

Gabriella Milarose
Katolikana.com—Saya lahir dan besar di Sragen, sebuah kota di Jawa Tengah yang kaya akan kebudayaan lokal. Di antara kekayaan itu, batik menjadi warisan yang tak lekang oleh zaman—terutama batik tulis Kliwonan, yang dikenal hingga mancanegara karena keindahan dan kehalusan proses pembuatannya.
Di balik motif-motif yang rumit dan harmonis, saya menemukan satu bentuk spiritualitas tersembunyi: Yesus sebagai Pelukis Batik.
Mengapa Yesus? Karena dalam karya-Nya sebagai pewarta Kerajaan Allah, Yesus sejatinya adalah Sang Seniman Agung yang melukis kehidupan manusia dengan makna.
Ia seperti pembatik tulis—duduk dalam kesabaran, menggenggam canting, menorehkan lilin panas ke atas kain putih kehidupan manusia dengan penuh perhatian dan cinta.
Iman yang Menyatu dengan Budaya
Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II terus mendorong inkulturasi—upaya menyampaikan iman melalui bahasa budaya lokal. Rukiyanto (2009) dalam buku Pewartaan di Zaman Global menegaskan bahwa pewartaan iman harus terwujud dalam bentuk-bentuk budaya agar lebih mudah dipahami dan diterima masyarakat.
Dalam konteks ini, batik tidak hanya menjadi ekspresi budaya Sragen, tetapi juga medium spiritual yang menghadirkan renungan tentang siapa kita dan siapa Allah bagi kita.
Batik tulis tidak dikerjakan secara instan. Ia membutuhkan proses panjang: mulai dari mendesain pola, menorehkan lilin dengan canting, mencelup warna, mengulang tahapan, hingga akhirnya kain itu melalui proses nglorot—penghilangan lilin untuk menampakkan warna asli. Kualitas terbaik selalu datang dari proses yang lambat dan penuh kehati-hatian.
Demikian pula hidup kita. Kita adalah “kain putih” yang terus dilukis oleh Yesus. Dalam proses hidup, ada kalanya kita merasa panas seperti terkena lilin, atau gelap karena warna yang belum nampak indah. Namun percayalah, Tuhan sedang mengerjakan sebuah karya agung. Setiap penderitaan, perjumpaan, kegagalan, dan kemenangan adalah bagian dari goresan canting-Nya.
Yesus tidak pernah melukis asal-asalan. Ia tahu kapan menorehkan, kapan harus mengulang, bahkan kapan harus “mengganti kain” ketika yang lama sudah rusak. Itu bukan hukuman, tetapi rahmat untuk memulai kembali.
Batik yang indah selalu memuat banyak warna dan pola. Tak ada batik yang hanya satu corak. Demikian pula Tuhan tidak menciptakan manusia dalam satu warna saja. Kita hidup di tengah perbedaan karakter, latar belakang, dan cara pandang. Justru dalam perbedaan itulah, Tuhan menghadirkan harmoni yang membuat hidup lebih indah.
Seorang pembatik akan sengaja memilih kontras warna agar motif terlihat menonjol. Tuhan pun demikian—Ia menempatkan kita di antara mereka yang mungkin tidak kita sukai atau pahami, agar kita belajar mencintai dan menerima.
Ketika Pola Tuhan Tak Sesuai Harapan
Seringkali manusia sulit menerima pola yang sedang Tuhan lukiskan. Kita merasa gambar-Nya terlalu gelap, terlalu abstrak, terlalu tidak sesuai dengan keinginan pribadi. Namun, bukankah kita hanya melihat sebagian kecil dari pola besar yang sedang Ia ciptakan?
Seperti pembatik yang kadang mengulang dari awal demi hasil terbaik, Tuhan juga tidak segan mengizinkan kita “diulang” dalam pengalaman hidup. Itu bukan tanda kegagalan, tetapi kasih-Nya yang tak ingin kita jadi kain yang cacat. Ia ingin kita menjadi lukisan yang utuh, bernilai tinggi, dan membawa kemuliaan bagi-Nya.
Dalam Roma 8:29 dikatakan: “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya.” Ayat ini menjadi dasar dari permenungan saya: bahwa Allah sedang “melukis” kita agar menjadi serupa dengan Kristus.
Kita diajak bukan hanya untuk percaya, tetapi juga untuk rela dibentuk, diwarnai, dan dibersihkan—meskipun proses itu menyakitkan. Seperti kain batik yang harus melewati berbagai tahapan hingga akhirnya menjadi indah dan bernilai.
Menjadi Kain yang Siap Dilukis
Dalam tradisi membatik, kain putih harus bersih, rata, dan siap menerima warna. Kita pun dipanggil untuk menyiapkan diri dengan hati yang terbuka dan iman yang kokoh. Kita harus bersedia untuk “dilukis Tuhan” di atas latar kehidupan apa pun: entah itu terang atau gelap, sukacita atau penderitaan.
Tuhan tidak hanya melukis kita untuk diri kita sendiri. Ia melukis kita agar kita menjadi karya yang bisa menginspirasi orang lain. Kita dipanggil untuk menjadi “batik hidup” yang memuliakan Allah.
Yesus adalah Sang Pembatik Agung. Ia menggenggam canting kehidupan dan menorehkan kasih-Nya ke setiap detail hidup kita. Proses-Nya tidak selalu nyaman, tetapi selalu penuh cinta.
Mari, kita belajar percaya pada tangan-Nya. Biarlah Dia melukis kita, dengan semua goresan, warna, dan pola-Nya yang unik. Dan semoga pada akhirnya, kita menjadi kain batik yang memuliakan Allah—indah, otentik, dan tak tergantikan.
“Kita adalah karya-Nya, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik yang telah dipersiapkan Allah sebelumnya.”—Efesus 2:10 (*)
Penulis: Gabriella Milarose, alumna Program Studi Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.