Katolikana.com, Spanyol — Seorang pria berusia sekitar 50 tahun datang mendekat. Ia lantas membuka mulutnya hendak menerima komuni. Mempertimbangkan kondisi saat ini, saya lantas meminta agar ia menerima komuni dengan tangan. Ia berulang kali mengatakan, “Saya harus terima komuni dengan mulut”. Meski sudah saya ingatkan kembali, tetapi dia berkeras. “Harus dengan mulut,” katanya. Karena kecewa akhirnya dia berkata, “Kalau begitu, saya pergi.”
Dengan senyum melihat dia pergi, saya terus membagikan komuni pada misa Pentakosta, 31 Mei lalu di Gereja St. Tomàs Barcelona, Spanyol. Setelah itu ada juga beberapa umat yang datang dengan permintaan serupa, tapi mereka bisa mengerti dan mau menerima komuni dengan tangan.
Setelah dua bulan lebih, jumlah korban dan yang terinfeksi Covid-19 semakin berkurang. Pemerintah Spanyol lantas memutuskan untuk kembali pada normalitas secara progresif. Pada 18 Mei 2020 kami memasuki fase pertama, di mana semua gereja di Barcelona kembali dibuka dan bisa merayakan ekaristi kudus meski dengan serangkaian ketentuan Conferencia Episcopal Española (Konferensi Waligereja Spanyol) yang disesuaikan dengan anjuran kesehatan dari pemerintah.
Adapun beberapa ketentuan yang dikeluarkan Gereja adalah hanya 30% umat yang diperbolehkan hadir sesuai dengan kapasitas gereja (jumlah ini akan ditambah sesuai fase kenormalam baru (new normal): fase 1: 30%; fase 2: 50%; dan fase 3: 75 %.
Karena berisiko tinggi tertular virus Covid-19, maka umat yang berusia di atas 70 tahun dianjurkan untuk mengikuti misa secara daring. Selain itu, imam yang berusia di atas 65 tahun diminta untuk tidak memberikan komuni. Selain diwajibkan untuk duduk di tempat yang sudah ditandai, semua umat juga diharuskan untuk memakai masker selama misa, dan menerima komuni dengan tangan.
Pandemi ini membuat kita belajar sesuatu yang penting. Ia kembali mengingatkan kita, sampai sejauh mana manusia rapuh, sejauh mana kita tergantung pada yang lain, dan sejauh mana sebagai manusia menyadari diri sebagai penanggung jawab atas kehidupan orang lain. Kita membutuhkan Roh untuk memberi kita mata baru, membuka pikiran dan hati kita untuk untuk menghadapi saat ini dan masa depan dari pelajaran yang dipetik: kita berada pada bahtera yang sama. Kita tidak bisa menyelamatkan diri kita sendiri. Tidak ada yang menyelamatkan dirinya sendiri. Maka pertanyaan yang muncul dari pelajaran ini adalah bagaimana kita bisa selamat bersama?
Sesuatu haruslah berubah berkat pandemi ini. Mulai dari harapan, ilusi atau kenaifan sejati. Memang ada kontra pemikiran bahwa tidak ada yang akan berubah, karena kita cenderung menolak dan kembali ke rutinitas, kembali ke kebiasaan, bahkan terlepas pada keputusasaan dan pesimisme. Kita bahkan cenderung menghabiskan waktu dengan mencari siapa yang harus disalahkan dan mana yang benar.
Pandemi memaksa kita semua untuk merenungkan apa yang benar-benar penting: kehidupan atau barang materi; individualisme tanpa memperhatikan yang lain atau bersolidaritas satu dengan yang lain. Apakah kita bisa terus menggunakan barang dan jasa secara berlebihan demi kenyamanan? Atau kita mau berkomitmen untuk merawat alam secara bertanggung jawab? Dan, pandemi ini memaksa untuk lebih peka secara kolektif.
Kepekaan yang terbangun dalam diri masing-masing akan membantu kita untuk merawat dan mendayung ke arah yang sama, dan mengundang manusia untuk memikirkan “kita” dan bukan hanya “saya”. Ini merupakan secercah harapan, sebuah prinsip kemanusiaan. Mungkin, virus corona ini akan membantu kita keluar dari budaya egoisme, individualisme religius, tertutup dengan sendirinya, menyalahkan begitu banyak ketidaksetaraan antara miskin dan kaya; dan membukakan mata kita kepada budaya yang lebih murah hati, lebih terbuka dan peka terhadap yang lain.
Keharusan untuk menerima hosti kudus dengan tangan merupakan bentuk kehati-hatian, pencegahan dan juga tanggung jawab kepada akan hidup orang lain. Satu yang terpenting adalah kita menerima Pribadi Kristus dalam rupa roti. Dan, saat ini kita diajak juga untuk berlatih mengekspresikan kasih itu dengan menerima Yesus dengan tangan karena seorang kristiani juga dituntut menjaga kehidupan orang lain. Dengan kata lain: “bersolidaritas”.
Kita seyogianya bisa memanfaatkan waktu ini sebelum kembali pada normalitas untuk melatih kepekaan dalam kebersamaan, karena hal itu juga adalah ekspresi dari kasih kepada sesama. Karena seorang pengikut Kristus juga lahir seperti Maria Magdalena yang berdiri di bawah salib melihat Dia yang tersalib.
*Artikel ini bagian miniproject #KatolikanaBercerita saat Pandemi Covid-19.
Editor: Basilius
Imam kelahiran Atambua, Nusa Tenggara Timur. Berkarya di Pastoral College Claret Barcelona dan Paroki Cor de Maria i Sant Tomàs Barcelona.