Katolik Garis Lucu di antara Humor dan Hujat: Perspektif Filsafat Moral (Bag-2)

Memaknai humor Katolik Garis Lucu dengan perspektif pemikiran Alsadair MacIntyre

2 1,033

Dialog ke dalam yang lebih mendalam: demi satu Tubuh Kristus

Dua argumen moral yang sama-sama berangkat dari pendekatan preskriptif ini memiliki bobot rasional masing-masing. Karena kesetujuan pandangan tidak dimungkinkan dalam perdebatan antara kedua kelompok ini, maka pertanyaan utamanya adalah: bagaimana saya dan engkau, sebagai bagian dari anggota Gereja, harus bersikap?

BACA ARTIKEL! Katolik Garis Lucu di antara Humor dan Hujat: Perspektif Filsafat Moral (Bag-1) 

MacIntyre mengingatkan bahwa modernisme telah menyebabkan identitas personal tiap agen moral tidak lagi lekat pada peran sosial tertentu. Akibatnya, tidak ada lagi yang mengharuskan masing-masing agen moral untuk menuju pada sebuah tujuan bersama (telos) sehingga pendapat pribadi rentan untuk lepas dari ikatan sosial. Mungkin ini sebabnya, masing-masing orang yang terlibat dalam perdebatan di media sosial cenderung untuk mempertahankan pendapatnya sendiri; bahkan tak jarang sampai mengutuki pandangan yang berbeda. Di kubu mereka yang tersinggung, misalnya, saya melihat beberapa seruan bahwa KGL, selain “menista agama”, juga adalah “golongan liberal, iblis, pelacur dan penjual harga diri Gereja.” Di kubu yang mendukung KGL, kita melihat narasi yang mengatakan bahwa mereka yang tersinggung adalah “golongan kadrun Katolik, bigot, dan golongan konservatif yang ketinggalan zaman.”

Saya mengusulkan, bila tidak dapat bersepaham dalam definisi tentang humor dan hujatan, maka sebaiknya kedua kubu mengambil argumen rasional yang pragmatis, yaitu: bersepaham bahwa perbedaan tidak akan sampai mengurangi prinsip kesatuan Gereja Katolik. Prinsip Gereja yang ‘satu’ dapat menjadi bingkai untuk melihat perbedaan dan ketidak-setujuan moral dengan lebih jernih. Penting bagi tiap individu untuk juga menimbang keanggotaan dalam satu Tubuh Kristus yang sama sebagai pengikat telos untuk menemukan titik dialog ke dalam yang lebih mendalam. Mungkin, kita sebagai Gereja telah terlalu banyak mengusahakan dialog ke luar hingga saat terjadi polemik internal, kita cenderung gagap dan sibuk berbantah dengan pendapat sendiri-sendiri.

Setidaknya ada lima hal konkret berdasar prinsip kesatuan Tubuh Kristus untuk mulai berdialog ke dalam dengan lebih mendalam, yaitu:

(1) Mengusahakan dialog yang santun, proporsional dan personal dengan yang berbeda paham. Konkretnya? Hindarilah komentar penuh penghakiman sepihak di ruang publik. Hindari diksi-diksi negatif yang mengancam persatuan Tubuh Kristus di ruang publik saat ingin saling mengingatkan ketidak-setujuan moral. Ingatlah bahwa masing-masing perbedaan paham, bila didukung oleh pandangan rasional, juga harus dihargai. Bila Anda tidak dapat menghargai kelucuan KGL, minimal Anda menjaga etika berkomunikasi sebagai murid Kristus. Sampaikan saja keberatan Anda dengan runut dan proporsional di jalur pribadi. Admin KGL juga harus menyadari bahwa humor adalah wilayah abu-abu yang relatif riskan memancing sentimen negatif pada agama. Para admin media sosial Katolik harus terbuka pada kritik dan secara proporsional makin menyadari tanggungjawab dan imbas setiap posting mereka; juga tanggungjawab untuk dengan rendah hati meminta maaf bila setelah discernment bersama memang ditemukan teks atau gambar yang mengancam persatuan Tubuh Kristus.

(2) Perdalamlah argumen rasional dalam perdebatan untuk menjelaskan preferensi emotif Anda. Saya prihatin sekali dengan beberapa akun dan kelompok yang hanya copy-paste dokumen-dokumen Gereja dan Kitab Suci sebagai justifikasi mutlak tanpa penjelasan dan pengertian lebih jauh tentang sejarah pemikiran dan konteks perkembangan doktrin teologi yang dikutip. Mari bersama menghindari kedangkalan berpikir di ruang publik. Keberatan masing-masing pihak mestinya dikanalisasi oleh mereka yang mendalami filsafat dan teologi secara formal. Di lain pihak, Garis Lucu sendiri sebaiknya memberi pula ruang bagi humor yang “rasional” agar sensasi lucu tidak menjadi tujuan akhir, namun menjadi pintu masuk bagi orang-orang beriman untuk memikirkan kembali relasinya dengan Tuhan. Kolaborasi dengan mereka yang berbeda paham mungkin dapat membantu KGL menemukan humor yang juga menumbuhkan tradisi berpikir kritis sebagaimana selalu menjadi ciri iman Katolik.

(3) Para imam yang aktif di dunia maya sebaiknya juga menyadari fungsi kegembalaan dan martabatnya sehingga tak mudah teragitasi dan menjadi reaktif. Pahami lebih dulu konteks sosial akun media Katolik yang problematik. KGL sebagai wadah orang-orang muda di Twitter telah menjadi jembatan konkret untuk dialog antar-agama dan untuk aksi sosial kemanusiaan. Tak dapat dipungkiri bahwa dalam beberapa posting yang melukai hati sebagian umat, KGL sekilas tampak lupa bahwa dalam Tubuh Kristus yang satu itu, ada rupa-rupa budaya dan pemahaman yang berbeda penghayatan imannya. Namun, itu bukan alasan bagi para imam yang aktif di media sosial untuk bereaksi secara berlebihan. Ingatlah bahwa pada zaman post-truth ini, polarisasi yang datang dari preferensi emotif akan sangat mudah terjadi. Jangan-jangan postingan pendapat pribadi para Gembala yang tidak proporsional di media sosial dapat makin menajamkan polarisasi di antara umat yang bergulat dengan ketidak-setujuan moral dan dengan demikian malah kontraproduktif dengan cita-cita kesatuan Gereja.

(4) Berhadapan dengan fenomena media sosial, sebaiknya kita sebagai Gereja makin mengusahakan literasi penggunaan internet dalam kerangka spiritualitas dan etikanya. Sudah saatnya, baik di level personal maupun komunal, kita membawa wacana penting ini untuk didalami lebih lanjut. Mengapa? Karena informasi selalu memiliki daya formasinya sendiri di kalangan orang muda.

(5) Mengusahakan keterlibatan sosial yang nyata adalah imperatif bagi penggunaan media sosial yang sehat. Kita mendorong setiap orang muda Katolik untuk tidak hanya menjadi “penikmat” humor berbumbu iman, namun juga sebagai “pencipta” narasi-narasi besar tentang ketidak-adilan, kemiskinan, kesetaraan gender dan tanggung-jawab ekologis. Dalam perspektif sosial yang lebih luas, ketidak-setujuan moral bukan alasan untuk tidak memberi buah nyata di tengah dunia. Mereka yang menikmati kelucuan tidak boleh berhenti hanya pada tawanya. Mereka yang membela transendensi Ilahi tidak boleh lupa untuk “turun dari gunung devosional atau intelektualnya” serta menyapa orang-orang sekitarnya. Komitmen bersama pada perjumpaan offline dan pada aksi kasih yang nyata adalah pintu perjumpaan yang baik bagi mereka yang berbeda paham dan penghayatan tentang apa yang kudus dan apa yang profan!

 Akhirnya …

Internet adalah pintu masuk ke dunia komunikasi yang luar biasa dahsyat dan yang menjanjikan kenyamanan lebih dalam berhubungan dan memperoleh akses informasi; sebuah dunia yang disebut oleh Manuel Castells sebagai the internet Galaxy. Galaksi baru ini membawa revolusi besar atas cara manusia (modern) berinteraksi satu sama lain dan bahkan dengan dirinya sendiri. Di dalam ‘galaksi’ itu kita melihat bagaimana tatanan sosial dalam segala seginya – ekonomi, budaya, religiositas, politik dan lain-lain – terbentuk dalam interkonektivitas yang mengatasi batas-batas teritorial dan moral. Polemik dan ketidak-setujuan moral tentang humor dan hujat dalam salah satu bagian kecil dari perubahan pola interaksi manusia di zaman modern ini. Semoga, para pengikut Kristus tidak tenggelam dalam galaksi baru ini dan tidak lupa untuk mengubah gelanggang sosial ini menjadi serupa dengan Kristus sendiri. “Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi” (Ef 1:9-10).

Imam Dehonian, Pendidik di SMA Yos Sudarso Metro, Lampung.

2 Comments
  1. yudijuvensius@gmail.com says

    Bahasanya berat Romo utk mrk yg tdk belajar filsafat. Mnrt sy ini soal kepantasan, nah ukurannya lalu jd serba tdk jls. Lain lubuk lain ikannya. Sy setuju GKL Romo mendorong GKL ke arah humor yg cerdas, contoh “Mau terima komuni tapi ga mau hidup berkomunitas” tdk bikin gerrr tapi bikin jleb dihati. Ini renungan dr Romo ndeso di youtubenya.

  2. Tony Hidayat says

    Tulisan yg bagus. Ijin copas boleh?

Leave A Reply

Your email address will not be published.