

Oleh Adrian Diarto
Katolikana.com—Kalau ditanyakan apa tujuan dalam melakukan pelayanan di gereja, maka jawaban bisa beragam dan bermacam.
Rerata adalah jawaban yang ideal: untuk melayani Tuhan, untuk melayani sesama, karena Tuhan sudah begitu baik, supaya dianugerahi surga yang kekal dan seterusnya.
Tapi benarkah demikian adanya?
**
Berbeda dari para selibater yang hidup dalam desain komunitas yang memang diintensikan untuk lebih memudahkan hidup dalam pelayanan, kaum awam harus membangun sendiri dunianya. Harus membangun biaranya sendiri untuk membuat pribadi dirinya dan orang yang terkoneksi dengannya dapat juga terus bertumbuh secara positif.
Pastor, misalnya, setelah disiapkan dalam jenjang dan rentang pendidikan yang terstruktur dan terencana, lalu mulai hidup pelayanan.
Umumnya perutusan terbagi sesuai minat dan bidang pelayanan yang dilaksanakan dalam komunitas. Ada yang di bidang kesehatan, pendidikan, pelayanan sosial atau bidang-bidang kajian strategis lainnya sesuai bidang keilmuan yang ditekuni.
Dalam pelaksanaan pelayanan, para pastor diosesan misalnya, difasilitasi dengan beragam hal oleh keuskupan yang menaunginya.
Kendaraan, mulai dari bahan bakar sampai perawatan. Juga kebutuhan rumah tangga, seperti kebutuhan mandi dan cuci, makan, uang saku dan juga fasilitas kesehatan. Tentu juga tempat tinggal.
Di samping itu ada stipendium yang dapat menjadi haknya atau diberikan kepada komunitas sesuai kebijakan yang ditetapkan dan berlaku.
Dalam konteks ini, diharapkan pastor tinggal hanya fokus pada tugas pelayanan demi memuliakan nama Tuhan. Pada umumnya meliputi tata kelola penggembalaan, tata kelola harta benda dan tata kelola keuangan.
Umat awam, sesuai panggilan umumnya dalam hidup berkeluarga, menghidupi panggilannya masing-masing dengan cara yang unik. Ada yang berprofesi sebagai petani, pedagang atau pengusaha barang atau jasa. Juga ada pekerja dalam banyak bidang.
Penghasilan yang didapatnya dipakai untuk memenuhi kehidupan berkeluarga. Dan jangan lupa juga untuk memenuhi kehidupan bermasyarakat dan menggereja.
“Saya tidak membayangkan bagaimana penghasilan itu kemudian dibagi-bagi untuk memenuhi semuanya,” kata Mois dalam penyegaran DPP Santo Kristoforus Banyutemumpang, di Rumah Retret Bandungan, Kamis-Jumat, 26-27 Juni 2025.
Seperti diketahui, sebagai warga gereja dan warga masyarakat, disamping bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, juga harus hidup bersama masyarakat.
Ada bekerja, ronda, kerja bakti, rapat rt, rapat di gereja, melakukan pelayanan ke umat, mengumpulkan belarasa, tugas prodiakon, membawakan renungan, membantu kegiatan kategorial, mengantar anak ke dokter, menjaga toko, ngopeni ternak dan seterusnya.
Banyak sekali. Dan semua itu tidak boleh seenaknya, harus dilakukan dengan kesungguhan niat dan hati. Supaya semua berjalan seiring dan terpenuhi sebagaimana diharapkan. Harus dilaksanakan dengan tersenyum, bersemangat dan gembira.
“Maka saya sungguh berterima kasih karena bapak ibu mau dan rela untuk melayani di gereja. Juga seperti hari ini harus meninggalkan keluarga dan tanggung jawab lainnya,” lanjut Mois.
**
Mengutip dari buku Happy by Design: A Guide to Architecture and Mental Wellbeing, Rektor Soegijapranata Christian University Dr. Ferdinandus Hindiarto, S.Psi., M.Si. sebagai narasumber, menjelaskan ada dua hal penting yang menjadi seperti bandul yang terus dinamis berayun, yaitu “kesenangan” dan “tujuan” dalam melakukan pelayanan.
Bila pelayanan dilakukan tidak dengan tujuan, maka pelayanan dapat menjadi hampa. Bila pelayanan tidak dilakukan dalam rasa senang (pleasure), maka alih-alih memperoleh kegembiraan (happiness), pelayanan dapat menjadi beban dan tekanan tersendiri.
Maka sangat penting untuk menetapkan jenis pelayanan yang menyenangkan dan digeluti, serta kemudian menetapkan pelayanan dengan tujuan atau fokus. Diharapkan kemudian ada rasa bahagia yang hadir dalam melakukan pelayanan.
**
Dalam waktu yang sudah cukup lama, saya hadir di sebuah lingkungan yang terpencil. Mereka sangat senang saya dapat hadir. Kebetulan saya masih prodiakon waktu itu. Lalu saya dijinkan memimpin ibadat.
“Mas, rawuh malih nggih,” kata beberapa umat menyampaikan harap. Setelah ibadat selesai. Lalu saya melewati jalan sempit dan gelap yang kalau berpapasan maka salah satu harus mundur di tempat yang lebih lempang.
Saya juga pernah hadir di lingkungan lainnya. Lingkungan dengan jumlah keluarga katolik yang cukup banyak. Karena kebetulan masih prodiakon juga, saya memimpin ibadat di sana.
Saya bersyukur sering bertemu banyak orang sehingga saya dapat membawakan dengan lebih cair dan tidak terlalu kaku.
Pada kedua lingkungan itu, saya menerima harapan betapa mereka sangat bahagia bila disapa dan dikunjungi.
Bila para romo sedang tidak memungkinkan waktunya karena tanggung-jawab dan kesibukan, kunjungan sebetulnya juga dapat dilakukan oleh dewan pastoral paroki secara terkelola dalam rentang waktu tertentu. Dengan jumlah lingkungan yang banyak, bisa saja misalnya diagendakan kunjungan dalam rentang empat bulan sekali untuk satu lingkungan.
Selepas acara di Bandungan, saya sempat kembali melontarkan bila saja bisa beberapa lingkungan lintas wilayah bisa berziarah bersama maka akan memumpuk dan membangun rasa kebersamaan dengan cara yang menggembirakan dan menyenangkan.
Tahun lalu beberapa lingkungan lintas wilayah setuju untuk berziarah bersama, tetapi lalu kemudian kesulitan menyepakati waktu keberangkatan karena beragam argumen.
**
Di atas semuanya, tata kelola paroki Banyutemumpang menurut hemat saya sudah berjalan baik. Dalam pedoman yang digariskan oleh gereja. Terobosan-terobosan diperlukan untuk membangun kegairahan secara berkelanjutan.
Para romo yang diutus di Banyutemumpang akan menjalani perutusan di tempat lain pada waktunya. Tetapi kita sebagai awam yang tinggal di Paroki Banyutemumpang perlu untuk mengusahakan supaya kegairahan menggereja terus tumbuh di tataran akar rumput dengan panduan para romo yang diutus di Banyutemumpang. Atau secara perlahan keterlibatan umat akan menurun dari waktu ke waktu.
“Nggen kula niku kathah-kathahe nggih ingkang sepuh mas,” kata seorang ketua lingkungan.
**
Tentang pahala atau surga, biarlah itu tetap menjadi hak prerogatif Tuhan. Manusia tidak perlu mengambil alih hak prerogatif Tuhan dengan menilai atau menghakimi pelayanan yang dilakukan oleh orang lain. (*)
Posong, 28 Juni 2025 | 22.10
Penulis: Adrian Diarto, anggota Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.