Ironi Minoritas di Negeri Pancasila
Izin Susah, Ada Izin pun Sulit

0 11
Susy Haryawan (Foto: Dokumentasi pribadi)

Oleh Susy Haryawan

Katolikana.com—Lagi dan lagi, kabar intoleransi kembali menyayat hati. Kali ini datang dari Padang, Sumatera Barat. Miris, dalam dua bulan terakhir saja sudah empat kali terjadi aksi intoleran: Depok, Sukabumi, Pemalang, dan kini Padang.

 Di Pemalang, kasusnya sedikit berbeda karena melibatkan pihak dari agama yang sama. Namun, esensinya tetap sama: pemaksaan kehendak.

Di negeri yang mengaku berlandaskan Pancasila, peristiwa semacam ini tak ubahnya tamparan keras. Bukankah kita diajari bahwa Bhineka Tunggal Ika adalah jati diri bangsa?

Izin Jadi Alibi, Legalitas Pun Tak Selalu Menyelamatkan

Dalih yang paling sering dipakai untuk membenarkan tindak intoleran adalah persoalan izin. Rumah ibadat ditutup atau acara ibadah dibubarkan karena dianggap tak berizin. Masalahnya, bahkan ketika izin sudah lengkap pun, tak jarang kegiatan umat minoritas tetap dipersoalkan.

Di sisi lain, berapa banyak rumah ibadah atau kegiatan keagamaan mayoritas yang menggunakan pengeras suara berlebihan, menutup jalan, atau tanpa izin resmi tetap berlangsung aman tanpa gangguan? Mengapa ukuran kritis hanya berlaku ke minoritas, sementara ke mayoritas pura-pura tak melihat?

Ini bukan sekadar soal dokumen, melainkan mentalitas ganda: keluar keras, ke dalam lembek.

Pembiaran dan Lemahnya Penegakan Hukum

Celakanya, para pejabat sering berlindung di balik alasan politik. Popularitas demi pilkada membuat mereka enggan tegas menghadapi kelompok intoleran. Aturan hukum kalah dengan tekanan massa, seakan suara mayoritas otomatis menentukan kebenaran.

Padahal, logika demokrasi tidak sesederhana itu. Kebenaran tidak selalu di pihak yang banyak. Sejarah dunia sudah berulang kali membuktikan, kelompok kecil pun bisa memegang kebenaran moral.

Namun di negeri ini, penegakan hukum atas kasus intoleransi nyaris tak ada gigi. Korban justru kerap kembali menjadi korban, sementara pelaku melenggang tanpa konsekuensi. Dan narasi yang selalu dipakai: “salah paham”.

“Salah Paham” atau Paham yang Salah?

Kata “salah paham” dijadikan selimut untuk menutupi kenyataan pahit. Faktanya, ini bukan salah paham. Ini paham yang salah: menolak keberagaman, memaksakan seragam, dan merasa diri paling benar.

Perbedaan adalah kodrat bangsa ini. Menolak keberagaman sama saja mengkhianati Bhineka Tunggal Ika.

Lebih ironis lagi, intoleransi kerap muncul dari rasa cemas kehilangan pengikut. Padahal iman sejati tidak perlu takut bersaing dalam keberagaman. Kalau benar percaya pada Allah, mengapa harus takut kehilangan umat karena adanya perbedaan?

Negara Absen, Umat Minoritas Jadi Anak Tiri

Di tengah situasi ini, pertanyaan besar muncul: ke mana negara? Menteri Agama, misalnya, seolah menjadi menteri untuk satu agama saja. Hampir tak pernah terdengar kutukan keras terhadap aksi-aksi persekusi umat minoritas.

Negara tampak absen, bahkan aparat sering kali malah menjadi “pengawal” kelompok intoleran. Jika ini dibiarkan, bahaya besar mengintai: potensi konflik horizontal yang daya rusaknya tak terbayangkan.

Korban yang terus-menerus diperlakukan tidak adil, pada akhirnya bisa kehilangan kesabaran. Jangan sampai hukum rimba benar-benar mengambil alih karena hukum negara lumpuh.

Mendengar Keluhan Anak Bangsa

Pemerintah harus membuka mata dan telinga. Jangan biarkan umat minoritas merasa seperti anak tiri, dianggap numpang di tanah sendiri. Negara ini milik seluruh tumpah darah Indonesia, bukan hanya milik kelompok mayoritas.

Jangan tunggu kemarahan massa memuncak baru bergerak. Ketika hukum gagal hadir, ruang demokrasi perlahan digantikan oleh dendam dan anarki.

Inilah ironi terbesar: Negeri Pancasila yang seharusnya jadi rumah bersama, berubah menjadi panggung diskriminasi yang dilegalkan. (*)

Penulis: Susy Haryawan, bukan siapa-siapa.

Leave A Reply

Your email address will not be published.