
Oleh Susy Haryawan
Katolikana.com—Di negeri yang kaya akan budaya adiluhung, kata maaf seharusnya menyimpan makna luhur: kebesaran jiwa, keunggulan budi, dan kerendahan hati. Namun, hari ini, kata itu kerap terdengar hampa. Maaf sering terucap sebagai formalitas, basa-basi yang tidak lagi dipercaya.
Maaf yang Sekadar Kebiasaan
Sering kita menyaksikan—baik dalam peristiwa intoleransi, kerusuhan, bahkan dalam politik—pelaku dengan ringan berkata, “Kami minta maaf.”
Publik pun menyambut dengan skeptis. Mengapa? Karena tahu bahwa maaf itu hanyalah jalan pintas untuk meredam amarah, bukan pengakuan tulus yang lahir dari hati.
Contohnya, saat demo berujung ricuh hingga terjadi perusakan dan penjarahan rumah anggota dewan. Beberapa di antaranya, seperti Eko Patrio dan Uya Kuya, tampil di depan kamera dengan wajah menyesal, meminta maaf.
Namun, hanya beberapa hari sebelumnya, mereka berseloroh, berjoget, dan mengeluarkan pernyataan provokatif, membandingkan tunjangan dewan dengan honor artis. Kontras yang terlalu mencolok membuat publik bertanya: apakah benar ada penyesalan?
Maaf Menuntut Kerendahan Hati
Permintaan maaf sejati selalu menuntut kerendahan hati. Artinya, berani mengakui salah, menyesal, dan berkomitmen memperbaiki diri. Namun apa yang sering kita lihat? Ekspresi sesal di depan kamera, tetapi di balik itu muncul protes, pembelaan diri, bahkan sikap seolah menjadi korban.
Dalam logika sesat ini, pelaku bisa membalikkan peran: mereka merasa sebagai korban, sementara korban sejati menderita dua kali—dizalimi, lalu dipaksa memahami alasan pelaku.
Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di panggung politik, tetapi juga dalam kasus intoleransi. Pembubaran ibadah, perusakan rumah doa, sering dibungkus dalih “menegakkan aturan,” seakan-akan korbanlah yang harus berlapang dada.
Spiritualitas yang Absen
Kerapuhan ini menyingkap satu hal: negeri ini terlalu mabuk religiositas formal, tetapi abai pada spiritualitas sejati. Ayat suci dikutip, jargon agamis diperdengarkan, namun keluhuran budi, andhap asor (kerendahan hati), dan ketulusan hati absen dalam praktik.
Jika spiritualitas dihidupi, bangsa ini akan lebih tenang, teduh, dan tidak mudah terprovokasi. Permintaan maaf tidak lagi jadi basa-basi, melainkan jalan pertobatan. Sebab, maaf yang sejati adalah pertemuan antara hati yang menyesal dan tekad untuk berubah.
Maaf yang Kehilangan Luhur
Sayangnya, makna luhur itu perlahan hilang. Kata maaf tereduksi menjadi formalitas kosong, air mata dianggap sekadar “air mata buaya.” Akibatnya, masyarakat semakin apatis. Mereka mendengar kata maaf, tetapi hatinya berkata: “Ah, hanya bualan.”
Inilah yang menyedihkan: budaya adiluhung bangsa ini yang mestinya menjunjung keluhuran budi digantikan oleh arogansi, kesombongan, dan kebiasaan memutarbalikkan fakta. Lebih suka tampil percaya diri meski jelas salah, lebih bangga dengan kekayaan hasil korupsi daripada hidup sederhana tapi jujur.
Mengembalikan Martabat Maaf
Jika maaf ingin kembali bermakna, ia harus dihidupi dengan kerendahan hati, kesadaran akan kesalahan, dan keberanian untuk berubah. Maaf tidak boleh lagi jadi “jalan pintas politik” atau “ritual sosial,” melainkan sebuah spiritualitas yang memulihkan relasi.
Tanpa itu, bangsa ini hanya akan terus mendengar kata maaf yang kehilangan ruh, kehilangan makna. Dan kehilangan itu berarti kita sedang menanggalkan salah satu nilai luhur yang membuat negeri ini dahulu disebut gemah ripah loh jinawi. (*)
Penulis: Susy Haryawan, bukan siapa-siapa.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.