
Oleh Febry Silaban
Katolikana.com–Mungkin Tom Lembong, mantan Mendag yang saleh, pernah berlutut di ruang pengakuan di depan Pastor. “Mea culpa, mea maxima culpa,” (saya berdosa, saya sungguh berdosa) gumamnya. Pastor memberi absolusi—bam!—dosanya diampuni Tuhan.
Beberapa waktu kemudian, Presiden Prabowo bak deus ex machina (tuhan dari mesin), memberi abolisi—bam!—vonis 4,5 tahun penjaranya lenyap. Tom bisa kembali minum kopi tanpa khawatir jeruji besi. Kata Mahfud MD, ini langkah “strategis” meski bau politiknya semerbak.
Dua konsep pengampunan, satu untuk dosa, satu untuk hukum. In hoc signo vinces? Tanda apa yang sebenarnya menang di sini?
Thomas atau Tom, penganut Katolik taat, divonis 4,5 tahun karena kasus impor gula—padahal hakim akui ia “tidak mencuri uang” maupun berniat jahat (mens rea). Paradoksnya? Vonis ini justru jadi anti-efek jera: pejabat jujur malah takut ambil kebijakan, sementara koruptor sejati mungkin tersenyum lega.
Sebagai orang yang rutin menerima absolusi di gereja, Tom paham betul arti penyesalan. Tapi di pengadilan, ia seperti terjebak dalam dura lex sed lex (hukum itu keras, tapi itulah hukum)—sampai Prabowo datang dengan abolisi, ibarat Ctrl+Z komputer untuk vonisnya.
Tak jauh beda, Hasto Kristiyanto—Sekjen PDIP yang juga Katolik—divonis 3,5 tahun kasus suap. Bedanya, ia dapat amnesti (pengampunan setelah vonis tetap) dari Prabowo, sementara Tom dapat abolisi (penghentian proses hukum).
Keduanya, Tom dan Hasto, mungkin korban dari bellum politicorum (perang politik), dan Presiden memilih jalan pax et reconciliatio (damai dan rekonsiliasi).
Hasto, yang juga pasti akrab dengan ritual Sakramen Tobat, mungkin paham betul makna “penitensi” (silih dosa). Namun, di dunia politik, “penitensi”-nya adalah duduk manis di kursi oposisi atau gabung koalisi gemuk setelah bebas. Quid pro quo? Tanya publik yang curiga.
Absolusi vs. Abolisi
Absolusi itu diberikan pastor setelah pengakuan dosa. Syaratnya adalah penyesalan tulus (contritio cordis), pengakuan jujur, dan janji tak mengulang.
Sementara, abolisi diberikan presiden demi kepentingan negara. Syaratnya, kepentingan nasional (atau mungkin koalisi?) dan persetujuan DPR.
Lucunya, di gereja, absolusi tak bisa dibeli. Tapi di politik? O tempora, o mores! (Wahai zaman, wahai moralitas!)
Ada yang berpendapat bahwa pemberian abolisi untuk Tom karena alasan “rekonsiliasi”. Sedangkan untuk Hasto, mungkin “stabilitas politik”.
Fiat justitia ruat caelum!, teriak para pakar hukum. Biarlah keadilan ditegakkan meski langit runtuh. Namun, abolisi ini justru bikin langit nggak runtuh—malah mungkin lebih cerah buat Tom. Seperti kata pepatah Latin Cui bono? Siapa yang diuntungkan? Apakah ini rekonsiliasi politik atau sekadar akrobat hukum?
Jadi, bagi Tom dan Hasto—dua penganut Katolik yang paham betul arti pengampunan—hidup ini seperti Sakramen Tobat versi politik.
- Pengakuan dosa: “Saya korban kriminalisasi!”
- Penyesalan: Mea culpa (tapi hanya di gereja).
- Absolusi/Abolisi: Langsung bebas, tanpa perlu penitensi!
Jadi, abolisi dan absolusi sama-sama menghapus, tapi satu bikin Anda bebas dari penjara, satu bikin Anda lega dari neraka. Pilih mana? Carpe diem!—tapi jangan sampai kejebak dura lex, sed lex (hukum itu keras, tapi itulah hukum).
✨
Catatan kecil,
Jakarta, 1 Agustus 2025
✍️ Febry et Scientia

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.