Bahrain, Induk Kekatolikan di Jazirah Arab

Gereja terbesar di Jazirah Arab terletak di Bahrain dan dibangun oleh Raja Bahrain.

0 214

Katolikana.com, Bahrain — Bahrain, sebagai salah satu negara Timur Tengah, mungkin selama ini dikenal sebagai negara Islam. Adanya pandangan ini tentu saja tidak keliru, karena secara formal negara ini merupakan sebuah kerajaan Islam yang didirikan oleh Dinasti al-Khalifah. Islam pun secara resmi diakui sebagai agama negara. Akan tetapi, patut diketahui negara ini sejatinya merupakan rumah bagi sejumlah umat Kristiani yang bermukim di Jazirah Arab.

Meskipun komposisi 69 persen penduduknya adalah Muslim, Bahrain juga memiliki 14 persen penduduk yang tercatat sebagai pemeluk Kristiani—sebagian besar diantaranya merupakan umat dari Gereja Ortodoks. Selain itu, masih ada pula 10 persen penganut Hindu di Bahrain, serta sejumlah kelompok agama lainnya dalam jumlah yang lebih kecil. Penduduk non-Muslim di Bahrain didominasi oleh para ekspatriat alias pekerja asing dari India dan Filipina.

Dari persentase tersebut, demografi umat Kristiani di Bahrain bahkan lebih besar daripada di Indonesia. Sebaliknya, persentase umat Islam di Bahrain justru jauh lebih sedikit dibandingkan di tanah air. Umat Kristen (Katolik dan Protestan) di Indonesia “hanya” berjumlah sekitar 10 persen saja. Berbanding jauh dengan komposisi umat Islam yang mencapai 87 persen dari total demografi penduduk Indonesia.

Terkhusus untuk umat Katolik, negara pulau satu ini dapat dibilang sebagai induk kekatolikan di kawasan tersebut. Katedral terbesar yang berdiri di Semenanjung Arab, bisa kita temukan di Bahrain.

 

Toleransi Tinggi

Jika dibandingkan negara-negara tetangganya di Jazirah Arab, Bahrain kerap dipandang sebagai negara dengan tingkat toleransi yang tinggi. Islam tetap dijunjung sebagai agama negara, tetapi Bahrain menjamin kebebasan beragama bagi umat non-Muslim.

Mayoritas umat Islam di Bahrain memiliki sejarah persinggungan yang baik dengan umat Kristiani, Hindu, dan Yahudi. Pemerintah Kerajaan Bahrain pun juga kerap mempromosikan toleransi beragama melalui berbagai upaya.

Salah satu upaya tersebut tampak ketika Raja Bahrain, Syekh Hamad bin Isa al-Khalifah berinisiatif menghibahkan tanah seluas 9.000 m2 untuk pembangunan gereja pada tahun 2013. Lahan hibah dari Raja Bahrain untuk membangun gereja terletak di Awali, kota yang berjarak 22 km di selatan ibu kota Manama.

Hibah tanah untuk pendirian gereja ini bukannya tanpa menimbulkan polemik. Sejumlah ulama garis keras di Bahrain sempat bersuara vokal untuk menentang inisiatif Raja Bahrain. Akan tetapi, Syekh Hamad tetap bergeming. 

Berselang setahun kemudian, Syekh Hamad justru melakukan perjalanan ke Vatikan untuk berjumpa dengan Paus Fransiskus. Dalam audiensinya bersama Sri Paus di Istana Apostolik, Syekh Hamad lantas mengutarakan keinginannya untuk membangun gereja terbesar di Jazirah Arab sebagai simbol toleransi.

Gayung bersambut, Vatikan menyambut baik gagasan tersebut. Bahkan Vatikan turut menyumbangkan batu pondasi yang diambil dari Pintu Suci di Basilika Santo Petrus kepada gereja Bahrain. Batu pondasi tersebut di kemudian hari dipakai saat peletakkan batu pertama pembangunan gereja tersebut.

 

Gereja Terbesar

Proses groundbreaking pembangunan gereja terbesar di Bahrain benar-benar terlaksana pada 2018. Menyerap budaya lokal dari Timur Tengah, gereja ini didesain menyerupai bentuk tenda bersegi delapan. Tenda merupakan hal yang jamak dijumpai diantara kabilah-kabilah Arab yang dulunya selalu hidup nomaden (berpindah-pindah). Selain itu, dalam Perjanjian Lama, bentuk tenda juga menyimpan makna sebagai tempat Tuhan pernah menampakkan diri kepada Musa.

Gereja berkapasitas 2.300 umat ini membutuhkan waktu empat tahun hingga akhirnya tuntas dibangun. Ia diberkati pada tahun 2021 oleh Administrator Apostolik Arabia Utara, Nunsio Apostolik untuk Bahrain, Kuwait, dan Qatar, serta Prefek Kongregasi Propaganda Fide. Putra Syekh Hamad, Syekh Abdullah bin Hamad bin Isa al-Khalifah, juga turut hadir dalam pemberkatan ini. Syekh Abdullah datang sebagai perwakilan dari Kerajaan Bahrain.

Dalam upacara pemberkatan, gereja ini diberi status sebagai katedral dan memiliki nama Katedral Maria Bunda Arabia. Seiring keberadaan Katedral Maria Bunda Arabia, takhta episkopal Vikariat Apostolik Arabia Utara (Apostolic Vicariate of Northern Arabia/AVONA) yang tadinya berada di Kuwait lantas dipindahkan dari Kuwait ke Bahrain.

Paus Fransiskus sendiri pernah singgah ke katedral ini saat ia melakukan kunjungan apostoliknya setahun kemudian. Ini menjadi momen bersejarah karena pertama kalinya seorang Paus datang ke Bahrain.

Kedatangan Paus tentunya mempunyai arti khusus bagi umat Katolik Bahrain. Bersama dengan Uni Emirat Arab—tempat Paus menandatangani Dokumen Abu Dhabi bersama Syekh Ahmad al-Tayeb—, Bahrain bisa dibilang memegang peran penting sebagai induk kekatolikan di Semenanjung Arab. (*)

Kontributor Katolikana.com di Jakarta. Alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada. Peneliti isu-isu sosial budaya dan urbanisme. Bisa disapa via Twitter @ageng_yudha

Leave A Reply

Your email address will not be published.