
Oleh Febry Silaban
Katolikana.com—Di sebuah pasar kota kecil di Jerman pada tahun 1517, orang-orang berkerumun mengelilingi Pastor JohanN Tetzel, O.P, seorang imam dari Ordo Dominikan berjubah hitam dengan suara lantang, wajah berapi-api, dan tangan yang menenteng peti kayu bertuliskan lambang kepausan.
Di tangannya, ia menggenggam selembar kertas bertanda salib dan meterai Roma. “Siapa yang membeli surat ini,” katanya dengan tegas, “akan membebaskan jiwa ayah, ibu, atau kerabatmu dari Api Penyucian!”
Orang-orang menatap dengan harap. Seorang ibu tua merogoh saku bajunya, mengeluarkan beberapa keping logam terakhir miliknya. Suara cling terdengar ketika koin itu jatuh ke dalam peti.
Dalam bahasa Jerman dikatakan “Sobald der Pfennig im Kasten klingt, die Seele aus dem Fegefeuer springt,” sementara versi Latinnya bahkan lebih gamblang: “Simul ac iactus nummus in cistam tinnierit, evolare animam credas ex Purgatorio.” Artinya adalah “Begitu koin jatuh di peti, jiwa meloncat keluar dari Api Penyucian.”
Kalimat itu kemudian bergema di seluruh Jerman, bahkan menjadi salah satu kalimat paling bersejarah (dan disesalkan) dalam sejarah Gereja Katolik.
Doktrin Yang Disalahartikan
Dalam semangat Hari Peringatan Arwah Semua Umat Beriman yang kita rayakan hari ini, setiap 2 November, penting untuk memahami apa sebenarnya indulgensi menurut ajaran Gereja Katolik.
Indulgensi bukanlah “tiket masuk surga” dan bukan pengampunan dosa. Dosa-dosa yang telah diampuni melalui Sakramen Rekonsiliasi masih meninggalkan “hukuman sementara”. Analoginya, seorang anak yang memecahkan jendela tetangga mungkin sudah diampuni (dosa diampuni), tetapi ia masih harus bekerja untuk membayar ganti rugi (hukuman sementara).
Indulgensi adalah penghapusan hukuman sementara ini oleh kebajikan tak terhingga dari Kristus (dan para kudus) melalui kuasa Gereja. Syaratnya: pertobatan sejati, pengakuan dosa, berpartisipasi dalam perayaan Ekaristi, dan doa untuk intensi Paus.
Namun dalam praktik Pastor Tetzel, nuansa teologis yang dalam ini direduksi menjadi transaksi finansial.
Johann Tetzel, O.P., Pengkhotbah dengan Suara Keras, dan Luka yang Dalam
Pastor Johann Tetzel, seorang imam dari ordo pengkotbah (Dominikan) asal Jerman, memang bukan teolog brilian. Ia lebih merupakan fundraiser yang efektif.
Tetzel ditugaskan oleh Uskup Agung Mainz, Mgr. Albrecht von Brandenburg, dan atas persetujuan Paus Leo X, untuk mengkotbahkan dan menjual indulgensi guna mengumpulkan dana bagi pembangunan kembali Basilika Santo Petrus di Roma.
Sebagian dari uang yang terkumpul juga digunakan untuk melunasi utang pribadi Uskup Agung Albrecht yang membayar biaya jabatan uskup ganda.
Pastor Tetzel dikenal dengan metode berkotbah dengan efektif dan dramatis, yang memanfaatkan rasa takut dan bersalah audiensnya mengenai penderitaan orang-orang yang telah meninggal.
Tetzel menjalankan tugasnya dengan penuh semangat. Namun dalam semangat itu, retorikanya melampaui batas. Ia menyederhanakan teologi indulgensi, penghapusan hukuman sementara atas dosa yang telah diampuni, menjadi transaksi yang tampak magis: cukup bayar, dan rahmat pun turun.
Ketika slogan “begitu koin jatuh di peti…” mulai dikenal, banyak orang awam yang menelan mentah-mentah pesan itu. Mereka percaya uang bisa “membeli keselamatan.” Di sinilah letak masalah yang kemudian meledak menjadi badai Reformasi.
Martin Luther: Suara Protes dari Dalam
Di sisi lain kota Wittenberg, seorang imam muda dari Ordo Santo Agustinus, bernama Martin Luther, mendengar kabar tentang pengkhotbah itu. Hatinya terbakar. Ia bukan orang luar Gereja; ia seorang imam, dosen Kitab Suci, dan teolog yang mencintai Gereja.
Luther tahu bahwa indulgensi bukanlah ajaran sesat, itu bagian dari kekayaan rohani Gereja. Tetapi ia melihat bagaimana praktiknya telah menyimpang dari makna sejati pertobatan dan belas kasih Allah.
Maka, pada 31 Oktober 1517, Luther menulis 95 Tesis, sebuah seruan akademis untuk berdiskusi, dan menempelkannya di pintu Gereja Kastil Wittenberg. Dalam salah satu tesisnya ia menulis: “Mereka mengajarkan doktrin manusia belaka yang berkata: begitu uang berbunyi di peti, jiwa terbang keluar dari api penyucian” (Tesis ke-27).
Apa yang dimulai sebagai diskusi teologis berubah menjadi ledakan sejarah. Dalam waktu singkat, Jerman terbakar oleh semangat protes terhadap Gereja, dan pintu Reformasi terbuka lebar.
Kardinal Cajetan: Dominikan yang Menegur Sesamanya
Gereja tidak diam. Ketika berita protes Luther sampai ke Roma, Paus Leo X memerintahkan seorang teolog besar Dominikan, Kardinal Thomas de Vio Cajetan, O.P., untuk berbicara dengan Pastor Luther di Augsburg pada tahun 1518. Kardinal Cajetan juga seorang komentator terkenal atas Summa Theologiae Santo Thomas Aquinas.
Cajetan bukan musuh akal sehat. Ia cerdas, halus, dan mencintai Gereja. Ia menolak teologi Luther yang mengingkari otoritas Paus dan menafsirkan Kitab Suci secara pribadi, tetapi ia juga tidak membela Tetzel. Sebaliknya, Cajetan menegaskan bahwa cara Tetzel mengkhotbahkan indulgensi adalah kesalahan berat dan telah mencemarkan wajah Gereja.
Dalam catatannya, Cajetan menulis dengan getir: “Beberapa pengkhotbah, dengan cara yang tidak bijak, menjual rahmat seolah itu dagangan. Mereka tidak hanya merugikan Gereja, tetapi juga menggoyahkan iman umat.”
Kata-kata ini datang dari seorang Dominikan kepada sesama Dominikan, sebuah teguran internal yang menandai bahwa Gereja sendiri menyadari adanya penyimpangan.
Paus Leo X dan Bulla Exsurge Domine
Namun, gelombang protes Luther tak berhenti di situ. Tulisannya berkembang dari isu indulgensi menjadi kritik terhadap Paus, sakramen, dan otoritas Gereja.
Menghadapi krisis yang semakin meluas, pada tahun 1520, Paus Leo X mengeluarkan bulla terkenal berjudul Exsurge Domine (“Bangkitlah, ya Tuhan!”), yang mengutuk 41 proposisi Luther yang dinyatakan “sesat, skandal, atau bertentangan dengan kebenaran Katolik.”
Beberapa proposisi terkait indulgensi yang dikutuk antara lain:
- Proposisi 17: “Perbendaharaan Gereja tidaklah cukup sebagai dasar untuk memberikan indulgensi.”
- Proposisi 21: “Pengkhotbah indulgensi adalah sesat ketika mereka mengatakan bahwa melalui indulgensi seseorang dibebaskan dari segala hukuman dan diselamatkan.”
Bulla ini bukan sekadar kutukan buta. Ini adalah upaya Gereja untuk melindungi umat dari penyimpangan doktrin, baik dari Luther yang menolak otoritas Gereja maupun dari para pengkhotbah seperti Tetzel yang melebihi wewenangnya. Bulla itu menuntut Luther untuk menarik ajarannya dalam waktu 60 hari.
Sayangnya, Luther menolak menarik kembali pandangannya dan malah membakar bulla tersebut di depan publik. Ekskomunikasi pun tak terelakkan. Sejarah mencatat momen itu sebagai perpisahan final antara Luther dan Roma.
Koreksi Total: Konsili Trente (1545-1563)
Gereja tidak menanggapi krisis ini dengan kemarahan buta dengan mengutuk. Ia terluka, tetapi kemudian membenahi dirinya dari dalam. Dua dekade kemudian, Gereja Katolik mengadakan Konsili Trente (1545–1563), yang menjadi tonggak kontra-Reformasi. Dalam Sesi XXV (1563), Konsili dengan tegas mereformasi praktik indulgensi:
- Melarang segala bentuk keserakahan dalam pemberian indulgensi.
- Menghapus semua penyalahgunaan yang menjadi andalan para pengumpul dana.
- Mengutuk setiap transaksi jual-beli yang terkait dengan indulgensi.
- Menegaskan bahwa indulgensi tidak mengampuni dosa, melainkan hanya menghapus hukuman sementara.
Gereja juga membenahi pendidikan imam, membentuk seminari, dan memperbarui liturgi serta Kitab Suci agar lebih dapat dimengerti umat. Reformasi ini menjadi bukti bahwa Gereja mampu membersihkan dirinya dari dalam. Pada 1567, Paus Pius V secara resmi menghapus penjualan indulgensi. Dari luka yang dalam, lahirlah pembaruan rohani yang besar.
Dari Skandal ke Rahmat: Pembaruan yang Hidup
Sejak Konsili Trente, Gereja Katolik tidak lagi melihat indulgensi sebagai “tiket menuju surga,” tetapi sebagai tanda solidaritas rohani antara umat di bumi, jiwa-jiwa di api penyucian, dan para kudus di surga, yang disebut communio sanctorum, persekutuan para kudus.
Indulgensi bukan pembelian rahmat, melainkan buah kasih: ketika seseorang berdoa, melakukan amal, atau berziarah dengan hati bertobat, ia ikut menanggung beban sesama dalam Kristus.
Paus Paulus VI dalam konstitusi Indulgentiarum Doctrina (1967) menulis: “Indulgensi bukanlah pelepasan dari kewajiban pertobatan, tetapi suatu cara Gereja menyalurkan rahmat Allah yang melimpah melalui doa dan kasih.”
Kini, lima abad telah berlalu sejak suara koin Johann Tetzel bergema di pasar Jerman. Namun dentingan itu masih bisa terdengar, dalam bentuk yang berbeda. Kadang kita melihat viral di media sosial Tiktok, Instagram, atau Youtube: “Transfer sejumlah ini, nanti saya doakan.” Atau: “Ikut program rohani ini, dengan biaya sekian, agar rezeki lancar dan dosa dihapus.”
Iman direduksi menjadi transaksi, rahmat Allah dijual sebagai komoditas. Sekilas, mungkin niatnya baik. Tapi hati-hati. Di sinilah roh lama bisa menyelinap dalam rupa baru.
Apabila doa atau rahmat dilihat sebagai barang yang bisa “dibayar,” bukankah kita sedang memutar ulang kisah lama? Bukankah kita sedang menukar kembali cinta Allah yang cuma-cuma menjadi transaksi spiritual?
Gereja tidak menolak persembahan; justru mengajarkan bahwa persembahan itu buah syukur, bukan “harga rahmat.” Gereja tidak pernah mengajarkan keselamatan instan. Perjalanan iman membutuhkan pertobatan sejati, doa, dan karya amal, bukan sekadar transfer uang.
Dari Dentingan Koin ke Dentingan Hati
Kisah Johann Tetzel dan Martin Luther adalah kisah tentang manusia: tentang kesalahan, niat baik yang melenceng, dan rahmat Allah yang tetap bekerja di tengah kebingungan. Gereja Katolik, dalam segala sejarah panjangnya, bukan sekadar institusi yang tak pernah salah, tetapi tubuh yang terus disucikan oleh Roh Kudus.
Sejarah membuktikan Gereja mampu mengoreksi dirinya sendiri. Ecclesia semper reformanda est. Tugas kita adalah tetap setia dalam komunio dengan Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik.
Denting koin Tetzel telah lama berhenti, tapi godaan untuk memperjualbelikan yang sakral tetap abadi. Kisah ini mengingatkan kita bahwa iman sejati bukan soal seberapa banyak kita memberi, tapi seberapa dalam kita mengasihi; bukan soal seberapa cepat kita ingin selamat, tapi seberapa setia kita mengikut Kristus lewat salib dan kebangkitan-Nya.
“Semoga setiap dentingan koin di zaman ini bukan lagi suara transaksi, melainkan gema hati yang berkata: ‘Tuhan, Engkaulah rahmat yang tak ternilai’.” (*)
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.