Cara Hidup Baru

Tak ada seorang pun dapat datang kepada Yesus bila tidak mendapatkan karunia dari Bapa, dan tidak seorang pun dapat datang kepada Bapa bila tidak melalui Yesus. Apa maknanya?

0 93

Katolikana.com — Para Ibu dan Bapak, serta Saudari dan Saudara yang baik, selamat hari Minggu. Semoga Anda beserta keluarga, sanak-saudara, serta teman dan sahabat dalam keadaaan baik. Selamat menikmati akhir pekan untuk sejenak beristirahat setelah bekerja keras selama sepekan dan mengalami ketegangan karena adanya upaya “pembegalan” keputusan MK pada Kamis yang lalu.

Hari ini kita merayakan hari Minggu Biasa ke-21 tahun B dalam kalender Liturgi. Bacaan Injil (Yoh 6:60-69) berbicara tentang kesulitan yang dialami oleh para murid terdekat Yesus tentang (1) perkataan-Nya bahwa Diri-Nya adalah “roti kehidupan” yang turun dari surga (ay. 58 & 60); (2) tak ada seorang pun dapat datang kepada Yesus bila tidak mendapatkan karunia dari Bapa (ay. 65); dan tidak seorang pun dapat datang kepada Bapa bila tidak melalui Yesus (Yoh 14:6). Kok muter-muter? Tidak heran kalau banyak murid Yesus yang meninggalkan Dia (ay. 66).

Apa maknanya bagi kita sekarang? Marilah kita renungkan bersama dengan memperhatikan beberapa catatan berikut.

Pertama, kejadian ini berhubungan erat dengan pengajaran Yesus di Kapernaum mengenai diri-Nya sebagai “roti kehidupan” dalam Yoh 6:25-50. Di Kapernaum Yesus didatangi banyak orang yang mengharapkan makanan berlimpah seperti diberikan-Nya beberapa waktu sebelumnya (Yoh 6:1-13). Harapan seperti itu bahkan pernah membuat orang-orang sedemikian bersemangat sampai bermaksud mengangkat-Nya menjadi raja, tetapi Yesus menyingkir (Yoh 6:15).

Kedua, harapan orang banyak terhadap Yesus seperti di atas dikarenakan penguasa wilayah di Galilea waktu itu adalah Herodes Antipas, yang kurang disukai orang Yahudi karena memihak kepentingan kaisar Romawi. Gairah orang banyak akan Yesus dilandasi harapan akan seorang pemimpin yang lebih memperjuangkan orang setempat.

Ketiga, Yesus pun tahu akan pemikiran rakyat tersebut, yang menganggap Yesus sedang berkampanye politik dengan membagi makanan gratis (seperti membagi bansos sebelum pilpres di Indonesia). Maka, ia menyindir mereka: “…Kamu mencari Aku bukan karena kamu telah melihat tanda-tanda, [yakni percaya akan siapa Yesus itu sesungguhnya], melainkan karena kamu telah makan roti itu dan kenyang” (Yoh 6:26). Tapi kali ini Yesus tidak menjauhi orang-orang yang mencari-Nya, melainkan memberi pengajaran bagaimana mereka mesti memurnikan harapan mereka.

Keempat, Yesus berusaha membuat mereka sadar bahwa yang mereka butuhkan adalah makanan yang memberi hidup kekal, bukan sekadar pengisi kebutuhan sesaat. Orang banyak diajaknya mau menyadari kehadiran Yang Ilahi di dunia ini (Yoh 6:27).

Kelima, sebetulnya mereka bersimpati pada imbauan Yesus tadi, dan mereka juga ingin tahu bagaimana “menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang dikehendaki Allah” (Yoh 6:28), bagaimana dapat hidup sebaik-baiknya menurut kehendak-Nya.

Keenam, Yesus menjawab, hendaknya mereka percaya kepada Dia yang telah diutus Allah sendiri kepada mereka (Yoh 6: 29). Maksudnya, diri Yesus sendiri. Mereka diminta untuk terbuka menerima ajaran-Nya mengenai siapa Yang Maha Kuasa itu dan dengan demikian memperoleh hidup dari-Nya (Yoh 6:39-40).

Ketujuh, menanggapi ajakan Yesus orang-orang itu menegaskan bahwa leluhur mereka sudah tahu dan mempercayai perkara itu – mereka diberi-Nya makan roti dari surga (Yoh 6:31). Mereka berpikir akan pengalaman umat di gurun dalam perjalanan ke Tanah Terjanji seperti dikisahkan dalam Kel 16:4.

Kedelapan, menanggapi keyakinan orang-orang Yahudi itu Yesus menerapkan kepercayaan turun-temurun itu pada diri-Nya. Dia inilah roti kehidupan yang sebenarnya, yang kini diberikan dari surga untuk membuat manusia sampai ke tujuan perjalanan hidup mereka. Bukan seperti manna yang menjadi penyambung hidup sementara, diri-Nya memungkinkan orang sampai pada hidup kekal (Yoh 6:48-50). (Menengai hal ini, silakan melihat kembali renungan untuk 11 Agustus 2014: “Yesus Makanan dari Surga”).

Kesembilan, pengajaran baru bahwa diri-Nya adalah roti kehidupan dalam arti seperti di atas, tidak begitu saja diterima. Injil Yohanes menyampaikan kesulitan dari dua kelompok orang. Dalam Yoh 6:50-59 ditunjukkan reaksi dari kalangan orang-orang Yahudi yang berkumpul mendengarkan pengajaran-Nya di rumah ibadat di Kapernaum. Tanggapan kritis berikutnya berasal dari kalangan murid sendiri (Yoh 6: 60-69, yang kita renungkan hari ini).

Kesepuluh, pengajaran Yesus kepada orang-orang sezaman-Nya memang amat berani. Bukan hanya mengguncang (ay. 61b), tetapi juga serasa meruntuhkan bangunan doktrin keagamaan yang hingga saat itu tidak dipertanyakan dan tidak boleh dipertanyakan; yakni gagasan bahwa dari hari ke hari umat dihidupi langsung oleh Allah dengan makanan dari surga. Yesus menegaskan bahwa hal itu belum cukup untuk menjamin orang sampai ke tujuan hidup yang sesungguhnya, yakni hidup abadi. Yang bakal menghidupi manusia ialah semua yang dilakukan dan diajarkan-Nya (Yoh 6:44-50; 53-58).

Kesebelas, pada kesempatan lain, Yesus bahkan berbicara mengenai keruntuhan Bait Allah. Dan diri-Nya akan menjadi Bait Allah, yakni tempat kediaman Allah yang sesungguhnya. Maka orang diajak memasuki Bait Allah yang baru ini untuk bersatu dengan Allah dalam wajah kebapaan-Nya kepada seluruh umat manusia (bdk. Yoh 2:19-21).

Kedua belas, tentu saja klaim Yesus seradikal itu bikin geger. Memang, bila tidak dicermati dengan hidup batin yang sungguh mendalam, lembaga keagamaan suatu saat malah akan membekukan kehadiran Allah yang sebenarnya tidak dapat dipancang begini atau begitu dengan pasak doktrin dan peraturan ritual. Namun apa sekarang semuanya perlu ditanggalkan? Mana pegangan bahwa yang dipegang sekarang ini benar dan bukan hanya harapan semu?

Ketiga belas, penginjil Yohanes mengajak pembacanya, dulu dan kini, untuk berani menghadapi soal ini. Pegangan satu-satunya ialah kata-kata Yesus sendiri. Dua hal pokok disampaikan Yohanes. Pertama, mengenai “roti kehidupan yang turun dari surga”. Berarti surga kini datang ke dunia manusia. Surga bukan lagi tempat sudah jadi, yang nun jauh di sana dan belum terjangkau. Yang hendak ditawarkan Injil hari ini adalah benih surga yang tumbuh di dunia ini, yang bila tumbuh terus, akan membesar dan menaungi semua yang hidup di bawahnya.

Keempat belas, tetapi dunia manusia telah sedemikian teralienasi dari kehadiran Allah sehingga tidak dapat lagi menerimanya, tidak dapat mencernaknya dan menjadikannya bagian dalam kehidupannya. Ini ironi terbesar dari keberadaan manusia. Satu-satunya jalan ialah bila Yang Maha Kuasa membuat manusia mampu ke sana. Caranya adalah dengan membuat satu orang dari antara manusia dapat melihat dan menghidupi kehadiran surga. Orang tersebut adalah Yesus. Inilah yang dimaksud dengan “dikaruniakan Bapa” dalam ayat 65.

Kelima belas, kedua, penginjil Yohanes menyampaikan pengakuan Petrus akan kemesiasan Yesus dengan cara yang khas (ay. 68-69). Pada awal Injilnya, Yohanes menceritakan bagaimana Yohanes Pembaptis memberi tahu dua orang muridnya bahwa Yesus yang lewat di situ adalah Anak Domba Allah (Yoh 1:36); maksudnya, persembahan yang mendapat perkenan penuh dari Allah. Salah seorang yang mendengar sang Pembaptis itu, yakni Andreas, selanjutnya menemui Simon, saudaranya, dan mengatakan “kami telah menemukan Mesias” dan membawanya kepada Yesus (Yoh 1:40-42).

Keenam belas, kini di saat-saat kritis, Petrus menemukan kembali kekuatan yang memegangnya pada perjumpaan pertama tadi. Ia tidak melihat orang lain yang dapat diikuti selain Yesus sendiri. Yesus memiliki perkataan yang membawa ke hidup kekal (ay. 68); Yesus adalah “Yang Kudus dari Allah” (ay. 69). Maksudnya, Yesus itulah tempat Allah sendiri hadir secara utuh.

Merenungkan Injil ini mengajak kita untuk menyadari kembali bahwa surga, hidup kekal, adalah kenyataan yang dapat dan perlu mulai dibangun di sini dan sekarang bersama dengan Dia yang ada dalam batin kita, yakni Yesus, sang Roti Kehidupan. Perjumpaan dengan Yesus, yang amat dekat dengan Allah, menumbuhkan cara hidup baru, kerohanian yang makin matang. Yesus mengajak kita belajar menemukan Yang Ilahi, yang sering samar-samar terlihat dan lirih terdengar, dalam realitas kehidupan kita. Semoga hiruk-pikuk politik akhir-akhir ini menjadi salah satu tempat kita menemukan kehadiran Allah sendiri dan membangun surga.

Teriring salam dan doa.

 

Penulis: Romo Ignatius Loyola Madya Utama, SJdosen Seminari Tinggi Santo Petrus, Sinaksak—Pematang Siantar, dan pendiri Gerakan Solidaritas untuk Anak-anak Miskin

Editor: Ageng Yudhapratama

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.