
Oleh T.H. Hari Sucahyo
Katolikana.com—Setiap umat beriman pasti pernah tergelitik oleh pertanyaan besar mengenai “tahun-tahun yang hilang” dalam hidup Yesus. Apa yang dialami-Nya antara usia dua belas tahun, saat Ia ditemukan di Bait Allah, hingga usia tiga puluh tahun, saat Ia dibaptis di Sungai Yordan?
Jeda panjang yang sengaja dibiarkan sunyi oleh Injil ini seringkali memancing fantasi. Namun, bagi Gereja, keheningan Kitab Suci ini justru merupakan pernyataan teologis yang paling mendalam: bahwa Putra Allah sungguh-sungguh menghormati proses inkarnasi dan pertumbuhan manusiawi secara total.
Nazaret, kota yang dianggap remeh oleh Natanael, bukanlah celah kosong dalam sejarah keselamatan. Sebaliknya, ia adalah Sekolah Inkarnasi, tempat kemanusiaan Yesus ditempa dan dipersiapkan secara otentik sebelum Ia tampil mewartakan Kerajaan Allah.
Delapan Belas Tahun dalam Sebuah Frasa
Kisah terakhir Yesus di masa muda diakhiri dengan pernyataan Lukas yang tampak sederhana namun menyimpan seluruh sejarah kedewasaan-Nya: bahwa Yesus “bertambah besar hikmat-Nya dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.”
Delapan belas tahun proses inkarnasi terkandung dalam frasa ini. Ini bukanlah kisah tentang sosok yang tiba-tiba muncul dari surga dalam kemuliaan, melainkan seorang anak yang bertumbuh secara wajar, penuh dengan pembelajaran, pergumulan, dan relasi sehari-hari di tengah komunitas Yahudi abad pertama.
Inkarnasi berarti Putra Allah rela masuk ke dalam sejarah, lengkap dengan batasan sosial, budaya, dan ritme kehidupan manusia. Keilahian-Nya tidak meniadakan proses kemanusiaan-Nya. Ia belajar berbicara, berpikir, bekerja, dan berdoa, sama seperti anak-anak di Nazaret lainnya.
Kurikulum Nazaret: Tradisi dan Keringat
Sebagai seorang Yahudi, pembentukan Yesus muda sangat dipengaruhi oleh tradisi religius. Kita dapat membayangkan Ia menginternalisasi Shema Israel—doa inti iman Yahudi—yang diucapkan setiap pagi dan malam.
Ia menghafalkan Taurat di sinagoga Nazaret, yang kelak menjelaskan mengapa Ia begitu fasih dan otoritatif saat menafsirkan Kitab Suci. Kesetiaan-Nya terhadap Sabat, Paskah, dan kalender liturgis Yahudi membentuk ritme spiritual yang tak terpisahkan dari pewartaan-Nya.
Selain dimensi religius, ada dimensi sosial-ekonomi. Yesus tumbuh sebagai putra Yusuf, seorang Teknon (tukang kayu atau pekerja terampil). Ini berarti Yesus bukanlah seorang aristokrat atau imam Bait Suci; Ia adalah bagian dari kelas pekerja. Ia belajar keterampilan kerja tangan, merasakan keringat, lelah, dan pergumulan kaum kecil yang hidup sederhana.
Secara teologis, ini krusial: Sang Sabda memilih untuk tidak lahir dan hidup di istana, melainkan di rumah tangga sederhana dan menjalani kerja manual sehari-hari. Dari pengalaman Teknon inilah kita dapat memahami mengapa kelak Ia begitu dekat dengan orang miskin, buruh, dan mereka yang terpinggirkan. Kemanusiaan-Nya terbentuk dalam solidaritas dengan kaum kecil.
Teologi Keheningan dan Pengosongan Diri
Mengapa Kitab Suci harus diam mengenai tahun-tahun ini? Teologi Gereja melihatnya sebagai bagian dari spiritualitas Kenosis (pengosongan diri). Putra Allah, meski memiliki kuasa tak terbatas, rela hidup tersembunyi, tidak menonjolkan diri, dan menjalani proses manusiawi yang panjang dengan kerendahan hati.
Keheningan Nazaret mengajarkan bahwa keselamatan tidak hanya terwujud melalui peristiwa spektakuler, tetapi juga melalui kesetiaan kepada hal-hal kecil, pekerjaan yang biasa, dan doa yang tekun. Allah menghormati ritme pertumbuhan manusia; Ia tidak melompat, tetapi menempuh setiap tahap kehidupan.
Tahun-tahun tersembunyi Yesus menjadi saksi bahwa hidup sederhana dan tersembunyi pun bisa menjadi medan kekudusan.
Ketika Natanael bertanya dengan sinis, “Dapatkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?”, pertanyaan itu justru menyingkapkan cara Allah bekerja: menampakkan kuasa-Nya melalui hal-hal yang hina dan sederhana di mata dunia.
Nazaret dan Keluarga Kudus: Ikon Kehidupan Kita
Nazaret juga menggarisbawahi nilai sakral dari keluarga. Yusuf dan Maria, meski disebut secara singkat, adalah tiang vital. Yusuf mengajarkan Yesus nilai kerja keras, ketaatan hukum, dan kesalehan. Maria, dengan imannya yang mendalam, membentuk hati Yesus dalam kasih, doa, dan ketaatan total kepada kehendak Bapa.
Kehidupan keluarga Nazaret adalah ikon keluarga ideal, di mana iman, kerja, dan kasih berpadu. Dari sana, Yesus belajar mencintai, mendengarkan, dan mengasihi, sebelum kelak mengajarkan hukum kasih yang menjadi inti Injil.
Tahun-tahun tersembunyi itu bukanlah kekosongan. Ia adalah ladang rahmat yang membentuk kemanusiaan Yesus secara utuh, sehingga pewartaan-Nya tentang Kerajaan Allah bukanlah teori kosong, melainkan buah dari hidup yang sungguh dijalani, keringat yang sungguh dialami, dan ketaatan yang sungguh dihayati.
Refleksi ini mengajak kita untuk menghargai keheningan dan keseharian hidup kita sendiri. Seperti Yesus yang bertumbuh dalam tahun-tahun tersembunyi, kita pun dipanggil untuk melihat bahwa Allah hadir dalam hal-hal kecil: dalam rutinitas keluarga, kesungguhan pekerjaan, dan keheningan doa kita. Justru dalam kesetiaan kepada keseharian itulah, rahmat Allah bekerja, menenun keselamatan dalam hidup kita yang biasa. (*)
Penulis: T.H. Hari Sucahyo, Umat Gereja Santo Athanasius Agung, Paroki Karangpanas Semarang

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.