Katolikana.com—Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh berita tragis tentang kematian seorang dokter muda yang tengah menjalani PPDS (Program Pendidikan Spesialis) Anestesi di Universitas Diponegoro, Semarang.
Dokter tersebut, yang pada akhirnya memilih untuk mengakhiri hidupnya, diduga kuat menjadi korban kekerasan berulang yang terjadi dalam lingkungan pendidikan medis.
Kasus ini menyingkap fenomena gunung es yang mengungkap bahwa praktik kekerasan oleh senior terhadap junior bukanlah hal baru, melainkan sudah menjadi tradisi turun-temurun yang telah merenggut waktu, uang, dan bahkan nyawa.
Dalam dunia maya, khususnya di Twitter, berbagai cuitan dari masyarakat memperlihatkan betapa mirisnya melihat Indonesia membiarkan sistem ini berlanjut selama bertahun-tahun. Akun @bambangsuling11, misalnya, menyoroti bagaimana laporan kekerasan kerap diabaikan, seolah menjadi bagian dari proses normal untuk “menguji” mental para junior.
TW : Bundir
Dokter muda RSUD Kardinah Tegal meninggal bundir dengan cara suntikkan obat ke tubuh.
Diduga tak kuat menahan bully selama ikut PPDS Anestesi Undip Semarang.Mohon bantuan RTnya karena ada indikasi kasus ini ditutupi dngan menyebut korban sakit saraf kejepit. 🙏 pic.twitter.com/UIiU4l66t0
— Jo (@bambangsuling11) August 14, 2024
Pihak universitas bahkan sempat membantah bahwa dokter tersebut meninggal karena bunuh diri, menyebutnya akibat saraf kejepit—meski bukti berupa suntikan dosis berlebih dan buku diary yang mengungkap kekerasan verbal dan non-verbal yang dialami korban, berbicara sebaliknya.
Praktik senioritas yang mematikan ini didorong oleh pernyataan yang sudah menjadi rahasia umum di masyarakat: “Peraturan pertama, senior selalu benar. Peraturan kedua, jika senior salah, kembali ke peraturan pertama.”
Pernyataan ini mencerminkan mentalitas feodal yang sayangnya masih subur di berbagai bidang kehidupan di Indonesia. Dalam buku Unthulektomi, pedoman bagi dokter residen, terdapat aturan-aturan yang sungguh miris: junior harus selalu datang lebih awal, harus selalu menurut, dan jangan banyak bertanya.
Budaya ini tidak hanya terbatas di lingkungan medis. Dalam pendidikan dan pengasuhan, siswa yang bertanya sering dianggap bodoh, dan anak yang tidak sependapat dengan orang tua langsung dilabeli durhaka. Bahkan di dunia kerja, sikap “yes man” sering menjadi satu-satunya jalan aman untuk bertahan, sementara mereka yang berani melawan risiko dicap sebagai pembangkang atau bahkan kehilangan pekerjaan.

Yang lebih ironis, mentalitas feodal ini juga merasuk ke dalam organisasi-organisasi berbasis agama, yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai kesetaraan dan penghormatan terhadap sesama.
Menghadapi kenyataan ini, kita harus berani belajar dari negara-negara maju seperti Australia, di mana penghargaan terhadap individu diberikan tanpa memandang latar belakang.
Tantangan besar bagi Indonesia adalah mengubah budaya yang selama ini lebih cenderung merendahkan daripada mengapresiasi, melihat perbedaan sebagai dosa, dan merasa diri lebih hebat daripada orang lain. Senioritas yang merajalela bukanlah masalah agama, melainkan masalah fundamental bangsa ini yang ingin maju dan mampu bersaing di kancah global.
Memutus rantai kekerasan ini memerlukan kerja sama dari semua pihak—keluarga, sekolah, tempat ibadah, dan masyarakat luas. Jika tidak, kita berisiko melahirkan generasi monster yang akan menghancurkan impian Indonesia emas 2045. Saatnya kita bertindak, sebelum lebih banyak nyawa menjadi korban dari lingkaran setan kekerasan ini.

Lahir di Bandung, domisili Jakarta. Pemerhati pendidikan, isu sosial, dan psikologi umum. No IG, prefer genuine relationship. Let’s make Indonesia greater than before!