan, merawat lingkungan, dan hadir bagi sesama.
Gereja, dalam semangat Gaudium et Spes, menawarkan dirinya sebagai mitra sejati dunia: bukan untuk mendominasi, tapi untuk melayani. Dalam Caritas in Veritate, Paus Benediktus XVI menegaskan: kasih dan kebenaran adalah dua sisi dari uang logam yang sama. Keduanya harus hadir dalam relasi sosial dan kebijakan politik.
Pulang ke Kasih
Santo Fransiskus dari Assisi berkata: “Lakukan yang perlu, lalu yang mungkin, dan engkau akan sampai pada yang mustahil.” Peradaban kasih dimulai bukan dari acara besar, tapi dari tindakan kecil yang dilakukan dengan cinta yang besar.
Santa Teresa dari Kalkuta mengingatkan: “Kita tidak dipanggil untuk melakukan hal-hal besar, tetapi melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.”
Dunia butuh cinta seperti itu—yang hening, tapi menyembuhkan. Yang sederhana, tapi membebaskan. Yang tampak kecil, tapi mengubah arah sejarah.
Di tengah dunia yang terus membelah, marilah kita memilih menjadi jembatan. Kita bisa memulai dari hal-hal sederhana:
- Menjadi pendamai di grup WhatsApp keluarga.
- Tidak membalas komentar sinis dengan amarah.
- Mengunjungi yang sakit, menyapa tetangga, mendengarkan yang sedang kecewa.
- Menjadi ruang aman bagi mereka yang lelah dan terluka.
Peradaban kasih bukan ide besar yang mengawang. Ia bisa dimulai dari rumah, dari cara kita memandang sesama, dari cara kita membela yang kecil, dari sikap kita terhadap alam.
Kita bukan sekadar penumpang dalam sejarah dunia. Kita adalah perwakilan kasih Allah—terang kecil yang bisa membuat dunia yang gelap menemukan kembali jalannya. (*)
Penulis: Febriola Sitinjak, mahasiswa STP St. Bonaventura KAM.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.