Sabda yang Menari

Inkulturasi Tor-Tor Batak Toba di STP Santo Bonaventura Keuskupan Agung Medan

0 156
Alek Martin Pakpahan

Oleh Alek Martin Pakpahan

Katolikana.com—Di tengah semarak musik gondang dan gerakan Tor-Tor yang khidmat, gema Sabda Allah menjelma dalam budaya Batak Toba. Inilah wajah Gereja yang bersedia menyapa umatnya lewat bahasa tradisi, tubuh, dan tanah yang mereka pijak.

Momen misa syukuran di Sekolah Tinggi Pastoral (STP) Santo Bonaventura menjadi ruang sakral di mana iman Katolik dan budaya lokal saling menyapa, saling menghidupi, dan saling menguduskan.

Injil yang Menyapa Budaya

Inkulturasi adalah perjumpaan mesra antara Injil dan budaya lokal. Dalam semangat dokumen Sacrosanctum Concilium, Gereja Katolik menyadari bahwa liturgi bukanlah ruang steril yang asing dari kebudayaan umat. Justru sebaliknya, budaya yang hidup bisa menjadi wadah yang indah bagi pewartaan iman—selama tetap setia pada semangat Injil (bdk. SC 37–40).

Paus Yohanes Paulus II menyebut inkulturasi sebagai “inkarnasi Injil” dalam budaya tertentu. Di sinilah Kristus hadir bukan hanya lewat teks Kitab Suci, tetapi juga melalui simbol, gerak, dan irama lokal yang berbicara dalam bahasa umat.

Dalam terang itulah misa inkulturatif yang mengangkat tarian Tor-Tor Batak Toba di STP Santo Bonaventura menjadi bukti nyata: Sabda yang bukan hanya dibacakan, tetapi juga ditarikan.

Namun, Gereja juga mengingatkan batasnya. Liturgi bukan panggung bebas bagi ekspresi budaya, melainkan perayaan misteri iman. Paus Benediktus XVI menegaskan bahwa budaya lokal harus diterangi dan disempurnakan oleh iman, bukan sebaliknya.

Inkulturasi sah-sah saja, selama tidak mengaburkan Kristus sebagai pusat liturgi. Liturgi tetap harus mencerminkan keagungan dan kekudusan, serta menjaga kesinambungan dengan Tradisi Gereja yang telah diwariskan turun-temurun.

Tor-Tor: Tarian Tubuh yang Berdoa

Bagi masyarakat Batak Toba, Tor-Tor bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah bahasa tubuh yang menyampaikan syukur, hormat, dan permohonan kepada leluhur dan Sang Pencipta.

Dalam setiap geraknya, Tor-Tor membawa pesan yang dalam: tak ada gerakan yang sia-sia. Tor-Tor adalah perwujudan tubuh yang berdoa dan komunitas yang merayakan kebersamaan sakral.

Limbong, seorang tokoh budaya Batak, menyebut bahwa gestur sembah sepuluh jari dan kepala tertunduk adalah bentuk puncak penghormatan. Maka ketika Tor-Tor ditarikan dalam misa, gerakan-gerakan ini tampil bukan untuk memikat mata, tapi untuk mempersembahkan hati.

“Gerakan sembah inilah yang paling relevan ditonjolkan saat mengantar persembahan kepada Yang Maha Kuasa,” ujar Limbong.

Oleh karena itu, tarian yang dibawakan dalam misa syukuran di STP cenderung bersifat menyembah dan memohon, bukan sebagai pertunjukan bebas. Gerakan tambahan yang tidak esensial justru dikhawatirkan mengaburkan makna inti dari persembahan itu sendiri.

Senada dengan itu, Pastor Tri Chandra Fajariyanto, pakar liturgi, menyatakan bahwa cukup satu atau dua gerakan yang sarat makna untuk menyampaikan intensi liturgis. Liturgi bukan soal visual, tapi soal batin.

“Lebih baik tarian persembahan yang diinkulturasi dari suatu budaya menggunakan gerakan dan musik yang benar-benar memiliki makna serta sesuai dengan konteks yang hendak dilakukan,” jelas Pastor Tri Chandra Fajariyanto.

Tor-Tor yang dihadirkan di altar menjadi doa tubuh yang menyatu dalam semangat Ekaristi. Gereja tidak menolak ekspresi tubuh, tetapi mengarahkannya agar berfungsi sebagai wahana komunikasi rohani yang membangun iman.

Ketika Budaya Menyambut Sabda

Misa Syukuran Natal dan Tahun Baru di Aula STP Santo Bonaventura, Keuskupan Agung Medan, menjadi perwujudan nyata inkulturasi ini. Prosesi imam diiringi gondang Batak dan gerakan Tor-Tor yang penuh khidmat.

Para mahasiswa mempersembahkan hasil bumi dengan langkah sembah khas Batak Toba—sebuah simbol penyerahan diri dan syukur kepada Tuhan.

Yang dirayakan bukan sekadar misa dan bukan pula sekadar budaya. Yang terjadi adalah perjumpaan mendalam antara iman dan akar tradisi. Liturgi menjadi ruang di mana mahasiswa, imam, dan umat membangun jembatan antara warisan leluhur dan terang Injil.

Tak ada yang dikorbankan—budaya tidak dipinggirkan, dan iman tidak dikompromikan. Sebaliknya, budaya dimurnikan oleh iman, dan iman menjadi lebih bersahabat karena memakai bahasa umat.

Iman yang Tumbuh di Tanah Sendiri

Apa yang terjadi di STP Santo Bonaventura menunjukkan bahwa iman Katolik tidak harus asing dengan kebudayaan. Justru di sanalah iman bisa menjadi lebih hidup, lebih menyapa, dan lebih bermakna.

Ketika Tor-Tor hadir di altar, bukan budaya yang tampil demi budaya, tetapi Sabda yang menjelma dalam irama lokal.

Gereja tidak dipanggil untuk menghapus budaya, melainkan menyucikannya. Dan di tangan generasi muda, seperti para mahasiswa STP, inkulturasi bukan sekadar kenangan, melainkan jalan masa depan.

Tor-Tor dalam misa bukan hanya pewarisan tradisi, tetapi tanda bahwa Gereja yang hidup adalah Gereja yang terus berdialog—dengan dunia, dengan budaya, dan dengan sejarah umatnya sendiri.

Melalui Tor-Tor, Sabda tak hanya terdengar di mimbar, tapi juga terasa di gerak tubuh, di hentakan musik, dan dalam semangat kolektif umat yang merayakan iman dengan caranya sendiri.

Inkulturasi bukan sekadar adaptasi, tapi sebuah jalan menuju perjumpaan yang menyelamatkan: antara Allah dan manusia, antara Sabda dan budaya, antara iman dan kehidupan sehari-hari. (*)

Penulis: Alek Martin Pakpahan, sedang menekuni dunia tulis-menulis dan menjalani studi di Sekolah Tinggi Pastoral Santo Bonaventura KAM.

 

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.