

Oleh T.H. Hari Sucahyo
Katolikana.com—Di era kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang sangat pesat, dunia dihadapkan pada tantangan-tantangan moral baru, terutama dalam bidang kesehatan dan biomedis.
Persoalan seperti aborsi, eutanasia, fertilisasi in vitro (IVF), rekayasa genetika, dan penggunaan sel punca menjadi bahan perdebatan di ruang publik. Dalam konteks inilah, bioetika Katolik tampil sebagai pedoman reflektif yang memadukan prinsip iman, ilmu, dan moralitas.
Prinsip utama dalam bioetika Katolik adalah penghormatan mutlak terhadap martabat manusia sejak saat pembuahan hingga kematian alami. Kehidupan, dalam iman Katolik, adalah anugerah yang berasal dari Allah dan karena itu tidak bisa diperlakukan sebagai objek yang dapat dimodifikasi sesuka hati.
Segala bentuk tindakan yang secara langsung menghilangkan nyawa manusia — seperti aborsi dan eutanasia — ditolak karena dianggap melanggar martabat manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.
Kualitas Hidup
Namun, bioetika Katolik tidak menolak ilmu pengetahuan. Gereja menyambut baik setiap perkembangan teknologi kedokteran sejauh hal itu mengarah pada peningkatan kualitas hidup manusia dan selaras dengan prinsip moral.
Transplantasi organ, terapi sel punca dari sumber non-embrionik, serta pengobatan berbasis genetika yang tidak bersifat eugenik, merupakan contoh intervensi medis yang dapat diterima dalam etika Katolik. Seperti yang ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II, ilmu pengetahuan yang sejati adalah ilmu yang memuliakan kehidupan, bukan yang mengeksploitasi.
Di sisi lain, praktik-praktik seperti IVF, meskipun sering kali didorong oleh keinginan mulia untuk memiliki keturunan, tetap menjadi persoalan moral karena biasanya melibatkan penciptaan dan pembekuan embrio yang kemudian dibuang jika tidak digunakan.
Dalam pandangan Katolik, embrio adalah kehidupan manusia yang utuh sejak saat pembuahan. Demikian pula, rekayasa genetika untuk menciptakan “manusia sempurna” berisiko menjadikan manusia sebagai objek, bukan subjek yang bermartabat.
Keadilan Sosial
Bioetika Katolik juga menyoroti isu keadilan sosial dalam pelayanan kesehatan. Ajaran sosial Gereja menekankan bahwa akses terhadap layanan medis adalah hak asasi manusia. Ketika fasilitas kesehatan hanya bisa diakses oleh kelompok tertentu yang mampu secara finansial, maka terjadi ketimpangan yang bertentangan dengan prinsip solidaritas.
Dalam ensiklik Caritas in Veritate, Paus Benediktus XVI menegaskan bahwa ilmu dan teknologi tidak boleh menjadi monopoli kelas elit, melainkan harus diarahkan pada kesejahteraan bersama.
Dalam menghadapi dilema bioetika yang semakin kompleks, Gereja tidak hanya memberikan seperangkat aturan normatif, tetapi juga menekankan pentingnya pembentukan hati nurani.
Katekismus Gereja Katolik menggarisbawahi bahwa nurani yang terdidik adalah alat utama dalam membuat keputusan moral yang benar. Oleh karena itu, pendidikan etika dan formasi iman di dalam keluarga, komunitas, dan institusi pendidikan menjadi sangat penting agar umat dapat bersikap kritis namun berbelas kasih terhadap berbagai isu kontemporer.
Dalam dinamika zaman ini, tantangan terbesar bagi umat Katolik adalah bagaimana tetap setia pada ajaran iman tanpa menutup diri terhadap perkembangan zaman.
Gereja menolak dikotomi antara iman dan ilmu pengetahuan. Keduanya justru saling memperkaya dalam usaha memahami kebenaran secara lebih utuh. Oleh karena itu, dialog antara ilmuwan, teolog, dan praktisi kesehatan sangat dibutuhkan untuk menjembatani nilai-nilai iman dengan realitas ilmiah yang terus berkembang.
Perkembangan teknologi seperti pengeditan gen, kecerdasan buatan dalam diagnosis medis, serta teknologi perpanjangan usia menuntut Gereja untuk terus hadir dalam memberikan bimbingan moral.
Manipulasi DNA, meski bisa menyembuhkan penyakit genetik, tetap harus dipertimbangkan dengan prinsip moral yang bijaksana agar tidak mengarah pada komodifikasi manusia.
Gereja percaya bahwa manusia diberikan akal budi bukan untuk menggantikan Tuhan, tetapi untuk mengolah ciptaan secara bertanggung jawab.
Menghargai Kehidupan
Bioetika Katolik, dengan demikian, bukan sekadar sistem larangan, melainkan panggilan untuk menghargai kehidupan dalam seluruh kompleksitas dan keunikannya.
Ia mengajak kita semua — umat, ilmuwan, tenaga medis, dan pembuat kebijakan — untuk tidak hanya bertanya apakah sesuatu bisa dilakukan, tetapi juga apakah seharusnya dilakukan. Di sinilah nilai moral menjadi penuntun dalam kemajuan sains dan teknologi.
Dalam dunia yang semakin sekuler dan pragmatis, kehadiran bioetika Katolik adalah suara kenabian yang mengingatkan kita bahwa di balik setiap tindakan medis dan inovasi teknologi, ada manusia dengan martabat yang harus dihormati.
Dalam semangat iman yang dewasa, ilmu pengetahuan dan moralitas bukanlah dua kutub yang bertentangan, melainkan dua tangan yang bekerja sama demi kemuliaan Tuhan dan kesejahteraan umat manusia. (*)
Penulis: T.H. Hari Sucahyo, umat Paroki Karangpanas, Gereja Santo Athanasius Agung.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.