Katolik Garis Lucu di antara Humor dan Hujat: Perspektif Filsafat Moral (Bag-1)

Memaknai humor Katolik Garis Lucu dengan perspektif pemikiran Alsadair MacIntyre

0 2,592

Katolikana.com – Jagad maya Katolik di Nusantara belakangan resah dengan pro-kontra pada postingan meme Yesus di akun Katolik Garis Lucu (setelah ini disingkat “KGL”) yang dianggap menista iman. Aneka komentar di Facebook, Twitter dan Instagram saling bersahutan: ada yang mendukung, ada yang mengecam dan tak sedikit yang sampai mengutuk. Mereka yang mendukung KGL menganggap bahwa meme bermaksud humor itu adalah bentuk satir untuk mengingatkan umat pada esensi ajaran. Media sosial juga menjadi riuh karena seolah kelompok yang mengecam merasa bahwa mereka sedang berusaha mempertahankan kemuliaan dan kekudusan Tuhan. Lalu mana yang benar? Bagaimana sikap kita?

Alasdair MacIntyre dan ketidak-setujuan moral di zaman modern

Alsadair MacIntyre, pemikir besar abad ini, menulis bahwa protes dan kemarahan adalah penanda dari debat publik di dunia modern. Mengapa? Karena bagi MacIntyre, mustahil bagi kelompok manapun untuk memenangkan argumen mereka sejauh tidak ada persetujuan antara kelompok sosial itu tentang cara bagaimana mereka menang dan bahkan apa itu kemenangan. Menurut MacIntyre, ketidak-setujuan moral di dunia modern menjadi sulit – bila tidak mustahil – dimitigasi oleh rasionalitas bersama.

Premis yang saling berlawanan sulit untuk sampai pada pengertian bersama yang dapat mengubah pikiran seseorang. Mustahil untuk meyakinkan pihak lain tentang apa itu “kebaikan” secara rasional karena masing-masing argumen yang berlawanan membawa kebenaran dan logika moral sendiri. Bagi mereka yang pro-aborsi, misalnya, “kebaikan” didefinisikan sebagai kebebasan yang dimiliki para perempuan untuk menentukan apa yang terjadi dengan tubuhnya sendiri. Karena janin adalah bagian dari tubuh perempuan, maka dapat dibenarkan tindakan menghilangkan janin itu bila yang bersangkutan memang menghendakinya. Argumen kebebasan dan hak asasi digunakan untuk mendefinisikan apa yang baik bagi pendukung aborsi. Namun, argumen moral yang sama dapat digunakan juga oleh penentang aborsi. Justru karena janin adalah individu manusia yang kebebasan dan hak asasi untuk hidupnya harus dilindungi sejak tahap awal mula, maka aborsi tidak pernah dapat dibenarkan. Bila dua argumen moral yang kurang lebih sama memunculkan perbedaan yang begitu tajam, jangan-jangan apa yang “baik” bergantung pada ranah emotif seseorang; pada selera dan pilihan masing-masing individu. Karenanya, secara rasional, menurut MacIntyre hampir tidak ada wadah yang dapat menampung perbedaan preferensi ini.

Humor, hujatan dan tiadanya konsensus rasional

Cara pandang Alasdair MacIntyre ini berbeda dengan relativisme moral. Relativisme moral adalah pandangan bahwa benar salahnya justifikasi moral bergantung pada satu titik pandang partikular tertentu dan bahwa tidak ada perspektif unik yang lebih tinggi dari yang lainnya. Bagi saya sebagai seorang Katolik, tentu aborsi adalah dosa besar yang melawan perintah Allah untuk menjaga kesucian hidup. Saya akan mengusahakan dengan segala upaya tenaga untuk mencegahnya. Keyakinan saya tentang “kekudusan hidup” adalah rasional. Di depan diskursus rasional dari mereka yang mendukung aborsi, saya tidak kehilangan argumen rasional saya dan tidak kehilangan preferensi moral saya. Dalam perspektif MacIntyre, karena begitu ramainya argumen rasional, maka pihak yang berlainan pendapat tidak dapat sampai pada konsensus bersama tentang apa yang “baik.” MacIntyre tidak hendak membela relativisme moral. Ia hanya menunjukkan bahwa dalam sejarah filsafat moral, kita tidak menemukan konsensus yang rasional tentang apa itu “kebaikan” sehingga tak dapat sampai pada kesimpulan yang sama tentang sebuah tindakan moral. Sekali lagi, ini bukan tentang relativisme moral.

Dalam konteks polemik KGL, masing-masing kubu pro dan kontra pasti memiliki argumen moralnya masing-masing. Bagi yang menjustifikasi bahwa humor KGL menista kekudusan Tuhan, beberapa argumen preskriptif berikut sering jadi rujukan:

a. Perintah Allah ke-2; yang berbunyi: “Kuduskanlah nama Tuhan!”

b. Katekismus Gereja Katolik

  • 2161    Perintah kedua menentukan untuk menghormati nama Tuhan. Nama Tuhan itu        kudus.
  • 2162    Perintah kedua melarang tiap penggunaan nama Allah secara tidak pantas. siapa yang memakai nama Allah, Yesus Kristus, Perawan Maria, dan orang-orang kudus atas cara yang menghina, menghujat Allah.

c. Kitab Hukum Kanonik

  • 1369    Yang dalam suatu pertunjukan atau pertemuan umum, atau tulisan yang tersebar secara publik, atau secara lain dengan menggunakan alat-alat komunikasi sosial, menghujat, atau melanggar moral umum secara berat, atau menyatakan penghinaan atau membangkitkan kebencian maupun pelecehan terhadap agama atau Gereja, hendaknya dihukum dengan hukuman yang adil.

Pendekatan preskriptif ini sahih bagi mereka yang mendaku diri katolik karena kebenaran moralnya dijaminkan pada Kitab Suci dan Magisterium Gereja. Menggunakan rasionalitas makna literal dari kutipan ini, menurut kelompok yang tersinggung, maka posting KGL dapat dimaknai sebagai sebuah penghujatan, penghinaan dan pelecehan pada agama dan Gereja. Bila kita gunakan pendekatan moral Gereja Katolik tentang obyek tindakan, maka penghujatan sendiri – lepas dari intensi dan situasi agen moralnya – adalah sebuah tindakan yang melawan cinta kasih dan akibatnya termasuk sebagai dosa.

Namun filsafat MacIntyre dapat memberi wawasan baru dalam klaim ini: apakah ada konsensus moral yang sama tentang definisi penghinaan dan penghujatan Allah? Dari sudut pandang mereka yang mendukung KGL, tunduk pada pendekatan preskriptif ini justru sangat membantu mereka lepas dari tuduhan penghujatan. Mengapa? Karena humor yang lahir dari cinta kasih sangat mungkin tidak termasuk dalam kategori “cara yang menghina, membangkitkan kebencian maupun pelecehan terhadap agama atau Gereja.” Melukai perasaan sebagian anggota Gereja adalah obyek moral yang berbeda dengan obyek kekudusan, yaitu: Tuhan, agama dan Gereja sebagai Tubuh Kristus.

Bila humor datang dari kebencian akan iman dan Gereja Katolik (sebagaimana juga pernah dan masih dilakukan oleh tokoh agama lain), tentu dengan sangat mudah kita menempatkan rujukan preskriptif ini sebagai landasan definisi ‘hujatan’ dan sejauh apa humor tentang iman memiliki batasnya. Pun pula bila ada orang beriman Katolik yang menggunakan nama Tuhan untuk bersumpah palsu, tindakan ‘menghujat nama Tuhan’ ini dapat dengan mudah ditentukan definisinya baik berdasarkan obyek maupun intensi jahatnya.

Namun, bila humor itu datang dari sesama saudara-sudari seiman dan lahir bukan dari kebencian pada Gereja dan Tuhan, melainkan dari relasi personal dengan Allah Transendens yang berinkarnasi dalam Yesus Kristus; yang memanggil muridNya sebagai “sahabat” dan bukan “hamba,” masihkah humor itu jatuh dalam kategori hujat dan kebencian? Pertanyaan fundamental ini bukanlah mengenai intensi dan situasi si agen moral. Pertanyaan ini adalah tentang definisi obyek tindakan “menghujat.” MacIntyre mengingatkan bahwa konteks sosial yang berbeda akan melahirkan konten sosial yang berbeda pula. Ia mengambil contoh tentang betapa rumitnya definisi dari kata “definisi” yang ditemukan dalam kamus. Ada banyak sekali untaian turunan makna kata “definisi” sesuai konteksnya – bukan hanya dalam kamus bahasa Inggris, namun juga dalam KBBI – untuk mendefinisikan satu kata ini. Rupanya, definisi obyek tindakan moral ternyata tidak lepas dari konteks sosialnya.

Adalah sahih sebagai sebuah kemungkinan bahwa mereka yang tersinggung dengan ‘dark humor’ KGL adalah sekumpulan agen moral yang terlepas dari konteks sosial lahirnya KGL serta visi misi yang diusung oleh KGL ini. Kelompok yang berbeda konteks ini bisa jadi berhenti hanya pada “konten” yang dianggap melecehkan kekudusan Tuhan. Bagi mereka yang kontra KGL, sangatlah mungkin bahwa perbedaan cakrawala tentang apa yang kudus, yang mulia dan yang transedens itu menyebabkan “dark humor” tampil sebagai “penistaan.” Sementara, bagi yang mendukung KGL dan cara melucunya akan dengan mudah balik membalas kelompok yang tersinggung ini sebagai kelompok picik yang tidak punya selera humor. Padahal, belum tentu demikian adanya. Penyebab terjadinya polemik pro dan kontra KGL ini sebenarnya bukan sekadar soal gambar atau kata-kata suci yang dipelesetkan, namun karena ketiadaan konsensus rasional tentang apa itu hujat dan humor.

BACA SELANJUTNYA Katolik Garis Lucu di antara Humor dan Hujat: Perspektif Filsafat Moral (Bag-2)

Imam Dehonian, Pendidik di SMA Yos Sudarso Metro, Lampung.

Leave A Reply

Your email address will not be published.