
Oleh Albertus Muda, S.Ag
Katolikana.com—Pernikahan masa kini tidak lagi sekadar ikrar cinta di hadapan imam, penghulu, atau pendeta. Generasi milenial menekankan bahwa pernikahan harus menjadi ruang aktualisasi diri, bukan hanya pelampiasan cinta atau kebutuhan hidup bersama.
Kenyataannya, cinta tidak selalu identik dengan kebahagiaan. Ia bisa berubah menjadi eksploitatif, egoistis, bahkan melukai. Karena itu, pasangan muda maupun yang sedang dimabuk asmara perlu menyadari bahwa cinta menuntut kedewasaan, pengorbanan, serta arah yang jelas.
Memahami Cinta
Yustinus Sumantri (2010) membedakan empat jenis cinta. Stergo (kasih keluarga), Eros (daya tarik jasmani), Phileo (kasih persahabatan), dan Agape (cinta tanpa syarat dari Allah).
Seringkali eros dicap egois, sementara agape dianggap luhur. Namun, Paus Benediktus XVI mengingatkan bahwa eros sejatinya adalah kerinduan manusia akan Allah dan tak terpisah dari agape.
Ia mengutip ungkapan klasik, “Omnia vincit amor, et nos cedamus amori” cinta mengalahkan segalanya, mari berserah pada cinta. Dengan demikian, eros dan agape saling melengkapi dalam cinta sejati.
Pernikahan sebagai Aktualisasi Diri
Dulu, pernikahan erat dengan tradisi, agama, dan ekonomi. Seorang lelaki menikah, misalnya, untuk menjamin produksi pangan atau melanjutkan garis keturunan.
Kini, pernikahan dituntut sebagai sarana pertumbuhan pribadi. Sayangnya, tingginya perceraian dan rendahnya kepuasan perkawinan menunjukkan rapuhnya fondasi ini. Tidak jarang pula pasangan dinikahkan karena kehamilan di luar nikah, meski batin belum siap menyatu.
Psikolog hubungan, Pingkan CB Rumondor (Kompas, 28/10/2017), menekankan bahwa pernikahan semestinya menjadi ruang berkembangnya moralitas, kreativitas, dan spiritualitas. Pasangan ideal bukan hanya rekan intim, tetapi juga mitra yang menolong satu sama lain menjadi lebih baik.
Namun ekspektasi yang terlalu tinggi sering berbalik menjadi tekanan. Ketika harapan tidak terpenuhi, kekecewaan muncul, lalu egoisme memperkeruh relasi.
Abraham Maslow menempatkan aktualisasi diri sebagai kebutuhan tertinggi yang baru tercapai jika kebutuhan dasar pangan, kesehatan, dukungan sosial sudah terpenuhi. Karena itu, pernikahan yang matang menuntut keterbukaan, pengorbanan, dan kesediaan mengikis ego demi kebahagiaan pasangan.
Ungkapan cinta tidak selalu besar; hal-hal sederhana dapat mempererat ikatan: tersenyum bersama, memberi kejutan kecil, bertanya tentang perasaan pasangan, bernyanyi bersama, atau membisikkan “I love you” setiap pagi dan malam.
Investasi Waktu dan Rahmat
Pernikahan bukan hanya ikatan cinta, melainkan juga investasi diri. Pasangan dituntut meluangkan waktu dan tenaga untuk saling mendengarkan, berdiskusi, dan mendukung pertumbuhan masing-masing.
Olga Khazan dalam artikelnya “We Expect Too Much from Our Romantic Partners” (Kompas, 28/10/2017) menegaskan, pernikahan yang memuaskan lahir dari komitmen untuk saling memahami, bukan dari tuntutan berlebihan. Seperti manusia, pernikahan pun memiliki fase balita, madya, dan lansia yang menuntut kebijaksanaan agar tetap lestari.
Dalam iman Katolik, perkawinan adalah sakramen: tanda hadirnya rahmat Allah yang menguatkan pasangan. Persiapan yang matang sangat penting agar rahmat ini sungguh menghasilkan buah. Tanpa kesiapan batin, sakramen bisa kehilangan maknanya.
Pada akhirnya, cinta, waktu, dan tenaga yang diinvestasikan dalam pernikahan adalah jalan menuju kedamaian mulai dari keluarga hingga dunia yang lebih luas. Sebuah kutipan indah mengingatkan kita.
“Bila ada kebaikan di dalam hati, akan ada keindahan di dalam watak. Bila ada keindahan di dalam watak, akan ada keharmonisan di dalam keluarga. Bila ada keharmonisan di dalam keluarga, akan ada ketenteraman di dalam setiap negara. Jika ada ketenteraman di dalam setiap negara, akan ada kedamaian di muka bumi.” (*)
Penulis: Albertus Muda, S.Ag, Guru ASN pada SMAS Keberbakatan Olahraga San Bernardino Lembata-NTT

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.