#TanyaRomo: Jangan Pernah Awali Perkawinan dengan Seks Pra-Nikah

0 7

Katolikana.comPertanyaan: Halo romo, saya isthyn mau bertanya bagaimana solusinya jika perempuan Katolik hamil di luar nikah oleh pasangannya yang beragama Protestan tapi mereka ingin menikah secara Katolik. Apakah boleh?

Pastor Postinus Gulö, OSC:

Saudari Isthyn yang baik, terima kasih atas pertanyaan ini. Jika kita berhadapan dengan kasus seperti ini, maka kita jangan menjadi hakim tanpa belas kasihan.

Orangtua dan orang sekitar dari perempuan ini mesti menciptakan suasana yang tenang, tidak memarahi terus anak mereka yang telah bersalah. Mereka perlu mendukung psikologis anak perempuan mereka yang mungkin “down”, panik dan terluka. Orangtua juga perlu memikirkan bagaimana agar bayi yang sedang dikandung bisa lahir sehat dan ibunya juga selamat dan sehat.

Paparan kami berikut ini, tentu bukanlah tanggapan yang fokus untuk menghakimi. Tanggapan kami sebagai ungkapan kepedulian penuh belas kasih agar anak-anak kita tidak jatuh lagi dalam dosa yang sama. Selain itu, melalui tanggapan kami ini, kami sekaligus menawarkan solusi atas kasus yang sedang mereka hadapi.

Inti permasalahan kasus ini bukan “boleh atau tidak boleh keduanya kawin”. Jika hanya fokus di sini, maka kita hanya bicara sisi yuridis atau dimensi hukum perkawinan. Padahal, dalam kasus ini sangat penting melihatnya dari sisi pastoral dan moral: bagaimana kita membantu mereka memahami permasalahan utama mereka.

Permasalahan utamanya adalah mengapa keduanya melakukan perbuatan dosa seksual di luar perkawinan? Apakah keduanya sudah siap melangsungkan perkawinan? Apa motivasi mereka mau melangsungkan perkawinan: apakah hanya karena sudah hamil? Apakah mereka memahami membangun keluarga?

Dua Kasus

Dari kasus ini, ada dua kasus yang perlu kita bahas: hamil di luar nikah dan perbedaan Gereja. Kasus pertama, hamil di luar nikah. Kitab Suci sendiri mengecam perbuatan cabul atau hubungan seksual di luar perkawinan sah (bdk. Mrk. 7:21-23; Mat 15: 19; Kor 6:9-10; Why 21:8).

Gereja Katolik kemudian menegaskan ulang apa yang sudah disabdakan dalam Kitab Suci. Misalnya, Gereja melalui Katekismus Gereja Katolik (KGK) no. 2353 menegaskan: “Percabulan adalah hubungan badan antara seorang pria dan seorang wanita yang tidak menikah satu dengan yang lain. Ini adalah satu pelanggaran besar terhadap martabat orang-orang ini dan terhadap seksualitas manusia itu sendiri, yang dari kodratnya diarahkan kepada kebaikan suami-isteri serta kepada kelahiran anak dan pendidikan anak-anak. Selain itu ia juga merupakan skandal berat, karena dengan demikian moral anak-anak muda dirusakkan”.

Lalu apa yang mesti dilakukan oleh mereka yang telah jatuh dalam dosa percabulan ini?

Tentu, keduanya dipanggil untuk menyesali perbuatannya dan membangun komitmen untuk kembali pada jalan kebenaran Tuhan.

Khusus pihak Katolik, penyesalan dan pertobatan perlu diwujudkan untuk rendah hati mau mengakui dosa-dosanya dalam Sakramen Tobat di hadapan Tuhan Allah melalui Pastor. Perempuan yang hamil di luar nikah ini juga perlu didukung agar tidak menggugurkan bayinya.

Kedua calon pasangan ini mesti menerima dan mencintai bayi mereka. Umat Katolik perlu sadar bahwa “tindakan aborsi atau menggugurkan kandungan” merupakan tindak pidana berat. Hukumannya sangat berat, yakni: ekskomunikasi secara otomatis (bdk. kanon 1397 §2). Makan, jangan pernah jatuh dalam tindakan aborsi!

Bagaimana jika keduanya mau melangsungkan perkawinan?

Ada beberapa hal yang perlu dipastikan. Apakah mereka sudah siap dan menghendaki untuk melangsungkan perkawinan? Salah satu indikasi untuk memastikan ini adalah pada masa pacaran (tetapi sebelum hamil), mereka sudah memikirkan bahwa mereka akan merencanakan untuk melangsungkan perkawinan. Lalu, perlu juga dipastikan bahwa mereka mau kawin untuk membangun keluarga dan bukan sekadar ingin memenuhi hasrat seksual mereka.

Hal yang paling utama adalah perlu dipastikan apakah mereka akan memberikan kesepakatan perkawinan yang bebas, benar dan sungguh-sungguh (bdk. kanon 1057). Dalam kasus ini, keduanya berada dalam situasi bebas untuk menikah jika mau melangsungkan perkawinan bukan karena ketakutan atau panik atau merasa terpaksa kawin karena sudah hamil di luar nikah.

Keduanya dipastikan memberikan kesepakatan yang benar jika, misalnya, memahami tujuan perkawinan, yakni: kebaikan suami-istri, kelahiran anak dan pendidikan anak (bdk. kanon 1055). Mereka juga sadar dan mau menghidupi bahwa sifat perkawinan Katolik itu adalah monogami dan tidak dapat diceraikan (bdk. kanon 1056; Mat 19: 5-6).

Sementara mereka dinyatakan sungguh-sungguh memberikan kesepakatan nikah jika keduanya (atau salah satu) tidak pura-pura menikah atau tidak meniadakan/menolak tujuan perkawinan atau salah satu di antaranya atau tidak menolak ciri hakiki esensial perkawinan (bdk. kanon 1101).

Seseorang dinyatakan pura-pura menikah jika motivasi untuk menikah hanya agar bayi yang sedang dikandung punya ayah yang sah dalam perkawinan, namun sebenarnya dia menolak untuk kawin. Pura-pura kawin juga jika motivasinya hanya sekadar agar bebas dari “aib hamil di luar nikah”, padahal sebenarnya keduanya atau salah satu menolak untuk kawin.

Meniadakan tujuan perkawinan jika sebelum kawin keduanya atau salah satu dari mereka tidak mau hidup bersama untuk seumur hidup, untuk berikutnya akan memilih childfree (menolak anak) atau menolak pendidikan anak secara Katolik.

Mereka juga meniadakan salah satu atau semua ciri hakiki esensial perkawinan, jika sebelum menikah sudah punya rencana bahwa tidak mau menghidupi perkawinan monogami tetapi poligami dan tidak mau membangun ikatan perkawinan seumur hidup, tetapi malah mau menceraikan setelah beberapa tahun melangsungkan perkawinan.

Bagaimana jika keduanya atau salah satu belum siap melangsungkan perkawinan?

Pelaksanaan perkawinan perlu ditunda sambil memberikan kesempatan kepada keduanya untuk mempersiapkan diri. Jika ini dipilih, maka perlu dipastikan bahwa bayi di dalam kandungan tetap terjaga, tidak akan diaborsi.

Salah satu solusi jika memilih ini adalah keluarga dari perempuan ini menjadi tempat yang kondusif untuk menjaga bayinya hingga dilahirkan. Jika keluarga tidak memungkinkan melakukan ini, bisa mencari tempat lain yang aman dan nyaman bagi perempuan untuk menjaga bayinya hingga melahirkan. Tempat yang aman dan nyaman itu, misalnya, adalah panti asuhan yang dikelola tarekat religius tertentu atau keuskupan atau umat Katolik yang bergerak di bidang penanganan kasus ini.

Kasus kedua, perbedaan Gereja. Dalam hukum Gereja Katolik, “perbedaan Gereja” (antara Katolik dan Protestan) merupakan larangan perkawinan (bdk. kanon 1124). Perkawinan beda Gereja baru pantas dilangsungkan jika mereka memperoleh izin perkawinan beda Gereja dari Bapa Uskup Diosesan atau Romo Vikaris Jenderal atau Romo Vikaris Episkopal teritorial. Pastor paroki akan membantu calon pasangan untuk meminta izin ini.

Namun, izin perkawinan beda Gereja itu baru diberikan jika pihak Katolik (dan tidak dihambat orang non-Katolik) berjanji bahwa: 1) menjauhi bahaya meninggalkan iman Katolik; 2) berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga untuk membaptis anak-anaknya secara Katolik; 3) berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga untuk mendidik anak-anaknya dalam ajaran Katolik.

Hal ini ditegaskan dalam kanon 1125. Umat Katolik dipanggil untuk tidak memilih meninggalkan iman dan Gereja Katolik ketika melangsungkan perkawinan. Iman Katolik, karena perlu untuk keselamatan (bdk. Lumen Gentium art. 14; kanon 849), perlu diwariskan kepada anak-anak.

Umat Katolik perlu menyadari akibat pelanggaran terhadap janji “membaptis dan mendidik anak-anak secara Katolik”. Di dalam kanon 1367, ditegaskan bahwa orang tua Katolik yang menyerahkan anaknya untuk dibaptis atau dididik dalam agama bukan Katolik, hendaknya dihukum dengan hukuman yang adil.

Perkawinan itu agar sah, mesti dirayakan di dalam Gereja Katolik di hadapan pastor dan dua orang saksi (bdk. kanon 1108; kanon 1115; kanon 1118).

Demikian jawaban kami. Semoga adik-adik kita ini memperoleh solusi yang tepat sehingga keduanya berjalan dalam kebenaran Tuhan. Pesan saya kepada semua orang Katolik dan mereka yang berkehendak baik: jangan pernah awali perkawinan dengan seks pra-nikah! Awalinya perkawinan dengan berbagai persiapan yang memadai. Pahami dengan sungguh-sungguh makna sakral seksualitas dan perkawinan.

Roma, 2 September 2025

Pst. Postinus Gulö, OSC

Leave A Reply

Your email address will not be published.