#TanyaRomo: Syarat Menerima Komuni Kudus Bagi Perempuan yang Pernah Hami di Luar Nikah

0 10

Katolikana.com–Hallo, saya Ana. Mau bertanya, kalau hamil di luar nikah, tapi memutuskan untuk tidak mau menikah, apakah suatu saat bisa menerima komuni kudus? Atau tidak akan bisa menerima komuni kudus seumur hidup? Tolong pencerahannya🙏 Dari dari Ana.

Pastor Postinus Gulö, OSC:

Salah satu jawaban dari pertanyaan Anda ini bisa ditemukan dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) Kanon 916. Di dalam kanon tersebut ditegaskan bahwa orang yang sadar berdosa berat tanpa terlebih dahulu menerima Sakramen Tobat, jangan merayakan Misa atau jangan menerima Tubuh Tuhan.

Namun, jika ada alasan berat sehingga tidak ada kesempatan mengaku dosa dalam Sakramen Tobat, ia tetap diperbolehkan menerima Tubuh Tuhan hanya saja segera setelahnya ia wajib membuat tobat sempurna dengan meminta pelayanan Sakramen Tobat dari pastor atau uskup.

Di sini ada dua minimal hal yang sangat penting. Pertama, “sadar berdosa berat”. Pertanyaannya: apa saja dosa berat? Dosa berat dapat kita pahami dalam Katekismus Gereja Katolik no. 1857-1859.

Ada tiga syarat suatu dosa dikategorikan “dosa berat”, yakni:

  1. Materia dosa itu berat. Dalam arti, dosa itu sungguh melanggar perintah Allah secara serius. Misalnya, membunuh, berzinah, bersaksi dusta, mencuri dalam jumlah besar, dll.
  2. Pengetahuan penuh. Pelaku dosa tahu bahwa perbuatan dosa itu salah dan merupakan dosa berat. Kendati ia tahu, ia tetap melakukan dosa itu!
  3. Kemauan penuh. Pelaku melakukan dosa dengan kemauannya yang penuh atau dengan kehendak bebasnya dan tanpa paksaan. 

Dalam beberapa kasus, mereka yang melakukan hubungan seksual pra-nikah ternyata ada yang melakukan pembunuhan janin dengan pengetahuan dan kemauan penuh melalui tindakan aborsi. Kita tentu perlu sadar bahwa aborsi merupakan dosa yang sangat berat dan sekaligus tindak pidana yang sangat besar.

Hukuman terhadap pelaku aborsi sangat berat, yakni: hukuman ekskomunikasi otomatis (latae sententiae). Hal itu dikatakan dalam KHK Kanon 1397 §2: “yang melakukan aborsi dan berhasil, terkena ekskomunikasi latae sententiae”. Umat Katolik yang terkena hukuman ekskomunikasi seperti ini dilarang menerima Komuni Suci (bdk. kanon 915).

Agar dapat menerima kembali Komuni Kudus, pelaku aborsi mesti melakukan tobat sempurna, kemudian mengaku dosa di hadapan Tuhan dalam Sakramen Tobat melalui pastor atau uskup (bdk. Surat Apostolik Paus Fransiskus Misericordia et Misera, no. 12).

Kedua, memohon belas kasihan Tuhan dalam Sakramen Tobat. Gereja Katolik meyakini bahwa “Komuni Kudus” benar-benar Tubuh Kristus. Oleh karena itu, kita yang menerima Komuni Kudus perlu berada dalam keadan rahmat. Dalam arti, tidak sedang berada dalam dosa berat.

Agar mereka yang berdosa berat dapat menerima Komuni Kudus, terlebih dahulu mereka bertobat dari perbuatan dosa berat mereka. Mereka perlu dengan rendah hati mengakui segala dosa di hadapan Allah melalui pastor atau uskup dalam Sakramen Tobat.

Sebenarnya, persyaratan seperti ini bisa kita temukan dalam Kitab Suci. Salah satunya dalam ajaran Rasul Paulus: “Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu. Karena barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya” (1 Kor 11: 28-29).

Dari paparan di atas sangat jelas bahwa seorang Katolik bisa menerima Komuni Kudus jika tidak sedang dalam keadaan dosa berat. Dan, jika telah melakukan dosa berat, tetapi kemudian melakukan pengakuan dosa dalam Sakramen Tobat, maka seorang Katolik tetap bisa menerima Komuni Kudus.

Seorang Katolik bisa menerima Komuni Kudus jika tidak sedang dalam keadaan dosa berat.

Keputusan Tidak Menikah

Dalam kisah Anda ini, wanita Katolik itu hamil di luar perkawinan yang sah. Namun, ia memilih untuk tidak menikah. Sebenarnya, ada yang perlu diklarifikasi: apakah wanita itu hamil dengan seorang pria yang merupakan pacarnya? Atau, ia dihamili oleh orang yang sama sekali tidak ia kenal atau tidak ia cintai; atau, ia hamil karena dipaksa? Hal lain yang perlu diklarifikasi adalah apakah wanita itu tidak “kumpul kebo” atau tidak satu rumah dengan seorang pria?

Jika wanita itu dihamili oleh pacarnya, tentu muncul pertanyaan selanjutnya: apakah wanita itu tahu bahwa perbuatannya merupakan dosa? Dan, apakah ia dengan sengaja melakukannya? Ingatlah, dosa yang dilakukan dengan kemauan dan pengetahuan penuh dapat dikategorikan sebagai dosa berat (bdk. KGK no. 1859).

Jika wanita dihamili oleh orang yang tidak ia kenal atau dengan seseorang yang memaksanya, tentu, wanita itu mengalami ketidak-adilan dan perbuatan pelecehan seksual. Jika ini yang terjadi, maka wanita ini tidak berdosa atas kehamilan di luar nikah itu (bdk. KGK no. 1860). Ia mestinya didampingi, diberi bantuan agar memiliki kekuatan menghadapi trauma dan luka batin.

Sementara umat Katolik yang melakukan “kumpul kebo” atau hidup dalam perkawinan yang tidak sah, membuat diri mereka sendiri terhalang menerima Komuni Kudus.

Dari paparan di atas, wanita yang hamil di luar nikah itu, bisa menerima Komuni Kudus jika: a) tidak “kumpul kebo” dengan pria lain; b) melakukan pengakuan dosa dalam Sakramen Tobat.

Pasangan yang hanya “kumpul kebo” baru bisa menerima Komuni Kudus setelah ia melakukan, minimal dua hal: pertama, membereskan perkawinannya sehingga sah menurut aturan Gereja Katolik; kedua, mengaku dosa kepada Tuhan dalam Sakramen Tobat melalui pastor atau uskup.

Jangan “Menormalkan” Seks Pra-Nikah

Ada fenomena yang sangat memprihatinkan kita: seks pra-nikah. Bahkan, tidak sedikit yang akhirnya hamil di luar nikah. Padahal, Kitab Suci sangat mengecam perbuatan cabul atau hubungan seksual di luar perkawinan sah (bdk. Mrk. 7:21-23; Mat 15: 19; Kor 6:9-10; Why 21:8).

Gereja Katolik kemudian menegaskan ulang apa yang sudah disabdakan dalam Kitab Suci. Misalnya, Gereja melalui Katekismus Gereja Katolik (KGK) no. 2353 menegaskan: “Percabulan adalah hubungan badan antara seorang pria dan seorang wanita yang tidak menikah satu dengan yang lain. Ini adalah satu pelanggaran besar terhadap martabat orang-orang ini dan terhadap seksualitas manusia itu sendiri, yang dari kodratnya diarahkan kepada kebaikan suami-isteri serta kepada kelahiran anak dan pendidikan anak-anak. Selain itu ia juga merupakan skandal berat, karena dengan demikian moral anak-anak muda dirusakkan”.

Sebagai umat Katolik, kita perlu berjuang tidak jatuh dalam dosa seksual, tidak jatuh dalam perbuatan seks pra-nikah dan tidak menormalkan perbuatan tak terpuji itu. Berjuanglah mengontrol dan menyangkal berbagai naluri seksual yang menuntun Anda pada relasi yang tidak sehat dan mendatangkan dosa serta tindak pidana. Tuhan memberkati. (*)

Roma, 3 Oktober 2025

Leave A Reply

Your email address will not be published.