
Katolikana.com – Salah satu pelajaran dari Latihan Rohani ala Santo Ignasius Loyola adalah bahwa godaan roh jahat tidak boleh ditanggapi dengan lembut.
Jika dilawan setengah hati, ia justru akan semakin kuat. Hanya sikap tegas yang bisa memutus daya kuasa si jahat.
Refleksi ini terasa sangat relevan ketika kita berbicara tentang korupsi di Indonesia.
Si Jahat bernama korupsi
Korupsi telah menjadi luka mendalam bangsa. Hukum bisa diperjualbelikan, aturan berubah mengikuti kepentingan elit, dan para pelanggar justru mendapat keistimewaan bila mereka memiliki posisi politik. Suap dan manipulasi opini publik marak. Orang yang kompeten tersingkir, sementara para “maling berdasi” melenggang bebas.
Reformasi pernah berjanji menyingkirkan praktik KKN, tetapi kini wajah yang sama muncul kembali dengan lebih telanjang. Nepotisme, dobel jabatan, bahkan penghargaan untuk mantan terpidana korupsi menjadi pemandangan sehari-hari.
Lebih parah lagi, keburukan sering dikemas dalam balutan agamis sehingga tampak suci. Agama dijadikan jubah, sementara roh sejatinya hilang.
Ketika nurani tumpul
Dalam kacamata Latihan Rohani, korupsi adalah bentuk nyata dari gerak roh jahat. Ia masuk dengan cara halus: godaan kecil yang tampak wajar, seperti memberi kemudahan mengurus izin atau menyenangkan keluarga. Awalnya seolah baik, tetapi sesungguhnya jebakan.
Bila nurani masih hidup, ada kegelisahan. Tetapi ketika hati semakin tumpul, rasionalisasi pun datang: “Semua orang juga melakukan hal yang sama,” atau, “Ini rezeki dari Tuhan, masa ditolak?” Dari situ, pintu terbuka untuk dosa yang lebih besar.
Begitulah cara roh jahat bekerja: tidak frontal, tetapi perlahan. Begitu sadar, semuanya sudah terlambat.
Agama versus spiritualitas
Persoalan kita bukan kurang beragama. Ritual dijalankan dengan tertib: ibadah tepat waktu, doa tidak pernah absen, bahkan kemurahan hati ditunjukkan dengan berbagai donasi. Namun semua itu sering hanya berhenti pada kulit luar.
Agama tanpa spiritualitas melahirkan paradoks: orang yang saleh dalam ritus, tetapi lalai dalam kasih. Ia tampak suci, tetapi justru melaju kencang dalam praktik korupsi.
Spiritualitas yang sejati justru membawa pada kesadaran: hidup tidak boleh merugikan sesama, tidak merusak alam, dan harus mengasihi Allah serta manusia. Spiritualitas mengubah hati, bukan hanya perilaku luar.
Melawan dengan tegas
Korupsi hanya bisa diberantas bila kita berani melawannya secara tegas, bukan setengah hati. Bahasa Injil sederhana: “Enyahlah, iblis!” (Mat 4:10).
Penanganan korupsi yang lembut—dengan alasan kasihan keluarga pelaku atau jangan terlalu kejam—hanya membuat para koruptor cengengesan.
Ketegasan bukan berarti kejam, melainkan kesetiaan untuk menegakkan kebenaran. Justru kelembutan semu itulah yang membuat roh jahat semakin subur, bersembunyi di balik pembenaran sosial maupun religius.
Menemukan kekuatan dari gerak roh
Latihan Rohani mengajarkan pentingnya membedakan gerak roh: mana yang dari Allah, mana yang dari si jahat. Tanpa kemampuan ini, bangsa mudah terjebak, apalagi ketika godaan tampil dengan wajah yang seolah baik.
Kita perlu spiritualitas yang lebih dalam, bukan sekadar ritual. Kita perlu keberanian untuk mengatakan “tidak” sejak awal, bahkan pada godaan yang tampak kecil. Sebab dari yang kecil itulah jurang besar dimulai.
Bangsa ini tidak hanya butuh reformasi sistem, tetapi juga reformasi hati. Korupsi tidak akan selesai hanya dengan aturan, melainkan dengan keberanian melawan gerak roh jahat dalam diri, keluarga, dan institusi.
Jika roh jahat datang halus, maka jawabannya bukan kompromi, melainkan ketegasan. Jika bangsa ini ingin keluar dari lingkaran korupsi, jalan itu dimulai dari latihan rohani yang membuat kita peka, tegas, dan berani berkata lantang: “Enyahlah, iblis!” (*)
Penulis: Susy Haryawan, bukan siapa-siapa.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.