
Oleh Susy Haryawan
Katolikana.com – Indonesia sedang berada di persimpangan krusial. Sepanjang akhir Juni hingga awal Juli 2025, publik disuguhi rentetan kabar yang mengusik nurani: pembubaran retret anak-anak Katolik di Sukabumi, penolakan pembangunan rumah ibadah di Depok.
Dunia teknologi dalam segmen ekspedisi memberikan dua kisah yang sama. Pertama, penganiayaan pada kurir yang mengantar pesanan. Konsumen merasa pesanannya tidak sesuai dengan apa yang ia beli. Cukup menarik, operasi sampai memberikan hukuman bahkan sampai satu pulau Madura tidak akan dilayani system pembayaran di tempat atau COD.
Cerita ngeri kedua saat pengantar pesanan minuman dikeroyok dengan alas an keterlambatan 3,5 jam. Pengantar mengatakan keterlambatan sekitar lima (5) menit, dan aplikator mengadakan penelusuran keterlambatan pada angka delapan (8) menit. Nah, lebih rasional pengakuan pengemudi dan layanan yang ada pada angka yang relatif sama. Pengakuan sampai berjam-jam itu sangat tidak masuk akal. Namun bukan ini fokus artikel.
Sekilas, kasus-kasus ini berbeda ranah, namun di dalamnya berdenyut pola yang sama: intoleransi, kekerasan, dan keangkuhan yang kian menebal dalam masyarakat kita.
Intoleransi Beragama
Kasus Sukabumi memaksa kita kembali membuka luka lama. Bagaimana mungkin anak-anak yang sedang retret, berdoa, dan bernyanyi, diusir dengan intimidasi? Bagaimana aparat hanya menonton, dan penyelesaian akhirnya lagi-lagi sekadar “damai” setelah gubernur datang memberikan bantuan Rp 100 juta untuk renovasi vila? Para pelaku yang dijadikan tersangka pun tertawa saat diamankan polisi. Tak ada penyesalan, tak ada rasa bersalah.
Lalu di Depok, penolakan pembangunan rumah ibadah terjadi dengan dalih administratif. Padahal kita tahu, ini hanyalah wajah lain intoleransi yang bersembunyi di balik regulasi. Negara menjamin kebebasan beragama, namun pelaksanaan di lapangan kerap dikandaskan oleh mayoritarianisme. Hukum dijungkirbalikkan oleh tekanan massa.
Mentalitas Barbar
Di luar isu agama, jagat maya pun geger oleh dua kasus kekerasan pada kurir ekspedisi. Pertama, seorang kurir dianiaya karena pesanan tak sesuai ekspektasi pembeli. Kedua, driver ojek online dipukul ramai-ramai hanya karena terlambat lima menit – meski pengakuan korban dan catatan aplikator menunjukkan keterlambatan tak sampai sepuluh menit.
Apa yang terjadi pada bangsa ini? Sedikit-sedikit main hakim sendiri. Sedikit-sedikit pakai kekerasan. Rasanya kesabaran dan empati menjadi barang antik yang tak lagi laku di pasaran nilai hidup kita.
Mengapa Intoleransi Makin Menjadi?
- Pembiaran Sistemik
Setiap konflik berujung sama: damai di meja musyawarah dengan materai Rp10.000, permintaan maaf ala kadarnya, dan pelaku kembali ke rumah dengan dada tegak. Hukum negara tunduk pada tekanan kelompok. Dalam beberapa kasus, proses hukum berjalan, tetapi vonisnya ringan – tak menimbulkan efek jera. Intoleransi pun diwariskan dari generasi ke generasi sebagai warisan “kebolehan”.
- Egoisme dan Mentalitas Superior
Akar semua ini adalah egoisme akut. “Aku yang paling benar. Kelompokku paling suci. Yang lain salah.” Pandangan seperti ini membunuh ruang dialog. Tak ada upaya memahami sudut pandang orang lain. Semua harus tunduk pada kemauan diri dan kelompok.
- Rendahnya Kesabaran dan Empati
Kesabaran seolah habis dikikis zaman. Manusia Indonesia hari ini mudah marah, gampang tersinggung, dan cepat main tangan. Padahal, kata orang bijak, kesabaran adalah separuh dari iman.
- Sikap Kritis yang Salah Arah
Mengkritik adalah keutamaan demokrasi, tetapi banyak orang menuntut dengan cara salah. Fakta dipelintir demi pembenaran tindakan sendiri. Seperti kasus Sukabumi dan Depok, pelaku menampilkan narasi seolah merekalah korban.
- Lemahnya Tanggung Jawab Moral
Setelah melakukan kekerasan atau intoleransi, pelaku menolak bertanggung jawab. Mereka mengelak, menyalahkan pihak lain, atau memosisikan diri sebagai korban. Akibatnya, korban mengalami luka berlapis, tak hanya fisik atau material, tetapi juga psikologis.
- Minimnya Keteladanan Hukum dan Pemimpin
Ketika penegakan hukum gamang dan pemimpin diam, rakyat belajar satu hal: intoleransi dan kekerasan adalah cara yang sah. Inilah bahaya terbesar: rusaknya tatanan nilai bangsa.
- Salah Kaprah dalam Mengartikan Toleransi dan Pengampunan
Sering kali, agama diajarkan sebagai ruang pengampunan tanpa keadilan. Padahal, hukum positif negara tidak mengenal pengampunan tanpa proses hukum yang jelas. Memaafkan adalah ranah pribadi, tetapi hukum harus tetap berjalan demi kebaikan bersama.
Apa yang Bisa Dilakukan?
- Tegakkan Hukum Tanpa Pandang Bulu
Negara harus hadir, menegakkan hukum secara adil dan tegas. Tidak ada kompromi untuk pelaku intoleransi dan kekerasan. Hukum adalah panglima, bukan kekuatan massa.
- Pendidikan Karakter Sejak Dini
Sekolah PAUD, TK, dan SD harus menanamkan karakter: empati, kesabaran, menghargai perbedaan. Tanpa pendidikan karakter, generasi masa depan hanyalah robot intelektual tanpa hati nurani.
- Agama yang Membumi dan Membudaya
Beragama bukan sekadar hafal kitab suci, tetapi menghidupi ajaran kasih, kesabaran, dan penghormatan pada sesama. Ibadah yang tulus akan melahirkan rendah hati, bukan superioritas dan arogansi.
- Menghidupkan Nilai Pancasila dalam Realitas
Pancasila bukan hanya diucapkan saat upacara, tetapi dihayati dalam tindakan sehari-hari. Hanya bangsa yang memahami Pancasila yang bisa hidup damai dalam keberagaman.
- Membangun Kesadaran Kolektif
Intoleransi dan kekerasan bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga moralitas bersama. Kesadaran ini harus ditumbuhkan dalam keluarga, sekolah, rumah ibadah, dan komunitas.
Masih Adakah Harapan?
Tentu. Selama kita mau berhenti menutup mata dan telinga, selama kita mau membuka hati untuk peduli. Indonesia tidak akan runtuh oleh perbedaan agama, ras, atau budaya, tetapi ia akan runtuh jika intoleransi dan kekerasan dibiarkan menjadi budaya.
Mari kembali kepada Pancasila, kepada hati nurani kita, dan kepada ajaran agama yang sejati. Karena hanya bangsa yang beradab dan berbelas kasih yang akan dikenang sejarah sebagai bangsa besar. Dan hanya manusia berhati lapang yang pantas disebut anak-anak Sang Maha Kasih. (*)
Penulis: Susy Haryawan, bukan siapa-siapa

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.